24-Pertemuan Kedua

1.1K 81 0
                                    

Senyum itu adalah suatu kebohongan. Terluka bahkan tersiksa, manusia selalu ingin terlihat tegar dan kokoh. Padahal hatinya rapuh dan tak mampu.

***

Abdil menatap dirinya di pantulan cermin. Kemeja serta celana jens yang ia pakai sungguh indah melekat pada tubuhnya. Wajah Abdil begitu kaku untuk tersenyum, bahkan bicara pun rasanya malas sekali.

"Tahu gak gue galau karena, lo!" gumamnya sambil menunjuk cermin.

"Iya! Karena satu kalimat membingungkan dari Dea gue selalu ingin bungkam. Lo tahu? Gue heran kenapa Dea bisa ngomong kayak gitu? Padahal gak ada angin gak ada hujan," sambungnya.

"Lo tahu! Setelah gue denger ucapan Dea itu, rasanya hidup gue jadi ngambang. Antara bahagia dan enggak!"

"Lo tahu! Gue butuh seribu kejelasan, entah dari mulut Dea ataupun mama."

"Tapi mereka semua malah bungkam. Gue ini manusia bukan Google yang serba tahu!" ujarnya kesal.

"Kalo memang gue bahagia di atas penderitaan orang lain, lebih baik gue menderita," lirihnya dengan lirikan tajam ke arah jendela.

Malam ini sesuai dengan rencana Risna yang mengajak Abdil makan malam di pinggir pantai. Mungkin bagi sebagian besar orang ini adalah momen paling diinginkan begitu pula dengan Abdil. Namun, kali ini sangat berbeda dengan sebelumnya sebab ada hal aneh yang Abdil rasakan.

"Dea! Gue rindu," gumamnya sambil terkekeh.

"Waktu singkat itu akan selalu gue ingat!" sambungnya.

Abdil berdiri di dekat jendela kamarnya, menunggu panggilan dari Risna ataupun Fernando. "Abdil. Ayo, Nak kita berangkat!" Risna tiba-tiba saja sudah berada di belakang Abdil.

"Oke!" Mereka berjalan menuju garasi dan berangkat menuju pantai.

***

Dea dan Kara tengah duduk santai di balkon sambil menikmati susu coklat panas. "Kenapa bulan cuma satu, gak dua?" gumam Dea tanpa sadar.

Kara melirik Dea lalu kembali menatap bulan. "Kalau bulan ada dua, cahaya seribu bintang akan kalah dengan cahaya mereka," jawab Kara.

"Maksudnya?" tanya Dea sambil melirik Kara.

"Bulan diciptakan hanya satu agar sinarnya seimbang dengan sinar berjuta bintang. Ia mampu bersinar sendiri di antara banyaknya bintang. Jadi, hiduplah seperti bulan, mampu bersinar sendiri walau di sekelilingnya banyak sinar yang juga indah!" jawab Kara sambil tersenyum memandang Dea.

"Kamu merasa sendirian sebab gak mendapat peduli kasih kedua orang tua. Tapi, kamu mampu bersinar dan bertahan walau di sekelilingmu banyak hal yang lebih indah dan membuat kamu merasa patah. Hingga akhirnya kamu bersinar terang di hatiku," sambung Kara sambil terkekeh.

[✔️terbit] 1. The Girl That HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang