BAB XIII (Usai?)

2K 149 3
                                    

Tuhan telah mengatur semua yang terjadi di muka bumi, tanpa pernah bertanya kamu menerima atau tidak. Tahu kenapa? Sebab itulah cara Tuhan menunjukkan kasih sayang-Nya.

_____

Fikri menatap datar pada perempuan yang baru saja datang. Sudah lewat dari tengah malam, dan Farza baru saja sampai di apartemen yang dia dan Fikri huni. Tanpa menjelaskan darimana dia pergi pada Fikri, Farza berlalu begitu saja memasuki kamar tidurnya.

Fikri yang sebenarnya penasaran, namun enggan bertanya hanya bisa menerka-nerka dalam hati. Dilihat dari raut wajah perempuan itu, sepertinya dia tidak dalam kondisi hati yang bagus.

Fikri bangkit dari tempat duduknya, membuka pintu kamar Farza pelan. Dan yang dia lihat, Farza tengah berbaring menghadap tembok.

"Sudah makan belum?" tanya Fikri. Perlahan Farza bangun dari tidurnya, perempuan itu menatap Fikri kosong. Tidak ada emosi apapun yang ditemukan oleh Fikri di mata perempuan itu.

"Fik, ayo cerai."

"Lo sakit, Za?" Spontan Fikri bertanya demikian. Pasalnya, tiba-tiba saja Farza meminta bercerai. Selama berbulan-bulan ini, banyak pertengkaran yang terjadi, tidak pernah sekalipun Farza meminta cerai darinya.

"Gue serius, Fik. Setelah anak gue lahir, ayo kita cerai. Gue nggak mau nyusahin lo sebab anak yang akan gue lahirin ini. Mau bagaimanapun, lo tetap bukan Bapak kandung anak gue, Fik. Gue tahu lo capek sama gue, sama semua tingkah buruk gue. Gue juga capek harus menjalani hubungan kaya gini, Fik. Jadi, ayo cerai."

Fikri terpaku sejenak. Namun pria itu tak memberikan tanggapan sama sekali atas permintaan Farza. Pria itu kembali menutup pintu kamar Farza, dan berlalu menuju kamar tidurnya. Entah apa yang membuat Farza sampai meminta hal demikian, yang jelas Fikri berpura-pura tidak mendengar apa yang baru saja Farza katakan.

Fikri berbaring di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya. Sesekali matanya menatap sebuah bingkai foto yang dia pajang di dinding kamarnya. Sebuah foto di hari wisudanya bersama Aludra.

"Apa gue terlalu memaksakan kehendak, Al? Sampai-sampai semuanya nggak ada yang berjalan sesuai keinginan dan rencana gue. Gue merasa tujuan dari apa yang gue lakuin itu benar, Al. Tapi kenapa rasanya sakit, Al? Gue sadar kalau gue nggak akan bahagia ketika gue ambil keputusan buat nikah sama Farza, tapi gue nggak tahu akan secapek ini jalaninnya, Al," gumamnya sendiri, sembari masih menatap foto dirinya dengan Aludra.

"Apa gue harus pura-pura nggak dengar sama permintaan Farza tadi, Al? Sedangkan jelas-jelas dia bilang itu ke gue dengan serius, gue tahu itu, Al."

Yang Farza katakan pada Fikri benar. Mereka berdua sama-sama lelah. Kehidupan berumah tangga yang tidak juga menunjukan tanda-tanda baik, pertengkaran yang terus saja terjadi, dan masa lalu yang masih saja menghantui, semuanya terlalu melelahkan.

**

Keesokan paginya, Fikri yang baru saja membuka pintu kamarnya terkaget mendapati Farza yang bangun lebih awal darinya. Perempuan itu tidak melakukan apapun, hanya menunggu Fikri bangun dan keluar dari kamarnya.

"Gue kemarin pulang ke rumah, Fik. Dan kata-kata semalam, gue serius. Gue mau kita cerai setelah anak gue lahir." Fikri memijit pelipisnya pelan, dia benar-benar pusing dibuatnya.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Fikri pada akhirnya. Sebab pria itu tahu, tidak mungkin Farza meminta cerai hanya karena alasan yang semalam perempuan itu ucapkan.

"Gue baru sadar kemarin, kalau yang Aludra lakuin ke gue sama seperti yang Ibu kandung Aludra lakuin ke Bunda gue. Baik Ibunya atau putrinya, hebat dalam merebut pria milik orang lain," ucap Farza. Fikri mengerti dengan jelas apa yang Farza maksud, dan pria itu mulai menduga hal apa saja yang Bunda dari istrinya itu katakan kemarin pada Farza.

"Lo tahu kan, Aludra itu putri dari istri kedua Ayah gue. Ibu kandung Aludra itu perebut suami orang, dia hampir saja menghancurkan keluarga gue, nyakitin Bunda gue. Dan lo tahu? Yang Aludra lakuin ke gue juga sama seperti yang Ibunya lakuin ke Bunda gue dulu."

Fikri masih mendengarkan tanpa ekspresi. Dia ingin mengetahui, sejauh mana Bunda mertuanya memprovokasi Farza. Dia ingin tahu, kesimpulan apa yang Farza ambil dari cerita yang dia dapat dari Bundanya.

"Aludra merebut Dilfa dari gue, dan bahkan sekarang dia hidup bahagia sama Dilfa. Aludra juga sama seperti Ibunya, dia merebut pria milik orang lain. Dan orang lain itu saudara tirinya. Jadi, gue sampai pada keputusan, gue akan berusaha buat dapatin Dilfa lagi."

Fikri tersenyum miring. Kesimpulan yang cukup tidak waras yang Farza ambil, pasti berasal dari provokasi Bundanya.

"Seperti dulu Bunda gue berhasil mendapatkan Ayah kembali, gue pasti bisa mendapatkan Dilfa kembali," pungkas perempuan itu. Farza mendongak menatap Fikri, tatapan mata yang semalam kosong kini berubah menjadi berapi-api.

"Kenapa lo menganggap apa yang Bunda lo alami dulu dengan yang lo alami sekarang itu sama, Za? Dulu, Ayah lo yang dengan sengaja mencintai perempuan lain selain Bunda lo. Tapi sekarang, apakah Aludra atau Dilfa berencana untuk saling mencintai dan hidup bersama?"

Fikri berusaha keras menurunkan emosinya. Dia tidak boleh mengeluarkan amarahnya. Sebab dia mulai mengerti, perempuan sekeras Farza hanya akan semakin menjadi batu jika yang menanganinya juga sama kerasnya.

"Gue berkali-kali bilang ini sama lo, Za. Lo yang pergi ke luar negeri ketika hari pernikahan lo sama Dilfa kurang dari seminggu lagi. Dan keluarga lo juga keluarga Dilfa, memutuskan untuk menikahkan Dilfa dengan Aludra. Supaya apa? Supaya mereka nggak malu, Za. Dari sini, apa lo menangkap sebuah rencana busuk di belakang lo dari Dilfa atau Aludra? Nggak ada, Za. Mereka berdua menikah, murni karena permintaan keluarga dan karena perginya lo, Za."

Fakta itu sudah berulang kali Fikri jelaskan pada Farza. Dan Fikri tahu, Farza pun menyadari kalau akar dari semua ini adalah kesalahannya. Namun lagi dan lagi, Farza enggan menjadi pihak yang disalahkan. Perempuan itu enggan merasa bersalah. Itulah sebabnya, Farza selalu mencari cara supaya Aludra yang bersalah.

"Gue tahu lo cinta banget sama Dilfa. Gue pun sama secinta itu ke Aludra. Tapi, Za, untuk lo hidup lagi bareng Dilfa nggak akan mungkin. Gue nggak akan minta lo lagi buat lupain Dilfa, gue cuma mau lo berusaha buat nerima. Nerima kalau cinta Dilfa ke lo, itu sudah selesai. Menerima kalau Dilfa sekarang bahagia bersama Aludra."

Semoga kali ini Fikri berhasil sedikit demi sedikit membuat Farza menerima kenyataannya. Pria itu sudah berjanji pada dirinya sendiri, dia hanya akan membimbing Farza untuk mengikhlaskan semuanya, menerima takdirnya yang baru, dan melupakan kisah lalu.

"Kenapa lo cuma mau gue menerima kalau Dilfa sudah bahagia bersama Aludra?" tanya Farza.

"Tahu kenapa? Karena akar dari semua permasalahan panjang ini adalah lo, Za. Lo nggak merasa bersalah pun nggak apa, tapi setidaknya biarkan Dilfa bahagia dengan hidupnya yang sekarang. Karena apa? Dulu dia pernah hancur karena kepergian lo."

Fikri benar. Pria yang Farza cinta, dulu pernah begitu menderita. Dan perempuan yang Fikri cinta, dia juga menderita. Karena orang yang sama, yaitu seorang Farza.

"Sama seperti gue yang belum bisa lupain Aludra, gue nggak akan maksa buat lo lupain Dilfa. Tapi gue berharap, lo mau belajar menerima semuanya. Dan menjalani kehidupan lo yang sekarang tanpa bayang-bayang masa lalu, Za."

"Apa lo sudah bisa menerima semua, Fik? Menerima kenyataan kalau Aludra bahagia bersama Dilfa?" tanya Farza lagi.

"Gue masih berusaha untuk itu, Za. Yang jelas, bagi gue bahagia Aludra itu yang terpenting. Mau itu bukan bersama gue, selagi dia bahagia gue juga ikut bahagia."

Seperti kata Aludra dulu, ikhlas adalah perkara yang sulit. Dan melupakan rasa sakit adalah perkara yang tidak mungkin. Tapi sebagai manusia, kita bisa belajar menerima. Menerima semua hal baik atau buruk yang hadir dalam hidup kita.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang