Arini menatap harap kepada lelaki di hadapannya, pegangan pada map di tangannya semakin mengerat. Dia berharap lelaki itu akan kembali membuka hati setelah mendengar penjelasannya.
"Saya hanya ingin tahu alasan yang sampai membuatmu menjadi senekat ini," lanjut Azhar yang jelas dapat mengubah sorot harap Arini menjadi terganti kabut kecewa. Ya, dia kecewa. Ternyata dugaannya salah.
"Saya juga berharap, setelah kamu menjelaskan apapun alasanmu lima tahun lalu, kamu bisa berhenti sampai disini," tegas Azhar. "Saya bukan lagi Azhar yang menunggu Arini lima tahun lalu, karena sekarang saya sudah punya kebahagiaan sendiri," lanjutnya membungkam Arini.
"Jadi, bukan karena kamu akan memberiku kesempatan kedua?" ucap Arini dengan tawa kecut, dia jelas-jelas kecewa.
"Maaf, ada hati yang harus saya jaga sekarang," lirih Azhar, tapi masih terdengar oleh Arini yang semakin menyayat hatinya. Sudah sedalam itu rupanya diri istrinya di hati Azhar?
Arini mengusap air matanya yang tanpa pamit keluar begitu saja. Dia tampak begitu menyedihkan sekarang.
"Lalu, untuk apa kamu ingin tahu alasannya? Untuk menertawakanku yang dengan bodohnya masih mengharapkanmu?" todong Arini pada Azhar, sepertinya apapun alasannya pria itu sekedar hanya ingin tahu.
"Saya tidak pernah menyuruhmu berharap, Arini! Jangan menyakiti diri sendiri," ujar Azhar.
"Aku mencintaimu, Mas! Bahkan sampai membuatku hampir gila!" Emosi Arini menyulut cepat.
"Berhenti, saya mohon berhenti, Arini!" pinta Azhar dengan lembut, tapi bermakna sebuah perintah tegas. Bukan menyuruh perempuan itu berhenti menangis, melainkan menyuruhnya berhenti dari semua harapan gilanya.
Arini tertawa diselang tangisannya. Tubuhnya berbalik meninggalkan pria yang jelas-jelas sudah menutup pintu hatinya untuknya. Apakah sudah seharusnya dia berhenti sekarang? Apakah bisa?
***
Danu berjalan ke arah pantry kantor, rencana lembur hari ini membuatnya pusing. Azhar hanya sampai sore di kantor, maka dari itu tugasnya bertambah dua kali lipat sampai waktu lembur selesai.
"Untung gaji dari si Pak Bos gede, kalo nggak mana mau gue jadi kuncen kantor kayak gini," celoteh Danu melangkah menuju meja pantry yang hanya berjarak lima meter lagi.
Langkah Danu terhenti ketika mendegar sayup-sayup suara tangisan perempuan. Bulu kuduknya berdiri, pasalnya sekarang sudah akan memasuki waktu maghrib.
"Kalo gue lari keliatan banget penakutnya." Sebenarnya Danu sudah ancang-ancang berbalik untuk kabur. Namun, tangisan itu sepertinya pernah dia dengar. Ya, dia pernah mendengarnya.
Langkah Danu berlanjut pasti dengan hati-hati. Dia mengintip di balik meja pantry, tempat sumber suara tadi.
"Arini?" panggil Danu menemukan seorang perempuan duduk memeluk lututnya dengan kepala menelungkup. Benar bukan, tangisan yang pernah dia dengar di hotel waktu itu.
Arini mendongak ketika sebuah suara memanggilnya. Dia salah, ternyata jam segini masih ada orang di kantor.
"Kenapa kamu menangis di sini?" tanya Danu. Mata merah dan wajah sembab Arini membuktikan kebenaran dugaannya.
Arini menggeleng sambil mengusap kasar air matanya. "Saya tidak menangis kok, Pak," sanggahnya dengan wajah menghindari tatapan Danu.
"Anak kecil pun tahu kalo kamu sedang menangis," ujar Danu.
Arini bangkit dari tempatnya berniat untuk pergi dari sana.
"Karena Azhar lagi?" tanya Danu membuat langkah Arini terhenti. Kenapa pria itu terlalu peka, sudah berapa kali dia kecolongan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta tak keliru (END)
Spiritual(Harus Follow sebelum baca, biar bisa baca) Pertemuan memalukan itu adalah awal dari kisah ini. Perjodohan dadakan, pernikahan yang tinggal menghitung hari serta hati yang masih keliru. Semuanya berbaur menjadi satu. Akankah semua ini akan berakhir...