22-ITP

1.1K 71 0
                                    

"Waktu bagi aku semu, semua terlihat cepat padahal lambat. Waktu bagi aku ibarat sebuah kata, terucap nyata belum tentu fakta."

***

T i d a k a d a c i n t a k a l a k u m a s i h a d a

Dea terdiam sambil memandangi dokter Salman yang tengah membaca sebuah surat hasil cek Laboratorium. Sesekali dokter Salman melirik Dea dengan raut wajah datarnya.

"Kenapa, Dok? Sebenarnya penyakit saya apa?!" Dea yang penasaran langsung bertanya.

Dokter Salman mengembuskan napas gusar sambil meletakkan surat itu di depan Dea. "Purpura Ideopatik Trombositopenik atau ITP!" jawab dokter Salman tak jeda.

Dea menatap heran dokter Salman. Ia sama sekali tidak mengerti dengan penyakit yang ia derita ini. "Saya gak ngerti maksudnya apa, Dok?" Dea malah mengembalikan surat itu kepada dokter Salman.

Dokter Salman menggeleng risau. "Rendahnya tingkat sel darah yang mencegah pendarahan (trombosit). ITP juga dapat terjadi ketika sistem imun keliru menyerang trombosit. Pada anak-anak kondisi ini mungkin terjadi sebab infeksi virus. Sedangkan pada orang dewasa kondisi ini dapat bersifat kronis." Dokter Salman langsung menundukkan kepalanya.

Tatapan mata Dea berubah seketika. "Lalu ... penyakit ini bersifat mematikan?" Mata Dea berkaca-kaca.

Dokter Salman melirik Dea dan mengangguk. "Iya! Penyakit ini sangat langka. Kurang dari seratus lima puluh ribu per tahun di Indonesia yang menderita penyakit ITP," jawab dokter Salman.

Dea mengangguk-ngangguk. "Apa penyakit ini dapat ditangani?!" Satu tetes air mata terjatuh.

"Bisa! Dengan cara Transfusi darah atau Kemoterapi. Namun, hanya ada beberapa persen kemungkinan penderita penyakit ITP bisa sembuh." Dokter Salman mengusap wajahnya.

Dea tersenyum getir mendengar itu. "Bagus dong!" jawab Dea yang membuat dokter Salman meliriknya heran. "Kamu bilang bagus?"

Dea mengangguk namun air matanya mengalir deras. Dokter Salman menggeleng tidak percaya. "Penyakit kamu ini sudah kronis, sudah lebih dari enam bulan berada di tubuh kamu, pencegahan dengan cara transfusi darah itu hanya untuk memperlambat penyebarannya saja. Hanya sedikit kemungkinan kamu bisa sembuh sepenuhnya," ujar dokter Salman kesal.

"Iya saya tahu. Penyakit ini emang bahaya, tapi kalau orang tua saya tahu, apa mereka akan peduli, tidak! Mereka justru senang karena ini yang mereka inginkan, Dok. Saya bersyukur sekali sebab mungkin suatu saat saya akan benar-benar merasa lemah dan hanya mampu tidur di atas ranjang untuk menikmati sisa hidup saya yang menyakitkan ini," jawab Dea tak jeda dengan senyum hambarnya.

Dokter Salman sudah mengetahui semua tentang Dea, ia bahkan merasa iba mendengarnya. Dokter Salman memijat pelipisnya. "Saya tahu. Tapi, setidaknya kamu punya keinginan untuk sembuh, karena kita gak tahu separah apapun penyakit yang kita alami, Allah bisa saja menyembuhkan kita dalam satu detik," jawab dokter Salman menggebu.

"Buat apa saya punya keinginan untuk sembuh, sedangkan orang yang saya sayangi, cintai ... tidak menginginkan saya ada di dunia ini, Dok," jawab Dea tak kalah menggebu.

[✔️terbit] 1. The Girl That HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang