Jika hadirnya tak pernah kamu hargai, jika adanya tak berhenti kamu lukai, mungkin perginya akan membuatmu merenungi diri. Bahwa, bersamanya adalah keberuntungan yang tak bisa kamu miliki lagi.
_____
"Gimana kata dokter?" tanya Fikri. Meski pria itu terlihat tidak peduli dan memang enggan peduli, tetap saja pertanyaan itu keluar dari bibirnya. Mungkin memang pada dasarnya Fikri adalah pria yang penuh dengan perhatian, seperti dulu saat bersama Aludra.
Fikri yang tengah menuang air minum di dapur, melirik sekilas Farza yang terdiam duduk di ruang tamu. Televisi dibiarkan menyala oleh perempuan itu, tangannya menggenggam sebuah buku catatan kehamilannya, namun matanya terlihat kosong, pikiran perempuan itu entah berkelana kemana.
Fikri geleng kepala, pria itu seakan tahu apa yang tengah Farza pikirkan. Bukan tanpa sebab, pikiran Fikri pun tengah mengarungi kisah lalu. Pertemuannya dengan Aludra pagi tadi, untuk pertama kalinya membuat Fikri berpikir, apakah seandainya dia yang menggantikan posisi Dilfa, Aludra akan sebahagia saat sekarang?
"Penyesalan emang datengnya suka telat. Tapi yang paling bikin nyesek itu, ketika kita sadar kalau dulu kita membuang kesempatan terbaik yang nggak akan dateng dua kali," ucap pria itu sembari mendudukkan diri di karpet tak jauh dari Farza.
"Tumben diem aja lo!" tegur Fikri, lagi. Namun Farza tetap tak bergeming. Yang terdengar hanya helaan napas yang begitu panjang dari perempuan itu. Baru pertama kali Fikri melihat Farza seakan memiliki beban yang berat. Perempuan manja itu, sepertinya mulai bisa berpikir sendiri.
"Kalau gue mau usaha dapetin Dilfa lagi, apa yang bakal lo lakuin ke gue? Gue tahu, Aludra berarti banget buat lo. Sampe lo rela nyakitin diri lo sendiri buat dia." Fikri menatap Farza sembari tersenyum, senyum yang bukan berarti kebaikan. Senyum yang terlihat, entahlah.
"Gue nggak pernah nyakitin hati dan diri gue sendiri demi Aludra. Justru gue ngelakuin ini semua, berkorban apapun itu, karena gue sadar Aludra pernah terluka karena gue. Karena gue sadar, gue punya banyak salah sama Aludra. Dan semua yang gue lakuin sebenernya bukan pengorbanan, tapi tebusan atas semua salah gue," jelas pria itu.
"Dan buat pertanyaan lo, gue mungkin akan ngurung lo di sini selama apapun itu, asal lo nggak pernah ganggu kehidupan mereka. Aludra atau Dilfa berhak bahagia. Kita yang punya banyak salah sama mereka, emang pantes dapet rasa penyesalan dan mungkin sakit hati yang lo rasain sekarang."
Farza tak henti menatap Fikri. Terkadang, perempuan itu membenarkan ucapan Fikri. Terkadang dia pun sadar, kalau penyesalannya hari ini adalah bagian kesalahannya hari kemarin. Tapi Farza tak pernah benar-benar sadar, tetap saja separuh hatinya membenarkan apa yang dia lakukan dulu.
"Gue masih pantes kok sama Dilfa!" kekeh perempuan itu. Tak urung Fikri tertawa mendengarnya. Adakah orang yang lebih berbangga diri setelah menyakiti orang lain, selain Farza? Adakah orang yang masih tak sadar diri padahal penyesalan di depan mata, selain Farza? Sepertinya memang hanya Farza.
"Haduh, halu lo kayanya udah mulai masuk ke tahap sakit jiwa, Za."
"Dulu Dilfa bahagia banget sama gue, dulu cuma gue yang bisa bikin dia senyum. Dulu cuma gue yang diperlakuin istimewa sama dia. Dulu cuma gue, nggak ada orang lain."
Satu kesalahan manusia yang selalu dilakukan berulang-ulang, yaitu sibuk menatap masa lalu dan acuh terhadap kenyataan yang ada di depan. Padahal seharusnya, manusia sibuk menyiapkan masa depan. Bukan sibuk menghitung masa lalu yang tak mungkin bisa diulang lagi. Seindah atau sesakit apapun itu, masa lalu tetaplah masa lalu. Dan semisteri apapun itu, masa depan adalah hari yang akan kita tuju.
"Tapi buat masa depan atau hari ini deh, lo sama sekali udah nggak pantes buat Dilfa, Za. Mungkin di masa lalu lo segalanya, tapi hari ini dan masa depan, lo bukan apa-apa. Lo nyesel ataupun nggak, lo sadar kalau lo salah atau nggak, lo udah bukan apa-apa di mata Dilfa."
"Tapi orang yang berdosa sekalipun masih punya kesempatan buat dimaafin!"
Fikri mengelus dadanya, mencoba menyabarkan diri menghadapi perempuan keras kepala di depannya. Entah kepalanya terbuat dari batu sekeras apa, nasihat demi nasihat bahkan kata-kata pedas yang Fikri lontarkan, tak berhasil menyadarkan Farza, barang sedikitpun.
"Dimaafin bukan berarti bisa kembali, Za. Mungkin Dilfa udah maafin lo, tapi buat balik sama lo lagi kayanya dia harus mikir seribu kali. Ditambah, Aludra sekarang yang menjadi segalanya buat dia. Lo mengakui atau nggak, tapi posisi lo bener-bener udah tersingkir sama Aludra."
"Kalau gitu gue akan singkirin Aludra supaya gue bisa dapetin Dilfa lagi!"
"Dan gue yang akan nyingkirin lo terlebih dahulu." Ucapan Fikri memang terkesan remeh, nada bicaranya pun datar seakan tak memiliki emosi. Tapi tatapan mata pria itu, Farza tahu kalau Fikri serius dengan ucapannya.
"Lo masih suka kan sama Aludra? Kenapa nggak kita kerja sama buat pisahin mereka? Lo akan dapetin Aludra, dan gue akan dapetin Dilfa. Kita impas," tawarnya yang justru menambah murka Fikri.
"Gue nggak segila itu! Secinta apapun gue, gue nggak akan ngelakuin hal bodoh kaya gitu. Karena apa? Gue pernah nyakitin dia! Dan gue juga sadar, gue nggak bisa bahagiain Aludra seperti Dilfa bahagian dia! Dan lagi, kalaupun gue bisa dapetin Aludra, gue nggak mungkin tega maksa dia hidup sama orang yang pernah nyakitin dia!"
"Emang apa salahnya? Toh gue nggak akan ngulang lagi kesalahan gue yang dulu!"
Tarik napas, hembuskan. Fikri harus menghirup oksigen lebih banyak, supaya kepalanya tidak dibuat mendidih oleh kelakuan Farza. Sesekali Fikri bertanya dalam hati, kenapa ya manusia itu sulit sekali untuk sadar diri? Kenapa manusia itu sulit sekali untuk mengerti, bahwa luka hati tak semudah itu hilang dan pergi. Kenapa?
"Sesekali lo emang harus nerima kenyataan, Za. Kalau nggak semua yang lo pengen bisa lo dapetin. Apalagi yang lo pengenin adalah hati seseorang yang udah lo sakitin. Berkhayal kembali sama dia boleh, tapi jangan sampe bikin lo gila!"
Dan akhirnya, jurus jitu setiap perempuan pun keluar. Farza menangis, entah apa yang dia tangisi. Sedang Fikri masih enggan peduli. Jujur saja, semakin lama mengenal Farza sama sekali tak menghadirkan perasaan simpati di hati Fikri. Yang ada pria itu semakin merasa, kalau Farza adalah perempuan yang amat sangat menyebalkan.
"Gue capek. Kalau lo mau nangis, nangis aja. Gue nggak peduli, selama lo nggak ngelakuin hal bodoh yang bisa nyakitin Aludra." Baru saja Fikri hendak melangkah pergi menuju kamar tidurnya, kalimat penuh amarah yang keluar dari mulut Farza berhasil menyulut emosi Fikri.
"Kenapa sih, yang semua orang pikirin cuma Aludra! Lo, lagi-lagi setiap yang lo lakuin demi Aludra! Bahkan lo nikahin gue demi Aludra! Lo selalu ngancem gue demi Aludra! Dilfa nggak mau balik sama gue karena Aludra! Semuanya kacau karena Aludra!" teriak Farza penuh amarah.
"Karena dari dulu lo selalu hidup enak, Za! Lo nggak pernah ada di posisi Aludra! Lo nggak pernah ngerasain seberapa sakitnya jadi Aludra! Semua yang Aludra lakuin itu buat lo! Tapi lo sama sekali nggak pernah berterimakasih! Lo justru selalu nyakitin dan nyakitin dia!"
Farza diam, tak menjawab perkataan Fikri. Pria itu menatapnya dengan sirat dendam yang begitu kentara. Fikri adalah saksi dari setiap luka yang Aludra dapati. Fikri adalah sapu tangan dari setiap air mata yang Aludra keluarkan. Fikri selalu ada, di setiap air mata Aludra yang keluar dengan bebasnya. Dan semua, sebab Farza.
"Aludra berhak dapetin semua yang sekarang dia dapetin! Dan lo, nggak punya hak buat ngerebut kebahagiaan Aludra lagi! Gue nggak akan pernah biarin lo nyentuh Aludra, seujung kuku pun! Jadi, berhenti merasa kalau lo adalah korban di sini! Justru lo penjahatnya!"
_____
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]
Roman d'amourAku terjebak dalam satu kondisi, di mana raga ku bersama mu, namun hatiku menjadi miliknya. Haruskah ku terima kamu dengan lapang? Sedang hatimu pun menjadi milik orang lain. Kita berdua terikat dalam sebuah pernikahan, yang hanya ada keterpaksaan...