|Tersakiti|

677 29 0
                                    

Arin berlari kencang menelusuri jalanan, air matanya terus keluar. Sampai pada akhirnya, ia berhenti dan lulur ke aspal.

"Jadi pria itu Raja? Pantas saja aku ngerasa familiar sekali dengannya."

"Raja sudah banyak berubah. Dia pria yang tampan dan kaya. Tubuhnya pun atlentis. Siapa coba yang gak tertarik sama dia? Aku harus sadar diri," gumam Arin perlahan lahan terisak.

"Orang yang selama ini masih kuharapkan, kutunggu kedatangannya, dan kutunggu sosoknya, ternyata sudah tunangan."

"Bodo! Aku memang bodo! Mengharapkan cintanya selama ini! Dia yang begitu gampangnya sudah bertunangan dan melupakan cintanya!"

"Orang yang aku kenal begitu penakut dan lemah, sekarang sudah berani dan kuat."

"Dia tampan, cocok dengan Lisa yang cantik. Lah, kalau aku? Berwajah kentang dengan modal setia."

"Aku gak pantas dapat cinta darinya! Aku gak pantas! Raja! Arin kangen!" teriak Arin sekencang-kencangnya.

Pipinya sudah basa di banjiri air mata. Malam ini begitu menyakitkan bagi Arin.

"Kamu pantas bahagia, Raj. Aku akan coba belajar melupakanmu. Aku tahu, cintamu itu yang untukku sudah hilang dibawa oleh angan-angan yang membuatku sadar diri."

"Hiks, Jahat!" tangis Arin menunduk sambil memukul aspal.

Sita baru saja sampai, menatap punggung Arin dengan kondisi gemetar akibat menangis. Sita tak tahu apa yang sebanarnya terjadi.

Sita mendekati Arin, berjongkok dan merangkul bahunya.

"Ayo Mbak, bangun. Jangan di sini," kata Sita memapah tubuh Arin.

Sita menatap wajah Arin dengan iba. Matanya sembab, hidungnya merah. Sita membawa Arin ke halte pinggir. Kemudian menghapus air mata Arin.

"Mbak kenapa? Kok nangis?" tanya Sita.

"Nggak kok, gak papa!" balas Arin tersenyum mencoba menutupi kesedihannya.

"Mbak jangan bohong ya, Sita tahu betul sama Mbak!" ancam Sita berpurah-purah.

Arin kembali di buat nangis, dirinya menunduk dengan terus menangis.

"Yang tunangan tadi. Teman Mbak waktu SMA, dulu Mbak suka sama dia. Bahkan sampai sekarang, tetapi cinta Mbak luntur," ungkap Arin dengan masih menangis.

Sita mulai menangkap penjelasan Arin, walaupun masih kurang jelas.

"Mbak sayang bangat sama dia. Dia baik," sambung Arin tersenyum mengingat masa SMA nya dulu.

"Tapi, Mbak sadar diri kalau dia udah tunangan," lirh Arin.

"Yaudah, Mbak. Sabar aja, mungkin memang bukan jodoh. Jangan nangis lagi ya, nanti cantiknya hilang," hibur Sita mampu membuat Arin tertawa di sela-sela tangisannya.

"Ayo kita balik, ini sudah malam bangat. Yang punya rumah tadi udah membayar kok buketnya, kata dia bagus dan cantik," kata Sita membantu Arin berjalan dan mencari kendaraan.

_

Selesai acara, Raja terus mengurungkan diri di kamar. Ia tak mau keluar untuk menemui orangtuanya.

Pikirannya melayang kepada gadis yang tadi sempat menangis. Apa ia pernah mengenalnya? Bertemu saja baru beberapa kali.

"Rin, kamu kemana? Aku kangen. Maaf ya, kalau aku mengkhianati cinta kita," gumam Raja membayangkan wajah Arin masih SMA.

Raja memeringkan tubuhnya ke samping, memeluk guling erat. Sedang membayangkan dirinya lagi memeluk tubuh Arin.

"Miss you, Rin," lirih Raja mulai menutup matanya.

_

"Hallo Ma!" seruh Reyna dari sebtang sana menggunakan vidio call.

"Hallo anak mama. Kamu ngapain di sana, nak? Baik-baik aja kan?" tanya Rara menatap layar ponsel.

"Baik kok, Ma! Gimana acara tunangan kak Raja? Lancar?"

"Alhamdulillah, lancar."

"Terus, mana kak Rajanya?" tanya Reyna bingung, melihat ponselnya yang tidak ada tanda-tanda kakaknya.

"Dia di kamar, mungkin kecapean," sahut Rara.

"Tinggal kamu doang nih yang belum tunangan. Kamu kapan?" goda Rara pada Reyna.

"Iss, Mama! Reyna masih kecil!"

"Idihh, kecil apaan coba. Kamu udah dewasa nak!" serobot Rara menekan kata.

"Hehe, nanti aja Ma. Reyna masih ingin sendiri dan menikmati ke sendirian dengan tenang tanpa harus merasakan sakit hati."

tawa Reyna terdengan dari ponselnya. Rara hanya menggelengkan kepala mendengar ocahan putrinya.

"Mama, matikan ya? Sudah malam. Sana tidur, besok ke siangan kerja!"

"Biarin wlee! Kantor sendiri, jadi bebas dong!" bangga Reyna percaya diri.

"Jangan gitu dong, Rey. Itu namanya kamu mencontohkan yang tidak baik ke bawahan kamu."

"Hmm, iya deh. Dada mamaa!" seruh Reyna setelah itu mematikan pinselnya.

Rara bangkit dari sofa, kemudian ikut berbaring di samping suaminya yang sudah terlelap terlebih dahulu.

***

Follow Pena0716

RAJAWALI [TAMAT]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang