BAB XXXIII (Fikri atau Agral?)

1.7K 138 5
                                    

Tak ada yang lebih baik dari merelakan, serta pahitnya belajar mengikhlaskan. Mungkin, aku harus kembali mempertimbangkan. Tetap bersamamu, atau mengulang kisah lalu.
Kau tahu, aku dirundung dilema. Bersamamu, justru akan menghambat masa depanmu. Tapi tak bersamamu, aku tak tahu hidupku akan kembali layak di jalani atau tidak.
Seseorang pernah berkata, bersamamu sakit, tapi tak bersamamu teramat sulit. Kini, aku mengerti.

_____

Hari minggu kembali tiba, meliburkan diri dari segala penat aktifitas pekerjaan menjadi hal yang paling Fikri nantikan. Meski sesekali ponselnya berdering, menandakan panggilan masuk dari orang-orang yang terhubung dengan pekerjaannya.

"Fik, lo mau ngapain?" tanya Farza. Perempuan itu menghampiri Fikri yang tengah sibuk di dapur, mengeluarkan segala macam bahan makanan dari lemari penyimpanan, dan menata rapi di samping kompor.

"Gue mau pamer keahlian, Za," jawabnya dengan bangga. Farza mengernyitkan dahi pertanda tak mengerti. Keahlian apa? Memasak?

"Lo mau masak, Fik? Nggak deh, Fik, jangan, hancur nanti ini dapur," cegah perempuan itu.

"Lo nggak tahu saja kalau gue ini jago masak. Sudah, mending lo duduk anteng, nanti kalau sudah selesai lo cobain saja sendiri."

Fikri mendorong pelan tubuh Farza untuk duduk di meja makan, yang tak jauh dari dapurnya. Kemudian, pria itu kembali sibuk dengan kegiatan memasaknya. Walaupun sudah cukup lama dirinya tidak bergelut di dapur, tapi keahliannya tidak memudar.

Farza menatap Fikri dengan seksama. Pikirannya kian kacau. Melihat pria sebaik Fikri di depannya, rasanya ia ragu untuk meninggalkan Fikri. Tapi kemudian dia berpikir, apakah kiranya dia tidak egois mempertahankan Fikri, dan membiarkan pria itu menanggung segala beban yang bukan miliknya?

"Lo, tuh, dari kemarin-kemarin ngelamun mulu, Za. Kalau ada masalah itu cerita, jangan dipendam sendiri," ujar Fikri, membuyarkan lamunan Farza.

"Ngelamun darimana?"

"Lo pikir gue buta!" jawab Fikri sewot.

"Kalau ada apa-apa, tuh, ngomong, cerita. Jangan di pendam sendiri. Kalau tiba-tiba kesambet, kan, repot."

"Nggak ada apa-apa kok, Fik. Mungkin gue capek saja," jawabnya berbohong. Bukan Farza enggan untuk menceritakan hal yang mengganggunya belakangan ini. Hanya saja, perempuan itu tak tahu harus memulainya darimana.

"Lo sejak kapan bisa masak, Fik?" tanya Farza, berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. Perempuan itu tengah tidak ingin memikirkan Agral dan keputusan apa yang harus dirinya ambil, dia terlalu dibuat dilema.

"Sejak orang tua gue bangkrut. Kita mulai lagi semuanya dari nol, usaha Ayah gue, dan semua kehidupan gue dan keluarga gue. Ibu yang dulunya selalu pakai jasa asisten rumah tangga, jadi harus ngerjain semua urusan rumah sendiri. Dari situ gue mulai bantuin Ibu. Dari beresin rumah, dan tentunya masak."

Fikri kembali menerawang jauh, ke masa di mana kondisi keluarganya berbalik drastis. Dari yang tadinya memiliki segalanya, menjadi luar biasa sederhana. Dari yang tadinya serba menggunakan pelayanan dan jasa, menjadi hasil tangan-tangan anggota keluarga.

"Maaf, Fik, gue malah jadi ingetin lo ke masa yang mungkin bikin lo sedih," ujar Farza menyesal. Fikri menggeleng pelan, sembari masih sibuk berkutat dengan masakannya.

"Justru dari sana gue belajar kerja keras, Za. Gue belajar buat nggak manja, karena gue sadar orang tua gue lagi dalam keadaan terpuruk. Gue jadi giat belajar, baca buku, supaya dapatin beasiswa buat sekolah. Karena gue nggak pengen nambahin beban di pundak orang tua gue."

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang