Apapun yang menjadi pilihanmu, aku tak akan lagi berkata tidak. Sebab aku percaya, kamu yang paling mengerti perihal dirimu sendiri. Begitupun sebaliknya.
_____
Beberapa orang hilir mudik menata barang-barang dan segala keperluan acara pengajian seratus hari dari Aludra. Terlihat beberapa sahabat dekat pun turut mengulurkan tangan dalam menyiapkan acara tersebut.
Tak terkecuali Fikri. Pria itu membantu menggelar tikar yang nantinya digunakan oleh para tamu undangan ketika pengajian telah dimulai. Sesekali pria itu menatap Dilfa, suami dari mendiang sahabatnya. Terlihat Dilfa yang setia menjaga putrinya, Aliza.
Enggan untuk mengganggu, Fikri hanya menegur Dilfa saat dirinya baru saja tiba. Sebab dia mengerti dengan sangat, kehilangan Aludra masih menjadi titik terberat dalam kehidupan pria itu, begitu juga bagi dirinya.
"Fik, gue lihat lo dari tadi kayak nggak ada semangat banget deh, kenapa? Sedih mikirin Aludra lagi?" tanya Naya. Fikri menggeleng pelan, lalu tersenyum kecil pada sahabatnya itu.
Bukan. Dia bukan bersedih sebab Aludra, hanya saja yang ia lakukan hari ini entah mengapa teramat mengganjal di hatinya. Dia mungkin harus melepaskan Farza, sebab lebih memilih hadir di acara pengajian Aludra.
"Gue harusnya cegah seseorang buat pergi hari ini, Nay. Tapi, gue juga ngerasa berat banget nggak ada di acara seratus harinya Aludra. Biar gimanapun, Aludra jauh lebih lama di hidup gue," jawabnya.
"Gue tahu kok, selama kita bertiga sahabatan, lo ada rasa sama Aludra. Dari cara lo jagain dia, perhatiin dia, khawatirin dia, itu bukan cuma sekadar sahabat. Bahkan lo nggak selebay itu ke gue," ledek Naya.
Walaupun dirinya dengan Naya tak sedekat dengan Aludra, tapi Naya juga merupakan sosok sahabat terbaik baginya. Contohnya seperti saat ini, tanpa menjelaskan apapun Naya mampu mengerti. Tanpa berkata banyak, Naya mampu memahami.
"Seseorang itu Kakaknya Aludra kan? Apa berhasil gantiin Aludra? Atau senggaknya, berhasil bikin lo lupa sama sedihnya kehilangan Aludra?" tanya perempuan itu.
"Gue nggak tahu, Nay, gimana perasaan gue ke dia. Gue cuma ngerasa, gue sama dia itu karena permintaan Aludra ke gue buat jagain dia. Tapi ketika dia nggak ada, jujur, gue juga ngerasa kehilangan."
"Lo nggak berusaha yakinin hati lo sendiri maunya gimana?" Fikri menggeleng. Dia sangat berusaha. Namun, yang dia rasakan tetap sama. Sosok Aludra terlalu memberatkan hatinya. Namun baginya, Farza juga telah mengusir sedikit rasa sepinya.
"Fik, nggak baik gantungin perempuan kayak gini. Kalau lo nggak suka, ya lepasin. Siapa tahu, nggak sama lo justru bikin dia lebih bahagia. Dan kalaupun lo berdua memang di takdirin buat sama-sama, pasti suatu saat ada jalan, walaupun bukan sekarang," ujar Naya menasihati.
Bukan tanpa alasan, Naya juga seorang perempuan. Menurutnya, perempuan manapun tidak akan bersedia hidup dalam ketidak jelasan. Apalagi, mereka bukan hanya berpacaran, melainkan sebuah jalinan rumah tangga yang diikrarkan atas nama Tuhan.
"Kalau hati lo masih berat sama Aludra, lepasin seseorang itu, Fik. Jangan menyakiti hati orang lain, dengan dalih amanah dan kebaikan. Justru, hal itu nggak akan jadi kebaikan. Karena lo nyakitin orang di dalamnya."
Selepas berkata demikian, Naya beranjak pergi. Acara seratus hari Aludra akan segera dimulai. Dia harus kembali melihat persiapan, apakah sudah benar semua atau belum. Meninggalkan Fikri yang duduk termenung sendirian.
Namun tiba-tiba saja, bahu pria itu ditepuk oleh seseorang. Tatapan mata keduanya beradu. Meski sorot matanya berubah sendu, Farza memaksakan senyumnya.
"Lo ngapain di sini, Za?" tanya Fikri terkejut.
"Kenapa? Nggak boleh? Gue nggak akan rusakin acaranya kok," jawab perempuan itu.
"Nggak. Bukan gitu maksud gue. Kemarin Agral bilang lo mau pergi sama dia ke Amerika, terus kenapa sekarang lo di sini?" tanyanya.
"Masih ada yang belum selesai. Lo dan gue."
**
Selepas acara pengajian seratus hari meninggalnya Aludra, Fikri dan Farza memutuskan untuk berbincang berdua. Sedikit menjauh dari tempat acara, mereka berbicara empat mata.
"Gue cuma mau kasih ini," ujar Farza sembari menyertakan sebuah amplop persegi panjang berwarna coklat pada Fikri.
"Itu gugatan cerai dari gue, Fik."
Fikri termenung sejenak. Antara percaya dan tidak, di tangannya saat ini tergenggam sebuah surat permintaan cerai yang dilayangkan oleh Farza padanya.
"Lo datang ke sini, cuma kasih gue ini, Za? Lo benaran mau ikut Agral ke Amrik?" tanya Fikri. Farza menggeleng cepat.
"Nggak. Gue nggak ada niatan buat ikut dia. Gue juga nggak ada niatan buat hidup sama dia," jawabnya.
"Terus? Kenapa lo mau cerai dari gue?"
Farza menarik napas pelan. Beberapa hari ini, dia sudah memikirkan semuanya matang-matang. Baginya, tak ada yang perlu dilanjutkan dan dipertahankan. Tidak ada lagi yang harus berkorban.
"Lo berhak bahagia, Fik. Dan tentu saja, gue juga berhak banget buat bahagia. Sama anak gue. Lo nggak perlu lagi berkorban apapun buat hidup sama gue. Toh, dari awal pernikahan ini juga bukan kemauan kita."
Fikri menunduk dalam diam. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Jujur saja, perasaan sedih itu ada. Sekaligus lega diwaktu yang sama.
"Gue nggak tahu harus gimana, Za," ujarnya.
"Lo nggak perlu gimana-gimana, Fik. Justru gue harusnya berterimakasih sama lo. Karena dengan lo nikahin gue, senggaknya gue nggak lahirin Farras sendirian. Tapi, mungkin memang jalan kita sudah cukup sampai di sini. Sekarang waktunya lo dan gue kejar kebahagiaan kita sendiri-sendiri."
Sejujurnya Fikri pun mengerti, apapun yang dipaksakan tidak akan berjalan lancar. Dan mungkin saja Farza benar, sekarang saatnya mereka kembali menjadi asing, dan mencari bahagia masing-masing.
"Kalau itu keputusan lo, gue terima, Za. Sebelumnya, gue minta maaf. Kalau selama ini, selama lo hidup sama gue, lo justru banyak sakit hati karena ulah gue," ucap Fikri tulus. Farza mengangguk pelan.
"Gitu juga gue, Fik. Banyak banget tingkah gue yang mungkin mengganggu lo. Yang jelas, gue berterimakasih buat semua yang lo lakuin ke gue. Terutama, terimakasih karena lo, gue bisa jadi pribadi yang lebih baik dari gue yang sebelumnya."
Fikri mengangguk sembari tersenyum hangat. Perpisahan di antara mereka, tak berakhir menjadi sebuah permusuhan. Justru, perpisahan inilah yang semoga saja akan membuka gerbang kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
"Setelah ini lo ke mana?" tanya Fikri pada perempuan di depannya itu.
"Gue balik ke Jakarta. Kumpul lagi sama orang tua gue. Lanjutin bisnis keluarga, dan jadi Ayah sekaligus Ibu buat Farras."
"Semoga lo bahagia, Za."
"Gitu juga lo, Fik. Lo sudah nggak harus berkorban buat siapapun lagi."
Sedetik kemudian, Farza bangkit dari duduknya. Dia menarik diri dan pergi dari hadapan Fikri. Tak ada yang perlu disesali, toh, perjalanan ini menghadirkan banyak hal baik untuknya.
_____
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.
Kalau satu part lagi tamat gimana? hihi. Rencananya setelah ini selesai, saya akan ada cerita baru. Masih ada yang bersedia baca tulisan-tulisan saya? Hehe.
Atau, kalaupun masih dilanjutin kayanya bakal lama bgt ada part barunya, hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]
RomanceAku terjebak dalam satu kondisi, di mana raga ku bersama mu, namun hatiku menjadi miliknya. Haruskah ku terima kamu dengan lapang? Sedang hatimu pun menjadi milik orang lain. Kita berdua terikat dalam sebuah pernikahan, yang hanya ada keterpaksaan...