Manusia yang memiliki rasa iri, biasanya diliputi kesedihan, dan kurang mampu menerima apa adanya diri sendiri. Jangan hanya meminta, tapi belajarlah untuk menerima.
_____
Fikri sesekali melirik ke arah Farza yang tengah terduduk di ruang tamu apartemen mereka. Sedari pulang dari kediaman sang Ibu mertua, Farza hanya terdiam dengan pandangan mata yang kosong, entah apa yang perempuan itu pikirkan.
"Banyak hal yang perlu lo pikirin, bukan cuma kehidupan Dilfa yang sudah bahagia sama Aludra. Sadar, Za, bagi Dilfa lo cuma kakak tiri dari istrinya," ujar Fikri yang mulai jengah melihat Farza diam tak berkutik sedikitpun.
"Lo nggak tahu apa-apa, Fik!" jawab Farza dengan nada yang ketus.
"Gue mungkin nggak tahu apa-apa tentang hidup lo, Za. Tapi, bisa nggak lo mulai menata kehidupan lo lagi, hilangin semua pikiran lo tentang masa lalu, tentang orang di masa lalu lo? Kalau lo kaya gini terus, lo akan semakin nyakitin diri lo sendiri, dan nyakitin orang-orang di sekeliling lo, Za!"
Farza menatap Fikri kosong. Segalanya terasa begitu menyedihkan bagi Farza. Hidupnya terasa seperti bualan, kosong, dan tidak ada apa-apa di dalamnya. Namun ketika dia menatap orang-orang di sekelilingnya, semuanya bahagia. Semua orang tersenyum tanpa ragu. Seolah hanya dirinya yang berada di dalam lautan kesedihan.
"Jangan pernah merasa lo yang paling sakit di sini, Za. Jangan merasa kalau lo korban di sini, Za. Jauh sebelum lo ngerasain sakit kaya sekarang, ada dua orang yang lo sakitin hatinya, Za."
Perkataan Fikri tidak mampu Farza tepis, tapi untuk menerima kenyataan kalau dirinya yang ternyata paling jahat di sini, dia enggan. Untuk mengakui kalau dia telah menyakiti banyak orang, dia tidak bersedia. Karena baginya, yang ia lakukan adalah sebuah pilihan. Pilihan yang pastinya memiliki resiko.
"Gue nggak pernah nyakitin mereka, gue hanya memilih untuk melakukan hal yang baik buat diri gue. Dan menurut gue, mereka terluka bukan salah gue," jawab Farza yang membuat Fikri geram.
"Lo mau sampai kapan sih, Za, mendewakan diri lo sendiri? Mau sampai kapan menganggap diri lo itu seperti malaikat? Mau sampai kapan beranggapan kalau lo itu benar dan orang lain salah? Mau sampai kapan, Za?"
Farza bangkit dari duduknya, masih menatap Fikri dengan pandangan yang kosong. Tidak seperti biasanya, kilatan amarah di matanya sirna. Dia tidak seemosional hari-hari sebelumnya ketika berdebat dengan laki-laki yang kini menjadi suaminya itu.
"Satu-satunya kesalahan yang gue lakuin adalah, melakukan hubungan dengan pria lain sehingga menghasilkan anak dalam kandungan gue sekarang. Seandainya gue nggak ngelakuin itu, pasti Dilfa mau balik lagi sama gue. Cuma itu kesalahan gue."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Farza melangkahkan kaki menuju kamar tidurnya. Meninggalkan Fikri yang menganga terkaget sebab apa yang Farza ucapkan.
"Wah, sakit jiwa lo, Za!"
**
Keesokan harinya, Fikri yang memang tengah libur bekerja, berkutat sedari pagi di dapur. Laki-laki itu memang pandai memasak, karena dulu ketika hidup berdua dengan sang Ibu, dia terbiasa membantu Ibunya menyiapkan makan bersama.
Sesekali laki-laki itu tersenyum di sela-sela aktifitasnya. Dia teringat masa-masa hidup berdua dengan sang Ibu, memasak bersama, membereskan rumah bersama, melakukan segala macam hal bersama. Bisa dibilang, Fikri sangat penyayang kepada Ibunya.
"Kenapa, Fik?" tanya Farza mengagetkan Fikri. Sebab perempuan itu tidak terdengar melangkahkan kaki keluar kamar, namun tiba-tiba sudah berada tepat di belakang Fikri yang tengah asyik memasak.
"Kenapa apaan?"
"Kenapa lo dan Dilfa, bisa cinta sama Aludra? Kurangnya gue apa? Apa yang Aludra punya dan gue nggak punya? Apa?" tanya Farza bertubi-tubi. Namun, nada suara perempuan itu bergetar.
"Lo tahu, Za? Lo terlalu banyak minta, tapi nggak pernah berusaha untuk menerima segala sesuatu yang nggak sesuai sama permintaan lo. Lo terlalu sering menyalahkan orang lain, untuk hal-hal yang sebenarnya pelaku kesalahan itu adalah lo sendiri," jawab Fikri.
Fikri menghentikan kegiatannya, kemudian berbalik menatap Farza. Pandangan mata perempuan itu masih seperti semalam, kosong, seolah dipenuhi kehampaan. Jujur saja, Fikri kasihan pada perempuan yang kini menjadi istrinya itu. Tapi marah di waktu yang sama.
"Za, kondisi hati gue lagi bagus pagi ini. Jadi gue mohon, kalau lo cuma mau ngocehin hal-hal yang sudah seribu kali gue bilang ke lo, jauh-jauh deh, gue lagi nggak mau marah-marah."
"Fik, apa yang akan lo lakuin kalau seandainya yang ada di posisi gue sekarang adalah Aludra?" tanya Farza, yang justru membuat Fikri tersenyum meremehkan.
"Sayangnya Aludra nggak sebodoh dan segila lo, Za. Jadi gue atau Dilfa nggak perlu mengkhawatirkan hal-hal bodoh kaya gini terjadi sama Aludra. Lo tahu kenapa? Karena Aludra jauh lebih dewasa daripada lo!" jawab Fikri tegas.
Farza terdiam, entah sedang mencerna perkataan Fikri atau hanya menganggap kalimat-kalimat itu seperti angin lalu. Fikri menatap Farza heran sekaligus bingung, entah harus dengan cara apa menyadarkan perempuan di depannya itu.
"Kenapa lo dan Dilfa sama, kalian selalu bilang Aludra lebih dewasa dan lebih baik dari gue. Kenapa?"
Fikri menarik napas pelan, kemudian mengembuskannya dengan tidak sabar. Segala hal telah laki-laki itu lakukan, menggunakan cara halus bahkan cara kasar yang sebenarnya tidak pernah Fikri lakukan pada perempuan. Dan, semuanya tidak menunjukkan kemajuan sama sekali.
"Lo masih tanya kenapa, Za? Apa ada manusia yang mau di nikahkan mendadak sama laki-laki yang dia kenal sebagai pacar Kakaknya? Aludra nerima itu tanpa protes, tanpa ngeluh, demi apa? Demi menyelamatkan keluarga lo dari rasa malu!"
Di akhir kalimatnya, Fikri merasakan hatinya berdenyut sakit. Laki-laki itu teringat hari di mana Aludra menangis ketakutan, untuk pertama kalinya. Sebab yang Fikri tahu, Aludra perempuan kuat dan pantang menyerah.
"Lo tahu apa yang paling sakit buat gue? Hari di mana setelah dia nikah sama Dilfa, dia datang ke gue dan nangis penuh ketakutan, sedangkan lo di negara orang dengan seenak jidatnya bahagia! Lo tahu apa yang paling nggak bisa gue terima? Ketika dia hamil anak dari Dilfa, sedangkan lo mohon-mohon sama dia buat nikah sama Dilfa, dan minta Aludra cerai dari Dilfa!"
Hancur sudah pertahanan Fikri. Dia tidak ingin meluapkan itu semua sebenarnya, tapi melihat tingkah Farza yang kian hari kian menjadi, membuat Fikri tidak mampu menahannya lagi.
"Sekarang lo tanya kenapa? Keluarga lo buang Aludra dari dia kecil! Dia kerja keras sendiri di kota orang, dia susah dan nangis sendirian! Sedangkan lo dan keluarga lo, apa pernah mikirin Aludra barang sekali saja? Lo dan keluarga lo, nyakitin Aludra dari dia kecil, tapi dengan nggak ada rasa benci sedikitpun, dia dengan sukarela bantuin keluarga lo! Jadi kambing hitam atas kesalahan dan tingkah bodoh lo!"
Fikri mendekati Farza, membuat perempuan itu mendongak. Manik mata laki-laki di depannya dipenuhi amarah dan kebencian, dipenuhi dendam sekaligus rasa sakit yang tidak lagi mampu dia sembunyikan.
"Gue sayang banget sama Aludra, Za. Sampai rasanya setiap lihat lo, gue pengen ngelakuin segala hal jahat ke lo buat balas semua rasa sakit yang Aludra rasain! Tapi lo tahu apa yang Aludra bilang ke gue? Dia minta gue jagain lo dengan baik! Dia minta gue buat nggak sakitin lo! Dia sebaik itu, Za! Tapi lo dan keluarga lo, sejahat itu sama dia!"
Fikri memejamkan matanya, berusaha mengatur amarah yang bergejolak dalam hatinya. Rasanya darah dalam tubuhnya seperti mendidih. Semua bayangan Aludra yang tengah menangis berputar di kepalanya. Dan dia membenci orang-orang yang membuat Aludra seperti itu.
"Lo harus ditampar oleh keadaan yang seperti apa lagi, Za, supaya sadar?"
_____
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]
RomanceAku terjebak dalam satu kondisi, di mana raga ku bersama mu, namun hatiku menjadi miliknya. Haruskah ku terima kamu dengan lapang? Sedang hatimu pun menjadi milik orang lain. Kita berdua terikat dalam sebuah pernikahan, yang hanya ada keterpaksaan...