BAB XIX (Pelindung)

1.6K 153 5
                                    

Ketika kau yakin akan takdir, ketika kau berserah pada Sang Kuasa, maka saat itulah duniamu akan kembali baik-baik saja. Di penggalan kisah ini kamu akan mengerti, bahwa skenario Tuhan memang menakjubkan.

_____

Akhir pekan kali ini terasa berbeda untuk Fikri maupun Farza. Biasanya, setiap kali Fikri libur bekerja kegiatan mereka berdua adalah adu mulut yang berakhir pertengkaran besar. Tapi akhir pekan kali ini dan seterusnya, akan diisi oleh kegiatan mereka merawat dan menjaga Farras.

Seperti yang tengah Fikri lakukan saat ini, dia tengah membacakan sebuah dongeng untuk Farras. Sedangkan Farza memulai kesibukannya mencuci baju sembari menonton sebuah tayangan tutorial memasak.

"Lalu si Kancil berlari secepat yang dia bisa, sebab sang Singa mengejarnya. Kancil tidak ingin menjadi santapan siang sang raja hutan tersebut, maka Kancil berusaha sebisa mungkin menghindar dari si Singa."

Fikri menjeda dongeng yang ia baca. Pria itu menatap bayi mungil yang terbaring di depannya. Bayi lucu itu mengedipkan kedua matanya, menggemaskan. Sesekali Fikri menoel pipi gembul bayi mungil itu, kemudian pria itu tertawa sendirian.

"Habis nanti pipi anak gue jadi tirus, kalau lo pencet-pencet mulu kaya gitu," omel Farza. Sedangkan Fikri hanya membalasnya dengan cengiran lebar, memamerkan barisan giginya yang rapi itu.

"Ya elah, Za, megang dikit doang," jawab Fikri.

"Dikit darimana? Gue tinggal satu jam, pasti sudah satu jam juga kan pipi anak gue lo pencetin?" tuding Farza.

"Kenapa lo yang sewot? Farras aja diam, nggak sewot kaya lo!"

Farza menarik napasnya panjang, lalu mengembuskan perlahan. Berdebat dengan Fikri tidak akan pernah ada ujungnya. Justru dia yang akan naik darah nantinya. Jadi sudah, lebih baik mengalah saja.

"Za, mau keluar nggak?" tanya Fikri. Farza membalasnya dengan menaikkan sebelah alisnya, seolah berkata 'kenapa?'.

"Ke toko mainan yuk? Beli mainan buat bayi-bayi gitu. Kemarin pas gue pulang kerja nggak sengaja lewat di depan toko mainan anak, lucu-lucu. Mau nggak?" ajaknya.

Farza mendekat pada Fikri, tatapannya penuh kecurigaan pada pria itu. Kemudian tangannya terulur menyentuh dahi milik Fikri. Beberapa saat, Farza mengernyitkan dahinya. Kali ini, Fikri yang aneh.

"Kayaknya hari ini lo yang kena sawan deh, Fik. Tumben banget ngajakin keluar, beli mainan lagi buat Farras. Curiga gue," tuduh perempuan itu.

"Gue mah baik dari lahir, Za. Cuma lo terlalu nyebelin buat dibaikin," jawab Fikri sembari menyingkirkan telapak tangan Farza yang masih bertengger di dahinya.

"Jangan kelamaan sentuh-sentuh gue, suka lo?"

"Gue baru pertama kali lihat orang dengan tingkat narsistik yang tinggi banget, lo doang, Fik," ucap Farza sinis.

"Ayo, buruan siap-siap," perintah Fikri yang dibalas anggukan oleh Farza.

Untuk hari ini dan seterusnya, seperti yang pernah pria itu katakan kalau dia ingin menciptakan kehangatan di dalam keluarga kecilnya itu. Terlepas dari perasaan cinta yang mereka miliki atau tidak, yang terpenting adalah bagaimana kebahagiaan dan tawa itu tercipta.

Sebab Fikri percaya, kalau takdir yang menghendaki mereka berjalan seperti ini, maka mereka akan menemukan jalan untuk saling bertautan. Pada akhirnya, semua kembali pada bagaimana kuasa Tuhan.

**

Beberapa jam berlalu. Fikri dan Farza telah kembali setelah membeli beberapa mainan anak, dan kebutuhan Farras yang lainnya. Beberapa tas belanja ada dalam genggaman tangan Fikri, sedangkan Farras dengan nyaman berada dalam gendongan Farza. Sekilas, mereka terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia.

"Akhirnya sampai di rumah, sayang," ujar Farza sembari menatap putra kecilnya yang tengah terlelap, masih dalam dekapannya.

"Mau lo yang beresin atau gue?" tanya pria itu.

"Gue saja, sekalian mau masak. Sebentar gue pindahin Farras ke kasur dulu." Baru Farza hendak melangkah menuju kamar tidurnya dan Farras, Fikri menghentikannya.

"Farras sama gue saja sini. Biasanya kalau anak bayi tidur nyenyak pas di gendong, pindahin ke kasur pasti nangis dan bangun. Jadi sini sama gue saja," pinta Fikri.

"Nggak apa-apa memang?" tanya Farza memastikan.

"Heem, tunggu sebentar," jawab Fikri.

Fikri menaruh seluruh barang belanjaan di lantai, kemudian pria itu berlari secepat kilat menuju kamar tidurnya. Membuat Farza bertanya-tanya, ada apa dengan pria itu? Apa yang akan pria itu lakukan?

Saat kembali, Fikri sudah berganti pakaian. Dia mengenakan celana pendek dan atasan berupa kaos polos. Farza kembali bertanya-tanya dalam hati.

"Sini Farrasnya," pinta Fikri pada Farza, untuk memindahkan Farras padanya.

"Lo ngapain ganti baju segala, Fik?" tanya Farza sembari memindahkan Farras ke dalam gendongan Fikri.

"Bau keringat."

Fikri mengayunkan kakinya menuju sofa ruang tamu bersama Farras yang telah berada dalam dekapannya, meninggalkan Farza yang telah memulai pekerjaannya.

Fikri sadar betul, meski Farza seorang istri dan seorang Ibu, dia tidak bisa membebankan semua pekerjaan pada perempuan itu. Jika Farza memilih untuk mengerjakan kegiatan rumah, maka Fikri harus membantu perempuan itu untuk menjaga Farras. Sebaliknya, jika perempuan itu tengah sibuk mengurus Farras, maka gilirannya melakukan pekerjaan rumah.

Bagi Fikri, rumah tangga adalah di mana suami dan istri bahu-membahu bersama. Bukan hanya salah seorang yang lelah saja. Fikri meniru itu semua dari mendiang Ayahnya. Dulu ketika Ayahnya masih hidup, jika bangun di pagi hari dan Ibu sudah sibuk mencuci baju, maka Ayah akan bertugas mengurus Fikri.

Fikri bersyukur, dia terlahir dari kedua orang tua yang saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Menjadi kepala keluarga dan pemimpin, tidak menjadikan Ayahnya berpangku tangan dan menerima semua pelayanan dari Ibunya.

Dulu, Ayahnya pernah berkata, "Ayah meminta Ibumu dari kedua orang tuanya. Sedangkan saat sebelum menikah dengan Ayah, Ibumu diperlakukan baik oleh kedua orang tuanya. Maka tugas Ayah saat menikahinya, adalah meneruskan apa yang orang tuanya berikan pada Ibumu."

Memikirkan tentang Ayah, Fikri jadi merindukan sosok hebat yang telah tenang di surga itu. Fikri berharap, Ayahnya tersenyum di atas sana melihat dirinya yang sekarang.

Sekian lama melamun dan berpikir, hingga Fikri tidak sadar dia tertidur dengan Farras yang masih berada dalam pelukannya. Farza yang menyadari itupun, segera mengambil Farras dengan pelan, berusaha supaya Fikri sekaligus Farras tidak terbangun.

Farza membawa Farras ke kamarnya, dan kembali ke tempat Fikri berada dengan sebuah bantal. Perempuan itu meletakkan bantal yang ia bawa di sudut sofa, kemudian membaringkan Fikri dengan perlahan.

"Ada ya orang tidur sampai nyenyak sambil duduk?" lirih Farza.

Setelah memastikan Fikri tidur dengan nyaman, perempuan itu terduduk di hadapan Fikri. Dia menatap lekat pria yang tengah tertidur itu. Terkadang, Farza kembali merasa bersalah pada Fikri. Namun di satu sisi, dia bersyukur.

"Gue bukan orang baik, Fik. Gue juga sadar gue nggak layak buat lo jadiin istri. Bahkan kalaupun gue balik sama Dilfa, gue juga merasa diri gue nggak layak. Dan gue berterimakasih sama lo, yang mau menerima gue dengan semua ketidaklayakan gue," lirih perempuan itu.

"Tapi kadang gue mikir, apa lo pertahanin pernikahan ini masih dengan alasan yang seperti dulu? Yaitu Aludra?" Pertanyaan besar itulah yang menghantui Farza beberapa hari ke belakang.

Sebab dia memahami dengan sangat, bahwa Fikri adalah pria yang bersedia melakukan segala hal demi cintanya, dan dia tidak akan mundur jika tentang itu.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang