BAB XXVI (Berkemas)

2.3K 152 10
                                    

Aku tanggalkan semua tentang kamu. Aku ikhlaskan kamu, seberat apapun itu. Tapi tetaplah ingat ini, kamu selamanya berada di hati. Sosok mu tidak akan pernah terganti. Meski suatu hari, aku jatuh cinta lagi.

_____

Sinar mentari pagi menghangatkan tubuh Farza dan bayi kecilnya. Perempuan itu membawa putranya berjemur di depan rumah mertuanya. Sesekali dia mengajak Farras berbincang, meskipun bayi mungil itu belum bisa memberikan respon padanya.

Halaman rumah mertuanya terasa sangat nyaman. Rerumputan hijau dan bunga-bunga indah memenuhi sekeliling rumah. Ibu mertuanya itu memang sangat menyukai tanaman.

"Sedang apa, Nak?" tanya Ibu mertuanya, menghampiri Farza yang tengah berjemur itu.

"Berjemur, Bu. Terus tadi lihat-lihat bunga yang Ibu tanam," jawab Farza.

"Satu minggu ini berat ya, Nak, untuk kamu?" tanya wanita paruh baya itu. Farza tersenyum kecil mendengarnya.

Harus dia akui memang sedikit berat untuk dia hadapi. Tapi sekali lagi, Farza berusaha memahami dan memaklumi. Memang begini keadaan yang harus dirinya hadapi dan jalani. Toh kalau dipikir lagi, lebih berat Fikri dalam menghadapinya beberapa bulan ke belakang.

"Awalnya Farza juga merasa begitu, Bu. Tapi setelah dipikir kembali, Farza rasa justru lebih berat berada di posisi Fikri, Bu," tandasnya.

Ibu mertuanya bergerak mengambil Farras dari pangkuan menantunya, menggantikan posisi Farza untuk mendekap bayi laki-laki itu.

"Seperti yang sekarang sedang Ibu lakukan, Farza terkadang merasa tidak enak, Bu."

"Tidak enak kenapa lagi, Nak?"

"Ibu menerima Farras, dan memperlakukan dia seperti cucu kandung Ibu sendiri. Ibu dan Fikri, kalian menerima anak Farza tanpa berkompromi. Dan itu membuat Farza untuk kesekian kalinya merasa sungkan pada Ibu dan Fikri," ungkap Farza.

"Kan memang Farras cucu Ibu. Iya kan anak ganteng?" ujar sang Ibu mertua, sambil mengajak bicara Farras yang berada dalam gendongannya.

"Dan karena itu semua, Farza berpikir, apa yang Farza alami beberapa hari ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keikhlasan Ibu dan juga Fikri."

Ibu mertuanya tersenyum hangat. Wanita paruh baya itu sudah menganggap Farza seperti putrinya sendiri, semenjak kalimat ijab terlontar dari mulut putranya. Sama seperti dia menyayangi Aludra, Ibu mertuanya juga menyayangi Farza.

Bagi Ibu mertuanya itu, siapapun Ayah kandung Farras, setelah Fikri menikahi Farza maka Farras adalah putra dari anak lelakinya. Dan itu juga berarti, kalau Farras adalah cucunya. Dia tidak ingin membeda-bedakan, biarlah kesalahan yang Farza lakukan perempuan itu yang menanggung. Bayi mungil dalam dekapannya itu, tidak mengerti apa-apa. Dia, hanya korban dari kelalaian orang tuanya.

"Biarlah kesalahan yang kamu perbuat dahulu, menjadi bahan renungan dan pelajaran untuk kamu, Nak. Ibu tidak akan menghakimi atau menyalahkan kamu. Dan Farras, dia tidak bersalah atas apapun yang kamu lakukan di masa lalu, Nak. Jadi, berhenti bicara seolah Farras adalah kesalahan."

Farza mengangguk, Ibu mertuanya benar. Yang bersalah di sini adalah dirinya, Farras tidak termasuk ke dalam kesalahan yang dia buat. Dan sekali lagi, Ibu mertuanya menamparnya dengan nasihat tulus dan hangat. Kesalahan yang dia lakukan tempo dulu, akan menjadi pelajaran berharga dalam hidupnya.

"Terimakasih, Bu," ujar Farza dengan tulus.

"Ibu boleh bawa Farras jalan-jalan ke depan, Nak?" tanya Ibu mertuanya, yang terang saja langsung Farza iyakan. Dia bahagia, putranya di sayangi oleh orang sebaik Ibu mertuanya. Dan dia bersyukur, ada di tengah-tengah keluarga ini.

**

"Fik, lo yakin mau lakuin ini?" Pertanyaan Farza meluncur begitu saja, kala mendapati Fikri tengah mengemasi barang-barang di kamarnya.

Pria itu mengambil seluruh foto dirinya dan Aludra yang terpajang di kamarnya, tak bersisa satu pun. Kemudian di simpannya ke dalam box berukuran besar yang telah ia siapkan. Namun, ketika melakukan itu semua dirinya kembali terkenang akan Aludra.

"Mau atau nggak, gue harus lakuin ini, Za. Kalau nggak, selamanya bakal berat buat gue nerima kalau Aludra sudah nggak ada," jawab pria itu.

Pria itu menggenggam erat box yang sudah berisikan seluruh foto dan barang yang bisa mengingatkannya pada Aludra. Matanya beralih menatap ke penjuru kamarnya, kosong, seolah menjadi hampa.

Fikri tengah berusaha melapangkan hatinya, menyadarkan diri bahwa segalanya tak bisa ia tangisi lagi. Sudah satu minggu sejak kepergian perempuan yang ia cinta, dan waktu berdukanya sudah harus selesai saat ini juga.

"Kalau lo yakin dengan cara kaya gini bisa bikin lo mulai ikhlas dan nerima semuanya, lakuin, Fik. Gue cuma bisa dukung apapun yang mau lo lakuin, tanpa ikut campur ke perasaan lo," ujar Farza. Fikri mengangguk, dia yakin kalau yang ia lakukan setidaknya bisa mengurangi beban sakit dan kesedihannya.

Pria itu berjalan menuju lemari di sudut kamarnya. Dibukanya pintu lemari itu. Dia meraih sebuah kemeja berwarna putih yang tergantung di sana. Fikri tersenyum melihatnya. Sebuah kemeja yang memiliki kenangan dan makna baginya.

"Lo tahu, Za. Kemeja ini Aludra sendiri yang jahit buat gue. Waktu itu, hari pertamanya dia jadi perancang busana. Sebelumnya, waktu dia masih kerja di butik orang, dia janji kalau suatu saat mimpinya jadi perancang busana terwujud, dia akan buatin gue kemeja. Dan ya, ini dia," tutur Fikri sembari menunjukkan kemeja buatan Aludra pada Farza.

Farza tahu, sejak dulu Aludra memang berbakat di dunia seni merancang. Perempuan yang dulu ia benci setengah mati itu, menunjukkan bahwa bakatnya berhasil membawa dia ke titik terbaik dalam hidup. Perempuan yang dulu tak ia inginkan kehadirannya itu, justru hari ini membuat dia terpukau.

Dan pria yang berdiri di depannya saat ini, adalah yang berdiri di samping Aludra kala perempuan itu berusaha mewujudkan mimpinya. Fikri memang pria yang baik. Setelah menemani semua masa sulit hingga masa terbaik Aludra, kini pria itu hadir dalam hidupnya, dan kembali menjadi pendamping di masa sulit seorang wanita.

"Kayanya, hidup lo memang cuma menjadi teman di masa sulit seseorang ya, Fik?" tanya perempuan itu sembari tersenyum kecil. Fikri tertawa pelan mendengarnya, dia baru tersadar akan fakta itu.

"Gue juga heran, hidup gue baik-baik saja tapi selalu ketemu sama orang yang lagi dalam keadaan susah," ucapnya terheran-heran.

"Tuhan masih kasih orang-orang baik di dunia ini, walaupun hidup nggak selalu berakhir baik," lirih Farza.

Fikri kembali sibuk dengan kemeja di genggamannya itu. Dia rindu mengunjungi Aludra di butiknya, dia rindu menemani Aludra begadang menyelesaikan pesanan baju, dia rindu menunggu Aludra berjam-jam ketika perempuan itu menggambar rancangan busana terbarunya. Dia, rindu.

"Lo nggak mau pakai kemeja itu lagi, Fik? Mau lo simpan juga?" tanya Farza.

"Mau gue pakai terakhir kalinya, Za. Mau ikut ke makam Aludra?" ajak Fikri pada istrinya itu.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang