BAB XXVIII (Bersama Dilfa)

2.2K 160 3
                                    

Tidak ada yang sia-sia dari sebuah kesabaran. Tidak ada yang sia-sia dari sebuah permaafan. Pada akhirnya, manusia akan menyesal telah berbuat dosa. Entah menyesal saat masih di dunia, atau saat sudah bersama Sang Pencipta.

_____

Farza menatap sebuah rumah besar yang ada di depannya. Langkah kakinya seolah tertahan, rasa ragu menyelimuti hatinya tatkala Fikri mengajaknya untuk memasuki rumah tersebut.

Jika bukan sebab Fikri memaksa Farza untuk turut serta bersamanya, perempuan itu enggan untuk datang ke rumah itu. Tapi sayangnya, Farza tidak bisa melepaskan diri dari paksaan Fikri.

"Ayo, Za," ajak Fikri. Farza masih diam, perempuan itu berpikir seribu kali untuk mengayunkan kakinya mengikuti Fikri yang sudah memasuki rumah itu terlebih dahulu.

Mata Farza terpaku saat seorang pria membuka pintu rumah tersebut, dan menyambut kedatangan Fikri dengan hangat. Dan hal itu, membuat Farza semakin tidak yakin untuk menyusul Fikri.

"Za!" panggil Fikri dengan suara yang lumayan keras. Dengan keragu-raguan yang masih menyelimuti, Farza memberanikan diri untuk menghampiri Fikri dan bertemu dengan pria yang tengah berbincang dengan Fikri.

"Za, apa kabar?"

"Hah? Baik, Dil, kayak yang kamu lihat sekarang," jawab Farza. Benar, pria itu adalah Dilfa, suami dari mendiang adiknya sekaligus mantan kekasihnya. Pria yang mungkin sampai saat ini masih ada di hatinya.

"Gue ke sini mau lihat ponakan gue, Dil. Dia di mana?" tanya Fikri antusias. Dilfa tersenyum ramah melihat betapa antusiasnya Fikri terhadap putri kecilnya.

"Ada di kamar sama suster, di lantai atas, Fik," jawab Dilfa. Tanpa ragu, Fikri segera melangkahkan kaki dengan cepat menuju kamar yang ditunjukkan oleh Dilfa. Pria itu benar-benar penasaran, bagaimana wajah putri kecil dari mendiang sahabatnya itu.

Sedangkan Farza, masih terdiam canggung di hadapan Dilfa. Bahkan saat pria itu mempersilakan Farza untuk duduk di ruang tamu rumahnya, perempuan itu hanya mampu menjawab dengan anggukan kecil.

"Kamu, baik-baik saja kan, Dil?" tanya Farza, setelah berulang kali memberanikan diri untuk memulai percakapan dengan Dilfa. Entah apa yang membuat perempuan itu begitu canggung dan takut, yang jelas saat ini, Farza teringat pada Aludra.

"Baik-baik saja kok, cuman memang sedang repot dengan Aliza, karena aku baru pertama kali mengurus bayi," jawab Dilfa. Aliza adalah nama dari putri kecilnya bersama Aludra. Putri kecil yang tidak mampu merasakan kehangatan dekapan seorang Ibu, sejak dia dilahirkan ke dunia.

"Pasti susah ya, Dil?" Dilfa tersenyum kecil mendengar pertanyaan Farza. Seolah ada beban berat di pundak pria itu, tapi dia harus berusaha sebisa mungkin untuk memikul beban tersebut, tanpa mengeluh.

"Awal-awal susah, Za. Tapi kalau ingat Aliza adalah titipan terakhir dari Aludra, rasanya semuanya jadi mudah. Seenggaknya itu bikin aku nggak malas buat belajar jadi orang tua yang baik buat Aliza."

Farza mengangguk pelan, tak tahu harus menanggapi bagaimana perkataan Dilfa. Yang jelas Farza tahu, bahwa yang tengah Dilfa rasakan dan lakukan akhir-akhir ini, tidak mudah untuk pria itu. Jika Fikri saja sampai terpuruk satu minggu lamanya, bisa saja Dilfa hanya berpura-pura terlihat baik-baik saja.

Mata Farza berkeliling ke seluruh sudut rumah. Foto-foto Aludra masih terpajang rapi di rumah itu, bahkan foto pernikahan Aludra dan Dilfa menjadi foto dengan ukuran paling besar di sana. Dan untuk pertama kali, Farza tidak merasa iri ataupun sakit hati.

Farza memandang cukup lama pada foto Aludra yang tengah tersenyum, dengan mengenakan pakaian wisuda. Seketika perasaan bersalah dan penyesalan yang sejak tadi terlupa, muncul kepermukaan lagi. Sepertinya, perihal Aludra akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidup Farza selamanya.

"Dil, aku nggak tahu ini waktunya tepat atau nggak. Tapi ada banyak hal yang pengen aku sampaikan ke kamu," ucap Farza. Tekad perempuan itu telah bulat, untuk mengutarakan isi hatinya saat itu juga pada Dilfa.

"Ada apa, Za?" tanya Dilfa. Pria itu mulai menduga-duga dalam hati, semoga saja yang ingin Farza bicarakan bukan hal bodoh lagi, seperti waktu dulu.

"Aku minta maaf. Aku tahu rasanya telat banget, Dil. Aku juga malu sebenarnya, tapi aku nggak mau terus merasa terbebani, Dil."

Farza menatap jari-jari kakinya sebelum melanjutkan kalimatnya. Tapi dia harus berani, dia harus segera menyelesaikan hal-hal yang menggangunya belakangan ini. Supaya setelah ini, dia bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang.

"Aku minta maaf sama kamu atas semua kesalahan aku. Kesalahan aku di masa lalu ke kamu, aku benar-benar minta maaf, Dil. Bohong kalau aku nggak nyesal sudah sejahat itu sama kamu dulu."

Pintu hati perempuan itu benar-benar telah terbuka. Dia sepenuhnya menyadari, dengan sadar menyesali, segala hal buruk yang dia lakukan tempo dulu.

"Maaf, kalau aku baru minta maaf sekarang sama kamu. Perginya Aludra bikin aku benar-benar sadar, kalau selama ini aku banyak salah sama kamu dan juga Aludra. Sebelum semuanya terlambat lagi, aku benar-benar minta maaf, Dil."

Farza tidak ingin dia meminta maaf pada orang-orang yang telah dia sakiti hatinya, seperti pada Aludra. Farza baru bisa mengucapkan kalimat maaf saat Aludra sudah tiada. Dia tidak ingin itu terulang lagi.

"Hari ini aku masih bisa lihat kamu, aku masih bisa minta maaf ke kamu. Jadi, aku benar-benar minta maaf, Dil, atas semua hal menyakitkan yang kamu dapat dari aku. Aku cukup tersiksa karena menyesal sudah berbuat jahat setelah Aludra nggak ada, aku nggak mau itu terulang lagi."

Dilfa memandang perempuan yang dulu sempat begitu ia cinta. Mata Farza memang menunjukkan penyesalan yang begitu dalam. Bahkan, perempuan itu meruntuhkan benteng air matanya. Dan kali ini, Dilfa yakin kalau Farza telah berubah menjadi lebih baik.

"Aku sudah maafin kamu dari jauh-jauh hari, Za. Aku sudah ikhlasin semuanya. Sekarang, kita jalanin hidup kita masing-masing, Za. Kamu dengan hidupmu bersama Fikri dan anak kamu, begitupun aku dengan hidupku bersama Aliza."

Farza mengangguk mengiyakan perkataan Dilfa. Perempuan itu bersyukur, setidaknya pada Dilfa dia mampu mengucap maaf sebelum semuanya terlambat kembali. Sebab Farza paham, kapanpun dan di manapun, Tuhan bisa saja mengambilnya dari muka bumi ini. Dan dia tidak ingin pergi, dalam keadaan ada seseorang yang masih tersakiti.

"Dan tentang Aludra, kita sama-sama tahu kalau dia orang baik, Za. Dia pasti juga sudah maafin kamu, karena dari dulu pun, dia nggak pernah marah atau benci sama kamu, Za."

Ucapan Dilfa kembali membuat tangis Farza semakin deras. Aludra tak pernah membencinya, sejahat apapun dia. Tapi dirinya, bahkan tiada henti menyakiti Aludra. Ah, penyesalan itu semakin besar terasa. Penyesalan itu kian menyesakkan dada. Penyesalan itu, rasanya tidak akan tertebus selamanya.

Dan lagi, Fikri kembali menyaksikan Farza menangis dipenuhi penyesalan. Pria itu, mendengar semua pembicaraan mereka sedari awal. Fikri tersenyum penuh haru, menyaksikan akhir dari kisah pilu di antara mereka.

"Lo dan Dilfa sama-sama orang baik, Al. Sayangnya, ketika semuanya sudah membaik, lo justru nggak ada di tengah-tengah kita. Lo senang kan, Al, lihat keadaan kita yang sekarang?" ujar Fikri pelan.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang