BAB XVI (Anggota baru)

1.8K 143 5
                                    

Bagaimana kamu membentuk duniamu, selaras dengan bagaimana kamu membentuk dirimu di dunia orang lain. Pada akhirnya kamu akan mengerti, bagaimana orang lain padamu, bergantung pada perilaku mu.

_____

Fikri duduk dengan gelisah, sesekali dia kembali berdiri dan memandang pintu bertuliskan 'Ruang Bersalin' di depannya. Sang Ibu yang menemani pun turut cemas, apalagi melihat Fikri yang tampak tidak tenang.

Tengah malam tadi, tepat pukul setengah dua dini hari Farza mengalami kontraksi. Segera Fikri membawanya ke rumah sakit terdekat. Dan benar saja, Farza hendak melahirkan.

Setelahnya, Fikri segera menghubungi Ibunya dan juga orang tua dari Farza. Ibunya tiba satu jam kemudian, namun mertuanya masih dalam perjalanan dari Jakarta.

"Duduk, Fikri. Kalau kamu nggak tenang seperti itu, kan Ibu jadi ikutan gelisah," keluh sang Ibu, sebab melihat Fikri mondar-mandir sembari menatap pintu ruangan bersalin istrinya itu.

Di dalam kecemasannya, sesekali wanita paruh baya itu tersenyum menatap putranya. Putranya telah dewasa, dia tumbuh dengan hati yang tidak terlalu hangat memang, namun sifat pedulinya pada siapapun itu sangat kental. Dan dia bersyukur, sebab memiliki putra seperti Fikri.

Di saat di luar sana para lelaki dengan mudah meninggalkan wanita yang telah dia renggut kesuciannya, meninggalkan janin dalam kandungan wanita itu. Fikri berbeda, dia bersedia bertanggung jawab meski itu bukan perbuatannya. Dan walaupun pada awalnya sebab alasan seorang wanita pula.

Namun, kini Ibunya bersyukur. Sebab Fikri sudah mau menerima. Dia mau berlapang dada, mengikhlaskan semuanya, serta bersedia membawa Farza pada lembaran baru bersamanya.

"Kok dokternya lama ya, Bu? Memangnya melahirkan selama ini ya, Bu?" tanya Fikri dengan nada khawatirnya. Mendengar pertanyaan dari putranya, wanita paruh baya itu tersenyum kecil.

"Kalau penasaran kenapa nggak masuk saja? Lihat sendiri seperti apa di dalam?" Fikri menghembuskan napas kesal mendengar perkataan sang Ibu.

"Nggak mau, Bu. Kalau Fikri masuk ke dalam, Fikri akan bayangin gimana Ibu dulu melahirkan Fikri. Fikri takut," jawabnya.

"Takut kenapa, Nak? Bukannya dengan begitu kamu akan sadar, kalau perjuangan perempuan itu tidak remeh. Kami berjuang mempertaruhkan nyawa demi sebuah nyawa pula."

Ibunya benar. Justru di saat-saat seperti ini dirinya menyadari, bahwa perempuan bukanlah makhluk yang Tuhan ciptakan dengan daya yang lemah. Mereka kuat, mereka hebat. Di tengah kesakitan yang mendera, yang mereka pikirkan hanya satu, yaitu melahirkan putra-putrinya dengan selamat.

"Fikri takut lihat dosa-dosa Fikri ke Ibu. Fikri takut semakin sadar, kalau Fikri belum bisa ngasih apa-apa ke Ibu, dari dulu sampai sekarang," tuturnya.

"Kamu tahu, Nak, meski terkadang seorang anak menyakiti hati orang tua, mengecewakan mereka, bagi kami, bagi para orang tua, kalian tetap darah daging tercinta kami. Apalagi putra Ibu itu kamu. Kamu sudah lebih dari cukup membuat Ibu bangga, Nak."

Fikri tertunduk sembari menggenggam jemari Ibunya. Wanita yang paling berharga dalam hidupnya. Wanita, yang tanpanya dia bukan siapa-siapa, bahkan mungkin tidak ada di dunia.

"Sebentar lagi kamu juga menjadi orang tua. Contohkan yang baik pada anak-anakmu, pastikan mereka mendapatkan sosok Ayah yang hebat dari kamu. Jadilah seorang Ayah yang bisa menjadi teman, sahabat, guru, apapun itu dalam hidup anakmu."

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang