Part 43: Doktrin

182 5 0
                                    

Papa Kara memegang tangan Kara agar bisa berhadapan dengan Kara, ia tersenyum lirih menatap putrinya itu.

“ Kar, Papa senang melihat kamu yang sudah tumbuh dengan sangat baik sekarang... kamu tahu apa yang paling Papa takutkan didunia ini?” tanya Papa Kara, sembari menepuk-nepuk punggung tangan Kara

“ Mama “ jawab Kara, tanpa ragu

Papa Kara yang mendengar hal itu langsung tertawa

“ Iya Mama kalian emang suka nakutin sih “

“ Tapi yang paling Papa khawatirin itu kamu... Papa khawatir kamu kenapa-napa diluaran sana “ sambung Papanya, dengan mimik wajah yang lebih serius dari sebelumnya

Kara menatap Papanya dengan seksama, untuk pertama kalinya dia mendengar ungkapan hati Papanya sekaligus melihat rasa kekhawatir yang nampak jelas dari sorot mata Papanya.

“ Ada banyak hal yang terlintas di kepala Papa setiap kali Papa ngeliat kamu, Papa hampir tidak pernah melihat emosi dimata kamu, itu yang membuat Papa khawatir setiap kali Papa teringat tentang kamu. Bagaimana Kara menangani orang-orang yang berniat jahat sama dia? Bagaimana Kara bangkit ketika dia terjatuh? Bagaimana caranya agar Kara tersenyum seperti waktu kecil dulu? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang selalu menghantui Papa, tanpa Papa tahu jawabannya “ ungkap Papa Kara, dengan sorot mata yang senduh

Ungkapan Papanya membuat air mata mengumpul dikelopak mata Kara, ia benar-benar tidak bisa lagi menahan bulir air mata yang jatuh membasahi wajahnya.

“ Papa nggak pernah melihat kamu marah, sedih, bahagia ataupun perasaan lain selayaknya manusia pada umumnya. Papa merasa putri kecil Papa hidup tapi sebenarnya jiwanya sudah lama menghilang, hati Papa benar-benar hancur melihat kamu yang terlihat dingin setiap kali dihadapkan dengan hal-hal yang menyudutkan kamu dan yang paling menyedihkan adalah Papa tidak pernah punya keberanian untuk sekedar menanyakan apakah kamu baik-baik aja  atau tidak... karena Papa ngerasa semua sikap dingin kamu selama ini tidak lepas dari doktrin yang Papa berikan saat kamu berumur lima tahun, saat kamu menangis dan Papa melarang kamu untuk tidak menangis... sejak saat itu Papa tidak pernah lagi melihat kamu menampakkan kesedihan kamu di depan Papa, hati Papa hancur setiap kali memikirkan hal itu “ lanjut Papa Kara, yang menyesali tindakkannya di masa lalu

Kara memeluk Papanya sembari terisak, ia tidak tahu bahwa sikapnya selama ini justru membuat Papanya merasa tertekan, padahal sikap dinginnya bermaksud untuk tidak melukai siapapun tapi justru membuat Papa Kara merasa tertekan karena ia berpikir bahwa sikap Kara selama ini tak lepas karena doktrin darinya di masa lalu.

25 Tahun Usia Rawan? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang