|Ekonomi|

336 29 0
                                    

Arin baru saja sampai di pekarangan rumahnya, langkahnya berhenti saat melihat kegaduhan di depan.

Kening Arin mengkerut, menatap intens mereka yang tengah adu mulut oleh Husman.

Arin terus menatapnya tanpa menjedah, hatinya sedikit meringis ketika sang ayah di bogem perutnya. Lama-kelamaan, Arin merasa iba, ia berlari kencang menghampirinya.

"Stop, sialan!" marah Arin dapat memberhentikan aksi mereka yang berbadan kekar.

Arin berjongkok di hadapan Husman, lalu memeluk tubuh ayahnya yang di iringi isak tangisnya.

"Ayah nggak papa, 'kan? Yang mana sakit?" tanya Arin khawatir sambil menatap wajah Husman yang setengah membiru.

Husman bergeleng, tersenyum agar menutupi lukanya yang di hati.

Arin benar-benar khawatir dengan keadaanya yang sedikit lemas dan pucat. Detik kemudian, Arin menatap kedua pria itu dengan marah.

"Ada masalah apa dengan keluarga kami?! Siapa yang nyuruh kalian?!" bentak Arin dj hadapannya.

"Ck! Budak kecil jangan ikut campur! Ibumu punya hutang sama bos kamu, dan sampai sekarang belum di bayar!"

"Bego! Yang punya hutang siapa, kenapa yang di pukuli ayah saya?!" amuk Arin matanya memerah mencoba menahan nangis.

"Ckck! Pria tua itu kan suaminya."

"Keluarga kami sudah lama hancur, ibu saya pun pergi. Jadi, kalau kalian mempunyai urusan dengan ibu saya, silakan kalian cari sampai ke ujung dunia. Kami sudah tidak perduli!" marah Arin mengeluarkan unek-uneknya yang selama ini di pendam.

"Kalau sampai menyakiti ayah saya lagi, saya tidak segan-segan melaporkan kalian ke polisi!" sambung Arin sambil mengancam.

Dua pria itu gemetar setelah dapat ancaman dari arin, mereka terbirit-birit kabur dari rumah tersebut.

Napas Arin tak beraturan, detak jantungnya pun berdetak dua kali lipat. Matanya memerah, lubang hidungnya kembang kempis.

Ia menyeka air matanya, kemudian berbalik badan dan berjongkok di hadapan sang ayah.

"Ayo masuk. Arin akan obatin luka ayah," ujar Arin membantu Husman berdiri sambil memapahnya masuk ke dalam.

Arin membantu Husman duduk, dia pergi mengambil obat. Kemudian duduk di samping ayahnya.

"Ayah kenapa gak bilang, kalau ibu mempunyai uang ke rentenir itu?" tanya Arin sambil mengobati pipi Husman.

"Ayah gak mau ngeropotin kamu dan ayah juga gak mau kamu memikirkan ini," balas Husman dengan sendu.

"Keuangan kita semakin tipis, Rin. Apa kita jual rumah? Nanti kita pindah," kata Husman memastikan.

"Tunggu Arin lulus, nanti kita pindah. Jual rumah buat bertahan hidup," saran Arin.

"Yasudah, Ayah akan menunggumu."

_

Arin terus melangkah menelusuri jalanan. Harus cari uang kemana lagi? Sementara persediaan di rumah sudah pada habis.

Arin sengaja tidak memberitahukan ke ayahnya soal persediaan, ia takut merepotkan ayahnya yang sedang sakit untung sekarang ini.

"Aku ngelamar di sana aja kali ya?" Arin bimbang sembari menatap tukang bakso yang sedang ramai-ramainya pembeli.

"Coba dulu dahh," kekeuh Arin langsung mendekat ke tukang bakso.

Arin berdiri di samping tukang bakso sambil menatap pembeli yang ramai.

"Mau pesan bakso, neng?" tanya si abang.

Arin menggeleng. "Gak, bang. Kedatangan saya ke sini, mau ngelamar kerja. Mungkin abang butuh orang buat cuci piring? Saya siap kok," jelas Arin bersemangat.

Abang tukang bakso masih ragu, tetapi ia merasa kasihan juga dengannya. Akhirnya, pedagang itu berbicara.

"Kalau mau, kamu cuci piring di sana. Nanti antar ke sini," tunjuk abangnya ke arah tempat pencucian piring yang lumayan kotor.

Arin tersenyum senang. "Makasih, bang!" seruhnya dan secepatnya ke tempat pencucian itu. Ia mulai saja membersihkannya.

Saat lagi asik-asiknya Arin mencuci, tiba-tiba kepalanya terasa sakit. Dirinya berhenti sejenak, memegangi kepalanya.

"Sakit bangat! Tapi, tahan dehh. Udah tanggung. Kuat Rin, kuat!" Arin melanjutkan cuci piringnya sambil menahan sakit.

Sore hari.

Tempat pengunjung bakso mulai sepi, Arin pun sudah selesai mencuci piringnya. Dia menyeka keringat, lalu bangkit dari duduk.

"Ini buat kamu, dan makasih ya udah mau bantu," ujar pedagangnya memberi sebungkus bangso dengan uang berwarna biru.

Mata Arin terbinar melihat pemberiannya. "Makasih bangat bang!"

Pedagang tersenyum dan mengangguk.

"Saya balik dulu, assalamualaikum," pamit Arin seraya pergi ke rumahnya.

"Walaikumsalam."

_

Di pertengahan jalan, kepala Arin kembali di buat pusing. Ia berhenti sejenak sembari meremas rambutnya.

"Ini, kenapa sih?! Sakitt bangatt!" keluh Arin berjalan pelan-pelan.

"Bukan aku kecapean aja kali yaa?" bingungnya tanpa curiga.

Pada akhirnya Arin telah sampai di depan rumah, ia tersenyum melihat Husman lagi duduk di depan.

"Kamu dari mana, nak? Jam segini baru pulang?" tanya Husman heran.

"Arin nyari duit, yah. Buat beli keperluan bahan dapur," jawab Arin ikut duduk.

Hati Husman terisis dengan ucapan anaknya. Seharusnya ia yang mencari naskah, bukan anaknya.

Husman tersenyum paksa, mengelus rambutnya dengan sayang. "Maafin ayah, nak. Belum bisa ngasih kamu ke bahagiaan," lirih Husman berkaca-kaca menahan tangisannya.

Arin bergeleng dengan mata memerah. "Seharusnya bukan ayah yang minta maaf, tapi Arin yang udah nyusahin ayah. Maaf kalau Arin belum bisa bahagiain ayah," balas Arin.

"Sudah, jangan nangis. Kamu bawa apa?"

"Ehh, ini bakso. Di kasih sama penjualnya gratis," sahut Arin mengacungkan bungkusannya.

"Ayah udah makan belum?" tanya Arin melihat ayahnya.

Husman bergeleng, kemudian Arin menjawabnya. "Ayo ke dalam, kita makan bakso!" seruh Arin tertawa. Husman pun tertawa bersama anaknya.

***

Follow Pena0716

RAJAWALI [TAMAT]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang