Kini, aku akan mulai melangkah kembali tanpamu. Aku akan memulai segala hal baru tanpa kamu. Aku akan mulai belajar mengikhlaskan kamu. Terimakasih, sebab sudah menjadi bagian dari hidupku.
_____
"Hay, Al."
Fikri terduduk tepat di samping pusara terakhir dari sahabatnya, Aludra. Pria itu menatap lekat batu nisan yang bertuliskan nama dari perempuan yang ada dalam hatinya itu.
"Nggak kerasa ya, Al, sudah seminggu saja sejak lo nggak ada. Lo bahagia di sana, Al?"
Pria itu tersenyum sembari mengucapkan kalimat demi kalimat, yang tak akan mungkin mendapat jawaban dari perempuan yang telah tenang di alam yang berbeda. Rasa kehilangan itu masih ada, tapi perasaan menerima pun perlahan mulai tumbuh.
"Kalau lo lihat gue dari atas sana, maaf, Al, satu minggu ini gue terus berduka karena perginya lo. Maaf, kalau itu justru bikin lo nggak tenang di sana. Sekarang, gue belajar nerima kenyataan, Al. Gue belajar nerima, kalau lo memang sudah nggak ada di dunia ini."
Tapi Aludra, akan selalu ada di hati Fikri. Di tempat terdalam di ruang hatinya. Menjadi hal teristimewa di hidup pria itu. Menjadi kenang yang tak akan mungkin pernah terlupa. Dan menjadi kisah yang menghadirkan tawa sekaligus duka.
"Gue datang ke sini, karena gue mau pamit sama lo, Al. Gue akan mulai jalanin hidup gue seperti biasanya tanpa lo. Gue akan belajar berdiri di dunia ini, tanpa nasihat baik dari lo. Gue akan hidup tanpa lo, Al. Lo doain gue dari atas sana ya, Al? Suatu hari, kita pasti bertemu lagi."
Fikri menatap sejenak Farza yang berdiri tak jauh darinya. Fikri kembali menatap nisan milik Aludra. Pria itu teringat pesan terakhir yang Aludra tuliskan untuknya. Pesan terakhir dari seorang Aludra, perihal Farza.
"Oh iya, gue ke sini sama Farza, Al. Walaupun kadang kakak lo ngeselin, gue berusaha sebaik mungkin buat lakuin apa yang lo minta ke gue, Al. Terimakasih, Al, sudah mau jadi sahabat gue beberapa tahun ini."
Farza memandang bergantian pada gundukan tanah di depannya, dan pada pria yang tengah terduduk di samping gundukan tanah tersebut. Kali ini, dia yakin kalau Fikri benar-benar tengah belajar menerima hal yang beberapa hari ini menyakitinya.
"Soal anak lo, gue belum sempat jenguk, Al. Kayak yang lo tahu, gue sedih banget lo tinggalin kayak gini, Al. Tapi gue janji, setelah ini gue bakal sering temuin anak lo, dan jadi paman yang baik buat keponakan gue. Terimakasih, Al. Besok-besok gue ke sini lagi ya, Al. Gue pamit."
Fikri bangkit dan menghampiri Farza, setelah selesai dengan semua kalimat yang dia lontarkan pada Aludra. Pria itu percaya, meski Aludra sudah tidak ada, tapi perempuan itu pasti mendengar apa yang dia ucapkan.
"Yuk, pulang, Za," ajak Fikri pada Farza.
"Gue, boleh tinggalin gue sendiri di sini, sebentar, Fik?" tanya Farza yang membuat langkah kaki Fikri terhenti. Ada apakah gerangan? Namun alih-alih bertanya, Fikri justru mengiyakan permintaan Farza. Mungkin, perempuan itu ingin menyampaikan sesuatu atau hanya sekadar ingin mengirim doa pada Aludra.
Sepeninggal Fikri, Farza mendekati tempat peristirahatan terakhir adiknya itu. Adik yang tak pernah dia akui, adik yang selalu dia sakiti, bahkan hingga hari terakhirnya, Farza tak sempat meminta maaf pada adiknya.
"Al," panggil perempuan itu. Dia sadar, Aludra tidak akan mungkin menjawab panggilannya. Perempuan itu, sudah tenang di atas sana. Pergi, meninggalkan sebuah rasa sesak di hati Farza.
"Gue telat banget ya, Al? Lo, gue nggak tahu harus ngomong apa, Al." Seketika Farza membisu. Mulutnya tak mampu mengucap kata, hanya ada sesal yang tersisa.
"Al, gue mau minta maaf sama lo. Gue tahu telat banget buat gue, Al. Gue sadar sama semua salah gue setelah lo nggak ada. Gue minta maaf sama lo, setelah lo banyak menderita karena gue. Al, lo masih bisa maafin gue nggak?"
Tak terasa, air mata membasahi pipi Farza. Perempuan itu tak lagi kuasa membendung rasa penyesalan di hatinya yang begitu besar. Dia tak bisa menyangkal, kalau dia benar-benar merasa berdosa pada perempuan yang tak lagi ada di dunia.
"Gue jahat banget sama lo kan, Al? Tapi lo, bahkan sampai lo meninggal pun lo tetap ingat gue, Al. Bahkan sampai napas terakhir lo, lo tetap minta Fikri buat jagain gue dengan baik. Gue manusia macam apa yang jahat banget sama orang sebaik lo, Al?"
Sejujurnya, Farza paham, menyesal pun tiada berguna. Apa yang telah dia lakukan, semua keburukan yang dia beri pada Aludra, entah termaafkan atau tidak. Farza teramat menyesal.
"Al, maafin gue. Dari kita kecil, gue selalu gunain lo buat nutupin semua kesalahan yang gue buat. Gue minta maaf soal Dilfa. Gue minta maaf pernah nyuruh lo cerai dari dia, di saat lo korbanin diri lo buat nikah sama dia karena ulah gue yang pergi di hari pernikahan gue dan Dilfa. Gue sadar gue salah, Al."
Beribu kali meminta maaf pun, Aludra tak akan menjawabnya. Hal kedua yang Farza sesali adalah, dia menyadari semua kesalahan dan dosanya pada Aludra ketika perempuan itu telah tiada.
"Maaf, gue cuma kasih sakit hati ke lo selama lo hidup, Al. Maaf, gue nggak pernah bertindak selayaknya manusia ke lo, Al. Maaf, kalau lo selalu tertekan karena ulah gue, Al. Maaf, gue hancurin hidup lo."
Farza menangis tersedu. Sesal yang mendera begitu dalam terasa. Namun ketika penyesalan itu hadir, dia yang terluka sudah tiada. Ketika penyesalan itu memenuhi hati Farza, Aludra sudah tak mampu mengucap kata. Ketika penyesalan itu menyesakkan dada, dia hanya mampu berharap Aludra memaafkannya.
"Setelah ini, gue akan berusaha jadi orang baik, Al. Gue nggak mau lagi nyakitin orang lain, gue nggak mau nyesal lagi kaya sekarang, Al. Dan terakhir, gue minta maaf atas nama Ayah dan Bunda, Al."
Perempuan itu juga sadar, Ayah dan Bundanya juga turut serta memperlakukan Aludra dengan buruk. Bahkan hingga napas terakhir perempuan itu, Ayah dan Bundanya tak ada satupun yang berkunjung. Bahkan hingga dia kembali pada Sang Pencipta, Ayah dan Bundanya enggan ada untuknya.
"Maafin mereka ya, Al, semasa lo hidup mereka juga banyak nyakitin lo. Mereka nggak berbagi kasih sayang secara adil antara gue dan lo. Bahkan sampai lo nggak ada, mereka nggak datang ke pemakaman lo. Lo pasti sedih kan, Al? Gue cuma bisa minta maaf sama lo, Al. Semoga lo maafin kita ya, Al."
Farza tertunduk dalam. Perempuan itu memikul beban penyesalan yang begitu berat. Mungkin dia terlihat seolah biasa-biasa saja ketika mengetahui Aludra meninggal dunia, tapi nyatanya dia juga terpukul, walaupun tidak seperti yang Fikri rasakan.
Dosa yang dia lakukan pada Aludra belum tertebus. Maafnya terucap ketika Aludra telah tiada. Penyesalannya hinggap ketika semuanya telah lenyap. Di titik ini, Farza benar-benar merasa dirinya dipenuhi dosa. Dosa pada perempuan berhati putih, yang telah terkubur tanah selamanya.
Dari kejauhan, Fikri memandang Farza. Pria itu melihat istrinya yang menunduk begitu dalam di samping pusara Aludra. Rasa penyesalan perempuan itu, turut terasa oleh Fikri.
"Semoga ini awal buat lo dan buat gue, Za. Segala penyesalan yang lo rasa hari ini, semoga jadi pelajaran berharga buat ke depannya," lirih Fikri.
_____
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]
RomanceAku terjebak dalam satu kondisi, di mana raga ku bersama mu, namun hatiku menjadi miliknya. Haruskah ku terima kamu dengan lapang? Sedang hatimu pun menjadi milik orang lain. Kita berdua terikat dalam sebuah pernikahan, yang hanya ada keterpaksaan...