BAB XVIII (Saling)

1.7K 149 4
                                    

Aku pun masih dalam proses belajar. Belajar untuk menerima keadaan. Bahwa terkadang, takdir membawa kita pulang ke rumah yang tak pernah kita bayangkan. Meski tidak ada cinta di dalamnya, setidaknya hangatnya terasa.

_____

"Za, lo mau gue titip ke Ibu nggak? Biar ada yang bantu lo jagain Farras?" tanya Fikri. Farza yang tengah membersihkan kamarnya itu menoleh ke arah Fikri, pria itu sudah rapi pertanda akan memulai hari dengan bekerja.

"Nggak deh, Fik. Kasihan Ibu, nanti capek. Gue bisa jagain Farras sendiri kok," jawabnya. Bukan Fikri tak percaya kalau Farza bisa mengurus putranya seorang diri, hanya saja ini kali pertama bagi perempuan itu, Fikri khawatir kalau nantinya Farza kewalahan.

"Yakin lo? Urus diri sendiri saja belum benar," sindirnya. Farza tidak menggubris, berbeda dengan dia yang sebelumnya. Biasanya, ketika Fikri berbicara sinis dan menyindirnya dengan kalimat pedas, Farza akan menjawabnya dengan penuh emosi. Sepertinya, Farza sudah mulai terbiasa.

"Benar sih, tapi seenggaknya gue mau belajar," ucap perempuan itu.

Fikri menoleh kecil pada bayi laki-laki yang masih terlelap di ranjang kamar Farza. Kemudian beralih menatap Farza, seolah mencari sesuatu di wajah perempuan itu. Kemudian, Fikri mengangguk pelan, meninggalkan tanda tanya besar di kepala Farza.

"Kenapa lo angguk-angguk nggak jelas kaya gitu?" tanya Farza.

"Kepo lo! Sudah ah, gue mau berangkat, keburu telat. Kalau ada apa-apa hubungi gue atau Ibu, ngerti?" Farza mengiyakan perintah Fikri. Mata perempuan itu mengekori langkah kaki Fikri hingga keluar apartemen mereka.

"Mumpung Farras belum bangun, ayo lanjut beres-beres! Semangat, Farza!" selorohnya menyemangati dirinya sendiri.

**

Hari beranjak sore. Matahari mulai bergulir, kembali ke peraduannya. Gelap menyapa, bulan dan bintang pun menjelma. Seiring detik waktu yang berjalan seperti biasanya.

Farza sibuk dengan kegiatannya mengotori dapur, menyiapkan makan malam untuk Fikri ketika pria itu pulang nanti. Dengan Farras, si bayi mungil yang berada dalam gendongannya.

"Sumpah, gue berasa kaya ibu rumah tangga banget kalau kaya gini setiap hari," lirihnya. Itu bukan keluhan, tapi dia bangga pada dirinya sendiri. Sebab di tengah kesibukannya menjaga Farras, dia mampu mengerjakan banyak hal juga.

"Kan memang sudah jadi ibu rumah tangga, tinggal nurutnya doang yang belum mencerminkan ibu rumah tangga," jawab Fikri. Farza sedikit terkejut, pasalnya perempuan itu sama sekali tidak mendengar kepulangan Fikri.

"Dari kapan lo sampai rumah?" tanya perempuan itu masih dengan raut terkejutnya.

"Dari mulai lo ngedumel sendirian nggak jelas," ejek Fikri.

Fikri beralih membuka sepatu kerjanya, kemudian duduk di ruang tamu mengistirahatkan diri. Mata pria itu berkeliling ke seluruh penjuru ruangan, ada yang aneh menurutnya.

"Lo bersih-bersih, Za?" tanya Fikri sembari terkekeh pelan.

"Nggak mungkin tapi deh, lo nyuruh siapa buat bersih-bersih, Za? Lo ada uang buat bayar orang, Za? Serius, ini apartemen jadi kinclong banget!" ujar Fikri takjub. Memang benar, tempat tinggal mereka menjadi lebih rapi dan lebih bersih tentunya, membuat Fikri terheran-heran.

"Sembarangan itu mulut kalau ngomong! Lo kira gue nggak punya tangan sama kaki! Gue bersihin sendirilah!" jawab Farza sewot. Seketika Fikri bertepuk tangan ria.

"Wah! Gue takjub, Za, sumpah! Anak lo pasti bangga, Mamanya sudah nggak manja lagi!" seru Fikri.

"Lebay lo!"

"Gimana nggak lebay, seorang Farza, si tuan putri yang nggak pernah ngelakuin hal berat apapun seumur hidupnya, bisa bersih-bersih dengan hasil yang bikin orang melongo!"

Farza menatap Fikri sinis. Entah dia harus berbangga dengan ucapan Fikri, atau merasa tersindir dengan itu. Sebab perkataan Fikri mengandung dua makna, yaitu pujian sekaligus sindiran. Dan entah yang mana yang benar.

"Tapi serius, Za. Ini gue memuji lo, akhirnya lo punya kemajuan. Lo mau ngelakuin banyak hal yang sebelumnya nggak pernah lo lakuin. Bagus bagus," pujinya.

Fikri memang jujur, dia merasa bangga dengan kemajuan yang Farza lakukan. Entah darimana dorongan dan kesadaran itu, Fikri tidak ingin bertanya. Sebab melihat Farza sudah mulai berubah sedikit demi sedikit, dia sudah merasa lega.

"Gue nggak mau tempat tinggal kita kotor dan banyak debu, apalagi sekarang sudah ada Farras. Biasanya anak bayi sensitif sama hal-hal yang nggak bersih, jadi gue usaha buat bersihin ini semua demi Farras," jawab Farza.

Fikri tersenyum kecil. Kini pria itu sadar, selama ini dia memaksa Farza untuk berubah, namun karena itu bukan atas dasar kesadaran dari perempuan itu sendiri, maka tidak ada hasilnya. Tapi ketika perubahan itu berasal dari kesadarannya tanpa paksaan, dia berhasil melangkah perlahan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Memang, setiap manusia pasti membutuhkan alasan dan sebab untuk setiap perilaku yang mereka perbuat. Untuk sikap Farza beberapa bulan bahkan tahun ke belakang pun, ada sebab dan alasannya tersendiri. Tapi tetap saja bagi Fikri, apapun itu alasannya, jika itu sebuah kecurangan dan melukai seseorang, alasan itu tetap tidak boleh dibenarkan.

"Mandi dulu deh, Fik. Selesai mandi kita makan, gue belajar masak hari ini tapi nggak tahu enak atau nggak, mau coba?" tanya Farza sembari menunjukan beberapa masakan yang dia buat hari ini.

"Hmm, tunggu gue mandi dulu."

"Cepat, Fik, jangan lama. Gue sudah lapar," pinta Farza.

"Makan duluan kalau takut gue kelamaan."

Fikri mengayunkan langkah kakinya. Meninggalkan Farza yang masih menyiapkan peralatan makan sembari menggendong putranya. Sedikit kasihan sebenarnya, Farza adalah perempuan yang sejak lahir hidup dengan banyak pelayan di sampingnya. Tapi hidup bersamanya, Farza harus belajar melakukan segala hal.

**

Malam hari, selesai menidurkan Farras, Farza kembali ke dapur hendak mencuci piring dan peralatan masak yang kotor dan menggunung. Namun perempuan itu terkejut, kala melihat piring dan lain-lainnya telah bersih tanpa meninggalkan satu barang pun.

"Lo yang nyuci piring, Fik?" tanya Farza pada pria yang tengah fokus pada lembaran-lembaran kertas itu.

"Heem, gue kasihan sama lo, sedikit."

"Terimakasih, Tuan Fikri, yang gengsinya selangit, dan omongannya yang selalu menohok hati," jawab perempuan itu penuh sarkasme.

"Za, lo nggak lagi kena sawan apa gitu kan? Nggak lagi demam atau sakit kan? Suhu badan lo tinggi nggak?" tanya pria itu. Matanya yang semula fokus pada tumpukan pekerjaan, kini beralih menatap Farza penuh selidik.

"Kenapa? Karena gue mau beres-beres? Gue mau masak? Gue nggak marah-marah? Nggak ngeluh? Nggak manja lagi?" Fikri terkekeh mendengar penuturan Farza. Memang, perempuan itu memang aneh hari ini.

"Sudah gue bilang kan, gue nggak mau tempat ini kotor dan banyak debu karena sudah ada Farras, gue harus jaga kebersihan demi kesehatan anak gue!"

Tidak puas dengan jawaban yang dilontarkan Farza, Fikri masih menatap Farza penuh selidik. Seolah mencari jawaban yang menurutnya sangat tepat untuk menggambarkan segala tingkah ajaib Farza hari ini.

"Terus alasan lo belajar masak apaan? Demi Farras juga? Dia masih bayi, Za. Belum bisa ngunyah nasi. Apa?"

"Ish, nyebelin banget jadi orang! Bisa nggak, nggak usah kepo?" ujar Farza yang mulai kesal dengan pertanyaan Fikri yang tidak ada puasnya.

"Tinggal bilang aja gini, 'iya gue masak buat lo, Fik.' gitu doang gengsi," ejeknya. Farza yang tak terima pun melotot, perempuan itu menggulung lengan bajunya, bersiap hendak menyerang Fikri dengan pukulannya.

"Za, nggak boleh KDRT ya! Gue laporin lo ke Komnas perempuan!" ancam Fikri yang justru membuat Farza terbahak.

"Lo perempuan, Fik?"

Dan berakhirlah mereka terduduk bersama dengan tawa yang cukup keras. Hari yang melelahkan, namun malam yang cukup menyenangkan.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang