10-Sesungguhnya Seperti Ini

1.4K 107 1
                                    

Kasih sayangnya memang sudah benar - benar hilang.

~Deandra Briana ~

***

Dea berjalan masuk ke dalam rumahnya. Ia baru saja sampai dari sekolah. Tepat di halaman rumah, ia mendapati mobil hitam mewah milik Arjas yang berarti Arjas sudah pulang dari Thailand.

Dea mematung dan seketika ada ragu di benaknya untuk masuk ke dalam, yang membuat satpam memandang heran. "Neng Dea, kok cuma berdiri gak masuk?" teriak satpam itu, mang Jojo.

Dea menoleh sejenak. "Apa papa pulang, Mang?" tanya Dea.

Mang Jojo menghampiri Dea. "iyah Neng. Tadi pagi tuan pulang!" jawab mang Jojo.

"Sama siapa Mang?" tanya Dea.

Mang Jojo mengembuskan napas gusar. "Hm! Biasa Neng."

Dea mengangkat kedua alisnya dengan wajah sendu. "Mang, serius!"

Mang Jojo mengangguk. "Serius! Neng gak pa-pakan?" tanya mang Jojo saat melihat raut wajah Dea yang berubah pucat seketika.

Dea menggeleng. "Gak pa-pa. Dea permisi ke dalam," ucap Dea yang berlalu begitu saja. Mang Jojo memandang kepergian Dea dengan tatapan iba, ia tau rasanya pasti sakit. "Semoga neng tidak seperti ini terus."

Dea perlahan masuk ke dalam rumah dengan derap langkah pelan ia melirik sekelilingnya. Mata Dea membendung cairan bening. "Sepi seperti biasa," guman Dea dengan sendu.

Ia tahu pasti Arjas sedang melakukan hal tidak wajar bersama perempuan bayaran. Dea menumpahkan air mata sambil berdiri mematung di tengah rumah, melirik ruang keluarga yang dulu selalu di tempatinya bersama Risna dan Arjas.

Dea kembali melirik ke bawah tangga, dimana itu adalah tempat untuk ia bersembunyi ketika Arjas baru saja pulang bekerja. Dulu begitu indah dan berwarna. Tapi, sekarang semua itu sudah tak ia dapatkan. "Dea rindu masa itu, dimana mama sama papa sangat menyayangi Dea."

"Baru pulang kamu, Dea?" tanya Arjas yang tiba-tiba datang dari kamarnya.

Dea menoleh lalu menyeka air matanya. "iyah, Pa. Papa kapan pulang?" jawab Dea sambil bertanya.

Arjas mengangkat kedua alisnya. "Apa peduli kamu saya pulang kapan! Bukankah dulu kamu tidak peduli pada Risna hingga membuat anak saya pergi!" tutur Arjas tajam.

Dea menggeleng dan napasnya terasa sesak. "Pa, itu dulu. Maafkan Dea!" jawab Dea sambil terisak.

Arjas terkekeh geli. "Maaf?! Makan maaf kamu! Saya akan maafin kamu jika kamu dapat mengembalikan anak saya lagi ke dunia ini," balas Arjas penuh penekanan.

Dea kembali menggeleng. "Itu semua gak mungkin, Pa. Dia sudah pergi, dia sudah tenang dan bahagia di sana. Papa coba lirik Dea anak Papa yang masih setia di samping Papa," ungkap Dea sambil menangis.

Arjas kembali terkekeh. "Kamu masih di sini karena gak saya buang! Ingat kamu bukan anak saya tapi kamu anak pembawa sial di hidup saya. Dan jangan pernah menganggap saya Papa kamu!" tutur Arjas dengan emosi.

Dea terisak tanpa suara. Hatinya sakit sekali mendengar ucapan Arjas. "Pak! Dea sayang Papa
Tolong! Dea minta tolong sama Papa untuk bisa menyayangi Dea!" ucap Dea sambil berlutut di kaki Arjas.

Sebelum Arjas menjawab seorang wanita berpakaian mini datang. "Sayang, kok, rame ada apa, sih?" tanya wanita itu sambil bergelayut manja. Wanita itu sadar bahwa Dea sedang berlutut di kaki Arjas. "Sayang, dia siapa?" tanya wanita itu lagi.

Arjas melirik Dea sejenak lalu menendangnya hingga Dea meringis kesakitan. "Dia cuma anak gelandang. Barusan dia mohon-mohon minta uang padahal sebelum aku pergi kerja udah aku kasih!"

Wanita itu berdecak sebal. "Emangnya dia tinggal di sini?" tanya wanita itu.

Dea hanya diam sambil terisak. Arjas menjawabnya, "Iyah. Soalnya rumah ini suka kosong, kalo kosong terlalu lama bisa rusak. Jadi, biar dia jadi babu di sini!" jelas Arjas.

Dea terus menggeleng sambil menangis. Apa hidupnya akan seperti ini selamanya? Jika iya! Dea sudah tak kuat. "Papa!" lirihnya dan Arjas langsung menatap tajam Dea. "Anak bodoh! Cepat pergi. Akan aku berikan uang untukmu nanti, jangan ganggu atau aku akan menyiksamu!" perintah Arjas tajam, dan wanita itu hanya terdiam karena setengah mabuk.

Dea langsung berlari ke kamarnya, ia menangis, dan hatinya sakit sekali.

BRAK

Dea menutup pintu dengan kasar, ia langsung duduk di balik pintu, dan menangis dengan napas memburu. "Dea memang bodoh, Dea memang anak pembawa sial. Dea sadar!" teriaknya sambil menangis.

Dea memeluk kedua lututnya, lalu memukul lantai dengan kasar menghiraukan luka di tangannya yang semakin mengeluarkan darah. Perban yang ia pakai sudah tak berupa, warnanya merah padam. Pukulannya mereda saat rasa perih mulai melanda. Rasa hangat kembali terasa dari hidungnya. Darah segar itu kembali mengalir tanpa sebab, entah apa yang ia derita hampir setiap waktu mengalami mimisan. "Tidak cukupkah dengan caci makian orang sampai aku harus seperti ini juga!" Dea menangis sambil mengusap darah dari hidungnya dengan kasar.

Sungguh cobaan yang sangat berat, setidaknya ia memiliki sandaran yang benar-benar ingin mendengarkan derita hidupnya. Bukan Abdil, karena Dea merasa ragu. "Mama," lirih Dea.

Semua ucapan Arjas terus terngiang di kepalanya. Rasanya itu adalah kata-kata yang mungkin ke seratus ribu kali yang Arjas katakan pada Dea
Kata-kata kasar dan ucapan benci yang selalu terlontarkan pada Dea.

"Dea anak Papa, darah daging Papa!" ucap Dea yang kembali memukul lantai dengan kasar.

Dea perlahan meluruskan kakinya, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. "Dea benci diri sendiri. Kalo memang membuat papa sama mama gak bahagia karena Dea. Dea tidak mungkin bisa mengembalikan dia yang sudah pergi. Itu mustahil!" teriak Dea.

Dea terus memukul lantai dengan kasar sampai ia meringis karena benar-benar merasa perih. "Aww! Sakit pa, ma. Kalian belum puas liat Dea menderita? Kalian ingin Dea mati? Dea juga gak sanggup harus hidup seperti ini. Dea lelah, Dea butuh kalian. Kapan kalian akan maafin Dea? Dea harus apa? Dea capek!" lirihnya Dea dengan napas sesak.

Ia terus terisak hingga membuatnya merasa sesak. Ia berjalan ke arah nakas lalu duduk di tepi ranjang dan mengambil foto dirinya bersama sang papa dan mama. "Sepuluh tahun lalu foto ini diambil. Foto terakhir kita bertiga. Dea benar-benar rindu kalian yang dulu." Dea memeluk foto itu dengan tulus.

Memejamkan mata sambil terus menangis. Dan perlahan darah dari hidungnya menetes pada bingkai foto itu, pelukan pun semakin melonggar dan matanya perlahan terbuka lalu seketika tertutup kembali. Bersamaan dengan ia yang langsung berbaring terlentang di atas kasur dan di atas perutnya terdapat foto mereka bertiga.

Dea pingsan.

***

[✔️terbit] 1. The Girl That HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang