25-Desak Abdil

1.1K 75 2
                                    

Tatapan adalah senjata tajam kala itu kau gunakan untuk sebuah rasa kebencian.

***

Masih dengan malam yang sama dan perasaan yang sama. Dea terdiam merenung di teras rumahnya seorang diri. Matanya menatap kosong ke depan sambil menangis tanpa isakan.

Kara berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan punggung Dea. Kara berjalan menghampiri Dea dan duduk di sampingnya, sambil melirik Dea dengan sendu.

"Aku tahu kamu sakit hati melihat itu semua," ujar Kara yang membuat Dea meliriknya.

Mereka saling memandang dengan tatapan sendu. "Walau mereka tak mengucapkan kata apapun, tapi dengan tidak sengajanya mereka menyakiti hati kamu," sambung Kara sambil menunjuk Dea.

Dea tetap terdiam dan hanya mampu mengalirkan air matanya. Kara menangkup pipi kanan Dea sambil menghapus air matanya. "Aku mengerti dengan tatapan tante ... Risna. Itulah yang membuat kamu sakit, aku ngerti!" lanjutnya.

"Jangan lupakan genggaman tangannya yang begitu erat, seakan tak ingin kehilangan!" jawab Dea lirih.

Kara mengangguk lemah. "Aku minta maaf!" ujarnya sendu.

"Untuk apa?" tanya Dea heran.

"Seandainya aku gak ajak kamu ke pantai, mungkin kamu gak akan merasa sakit," jawab Kara penuh penyesalan.

Dea langsung menggeleng dengan cepat. "Kamu tahu! Ini adalah hal biasa. Aku mampu tersenyum semenit namun, aku mampu terluka selama satu jam. 1:10 dan itu sudah biasa aku alami," ujar Dea sambil tersenyum hambar.

Kara menatap Dea begitu dalam. Tanpa mengucapkan apapun Kara langsung memeluk Dea dengan erat. "Maaf!" lirihnya sendu.

Dea membalas pelukan Kara. "Ini bukan salah kamu, Kara. Justru aku ingin bilang terima kasih karena kamu sudah membuat aku tersenyum!" jawab Dea dalam pelukan Kara.

Kara mengangguk dan mencium pucuk kepala Dea terus menerus. "Kamu kuat!"

***

Pagi sudah datang dan memperlihatkan padatnya kota Bandung.

SMA Buana Bandung pun sama padatnya. Siswa dan siswi mulai berdatangan dengan semangat yang berbeda-beda.

Dea dan Kara berdiri tepat di ujung lapangan upacara. Mereka berdiri menyamping dan saling menatap. Tak lama kemudian mereka langsung berhadapan dengan tatapan yang sama.

"Berjuang! Lupakan sejenak masalah kamu," ujar Kara.

Tidak ada gunanya aku berjuang, Kara. Batin Dea.

"Hal semalem itu cuma mimpi--" Dea langsung menyergah ucapan Kara.

"Mimpi yang jadi nyata-kan?" tanyanya terkesan pilu.

Kara memejamkan matanya. "Please! Untuk kali ini aja. Ini adalah salah satu cara dan pengambilan nilai untuk kelulusan kita nanti. Kamu mau lulus kan, De?" ucapnya penuh keyakinan.

[✔️terbit] 1. The Girl That HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang