Pulang adalah pilihan tepat, ketika kondisi hati tengah tidak bersahabat. Tapi terkadang, pulang juga menjadi pilihan paling akhir, ketika rumah yang dituju tak membuka pintu.
_____
"Nggak ke sini bareng Kak Farza, Fik?" tanya Aludra kepada Fikri yang tengah duduk di ruang istirahat tempat Aludra bekerja.
Sore hari, selepas pulang bekerja, Fikri memutuskan untuk menemui Aludra di butiknya. Kondisi rumah tangganya dengan Farza cukup membuat laki-laki itu stres belakangan ini. Dan Fikri membutuhkan seseorang yang bisa dia jadikan teman bercerita sekaligus bertukar solusi. Dan, Aludra orang yang tepat menurutnya.
"Gue sekalian mampir dari tempat kerja, Al, jadi belum pulang sama sekali ke rumah," jawabnya. Aludra mengangguk atas jawaban yang Fikri lontarkan.
"Al, boleh cerita dikit nggak? Tapi kalau lo sibuk gue nggak akan ganggu sih, Al." Aludra mendongak, menutup buku sketsanya lalu beralih memperhatikan Fikri serius.
"Cerita apa? Tentang Kak Farza?" Fikri tersenyum kecil, Aludra menebaknya dengan benar. Memang, siapa lagi yang beberapa bulan ini terlalu sering membuat Fikri uring-uringan? Jawabannya adalah, Farza.
"Gue nggak tahu, gue pantas atau nggak cerita ini sama lo, Al. Tapi gue ngerasa buntu banget. Gue makin capek setiap harinya buat menghadapi Farza. Gue berusaha sesabar mungkin, tapi dia masih tetap sama. Bahkan kemarin gue ajak dia ketemu Ibu gue, supaya dia bisa ngobrol banyak hal positif sama Ibu. Tapi ternyata nihil, Al, nggak ada hasil sama sekali," tutur Fikri.
Nada suara sekaligus tatapan mata pria itu menunjukkan bahwa dia sangat putus asa. Aludra memahaminya, sebab dia tahu betul seperti apa sifat Farza. Dia berusaha netral, tidak berpihak pada Farza maupun Fikri. Namun ketika melihat betapa frustasinya sahabatnya itu, Aludra merasa iba.
"Apa karena Kak Farza bertemu Kak Dilfa kemarin di rumah Ibu lo, Fik?" tanya Aludra hati-hati. Dan benar, Fikri membenarkan pertanyaan Aludra. Pria itu sudah berfirasat hal seperti ini akan terjadi ketika Farza bertemu dengan Dilfa, Aludra juga mengerti kakaknya akan selalu seperti itu setiap kali bertemu dengan suaminya.
"Gue terlalu sombong, Al. Ketika gue akan nikahin dia, gue pikir akan mudah buat dia berubah menjadi lebih baik. Gue kira akan mudah buat dia mulai lupain Dilfa. Gue terlalu menganggap diri gue mampu, Al. Nyatanya, sampai detik ini Farza masih tetap sama, dan gue justru dibuat putus asa."
Aludra menghembuskan napasnya pelan, menatap lekat Fikri yang tengah tertunduk lesu. Sedikit banyak, Aludra merasa bersalah pada Fikri. Pria itu terjebak dalam sebuah hubungan yang begitu rumit sebab dirinya. Pria di depannya, terlihat lelah sebab dirinya.
"Maafin gue, Fik."
Fikri menegakkan kembali badannya, menatap balik Aludra yang masih setia menatapnya. Mendengar kata maaf dari Aludra, justru menyakiti hatinya. Pria itu perlahan tersenyum. Seberapapun lelah dan ingin menyerah, dia harus tetap berjalan dengan apa yang saat ini dia genggam.
"Tapi, Al, gue akan tetap sombong seperti awal. Gue akan tetap yakin, kalau gue bisa bikin hidup lo dan Dilfa tenang tanpa bayang-bayang Farza. Bahagia lo jauh lebih penting, Al." Fikri mengucapkan kalimat tersebut masih diiringi dengan senyumnya.
"Gue juga pengen lo bahagia, Fik. Gue berterimakasih, karena lo mau melakukan hal sedemikian rupa buat gue. Tapi rasanya gue nggak tahu diri, kalau biarin lo nanggung sakit dan capek buat gue, sedangkan gue nggak bisa balas apapun ke lo."
Fikri menggeleng pelan. Pria itu tidak pernah menginginkan balasan, atau sebuah kata terimakasih dari Aludra. Pria itu hanya ingin kebahagiaan untuk Aludra. Karena bagi Fikri, Aludra masih segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]
RomanceAku terjebak dalam satu kondisi, di mana raga ku bersama mu, namun hatiku menjadi miliknya. Haruskah ku terima kamu dengan lapang? Sedang hatimu pun menjadi milik orang lain. Kita berdua terikat dalam sebuah pernikahan, yang hanya ada keterpaksaan...