BAB XVII (Farza, Fikri, Farras)

2K 138 6
                                    

Tangisnya menjadi pemecah hening di antara kita. Hadirnya menjadi penengah yang menyatukan kita. Dan tawanya menjadi penghibur duka.

_____

Satu minggu berlalu, setelah menjalani perawatan pasca bersalin di rumah sakit, akhirnya hari ini Farza sudah diperbolehkan pulang. Dengan senyum penuh kelegaan, perempuan itu memasuki apartemennya bersama Fikri dan juga Ibu mertuanya.

Ayah dan Bundanya terpaksa harus kembali ke Jakarta, sebab mereka telah meninggalkan pekerjaan satu minggu lamanya. Beberapa kali sang Bunda memaksa Farza untuk ikut bersamanya, namun Farza menolak. Bukan sebab enggan, hanya saja dia ingin memulai semuanya kembali, perlahan bersama Fikri.

"Yakin nggak mau tinggal di rumah Ibu saja? Kalau di rumah, Ibu bisa bantu jaga. Kalau di sini, nanti Fikri masuk kerja kamu sendiri, Nak," pinta Ibu mertuanya itu. Farza menggeleng pelan, dan tersenyum lebar.

"Nggak, Bu. Farza bisa kok jagain Farras sendiri. Lagipula Farza nggak mau repotin Ibu, takut Ibu nanti capek," jawabnya.

Farza dan Ibu mertuanya tengah duduk bersama di ranjang kamar Farza, sembari menatap bayi mungil yang tengah terbaring lelap. Sedangkan Fikri tengah menata barang-barang yang sempat dia bawa ke rumah sakit. Beberapa baju miliknya, milik Farza, dan juga milik bayi mungilnya itu ia letakan ke dalam lemari.

"Kenapa kamu bawa baju kamu ke kamar sebelah, Fik?" tanya sang Ibu. Ibunya tidak tahu kalau mereka tidak pernah tidur di dalam kamar yang sama, itulah mengapa kini Fikri menata barang-barang miliknya di ruangan yang berbeda dengan barang-barang milik Farza.

"Oh itu, Bu, lemari yang di sini penuh sama barang-barangnya Farza dan Farras, jadi Fikri mengalah dan menyimpan barang-barangnya di ruangan sebelah," jawab Farza terpaksa berbohong. Dia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada Ibu mertuanya itu. Dia tidak ingin ada kesalahpahaman.

"Oh, Ibu kira kalian pisah kamar." Tepat sasaran. Memang prasangka seorang Ibu tidak bisa dibohongi.

"Ibu mau nginap?" tanya Fikri pada Ibunya.

"Nggak deh, Nak. Ibu pulang saja, kalian kabari Ibu saja kalau butuh sesuatu ya, atau ada yang mau kalian tanyakan. Ibu kan sudah lumayan berpengalaman. Jangan diam saja kalau ada yang kurang kalian pahami, ya?" perintah wanita paruh baya itu.

"Iya, Bu, terimakasih," tutur Farza. Ibu mertuanya itu menjawab dengan lengkungan senyum yang begitu hangat.

"Fikri antar ke depan ya, Bu," ajak Fikri.

Fikri mengantar Ibunya sampai pintu apartemennya. Sebenarnya dia ingin mengantar Ibunya sampai rumah, hanya saja Ibunya menolak dengan alasan lebih baik Fikri menjaga Farza dan putranya saja.

"Ibu pulang ya, jaga anak istri kamu dengan baik. Setelah ini kamu bisa kabari Aludra kalau Farza sudah melahirkan. Seminggu kemarin Ibu melarang kamu memberitahu Aludra, karena mertua kamu masih di sini. Bertemu dengan mereka, sama saja membuka kembali luka yang tengah Aludra usaha obati. Kamu tahu itu kan, Nak?"

Fikri paham dengan sangat. Tidak akan mudah bagi Aludra bertemu dengan kedua mertuanya. Justru itu akan bisa membuat luka Aludra kembali menganga. Perempuan itu akan kembali terluka, ketika melihat bagaimana kedua orang tua itu memperlakukan Farza. Bahkan Fikri pun turut merasakan sesaknya.

"Iya, Bu. Terimakasih."

**

"Fik, bisa tolong jagain Farras sebentar? Gue mau ke toilet dulu," pinta Farza pada suaminya itu. Fikri yang tengah beristirahat di depan televisi pun segera melangkah menuju kamar Farza.

"Iya, sana. Hati-hati."

Farza berjalan pelan menuju kamar mandi, meninggalkan Fikri bersama putranya. Fikri menatap hangat pada bayi mungil itu, meraih jemari kecilnya. Fikri tertegun kala jemari kecil itu berbalik menggenggam jari besarnya kuat-kuat. Seolah bayi mungil itu ingin bersamanya.

"Sorry, Fik," ucap Farza yang tiba-tiba sudah berada tepat di belakang Fikri. Langkah perempuan itu tidak terdengar sama sekali, hingga kedatangannya sedikit membuat Fikri terkejut.

"Kenapa?" tanya pria itu. Dia menatap Farza, namun masih membiarkan jari besarnya digenggam erat oleh jemari mungil milik bayi Farras.

"Lo harus terjebak di antara gue sama Farras. Tawaran gue sama lo masih berlaku kok, lo boleh ceraiin gue, Fik. Karena Farras sudah lahir," tutur perempuan itu.

"Lo benar, Za. Gue terjebak di antara lo sama bayi kecil ini."

Sejenak, ucapan Fikri membuat Farza membeku. Farza berpikir, mungkin Fikri telah menyadari, bahwa hidup bersamanya hanya menjadikan hidupnya terlihat menyedihkan. Fikri seolah terjebak dalam sebuah labirin yang amat sulit. Namun sekali lagi, Farza bersedia membantu Fikri keluar dari labirin itu.

"Sebelumnya gue juga takut, Za. Gue takut nggak bisa terima bayi mungil ini di kehidupan gue. Gue takut suatu saat gue akan nyesal dan salahin bayi mungil ini. Tapi hari ini, berkat genggaman tangan kecil ini gue tersadar," ucapannya terhenti. Fikri menatap kembali jemari mungil yang masih menggenggam erat jari besarnya itu, sembari tersenyum.

"Kalau gue, justru mungkin akan bahagia terjebak di antara lo berdua."

Fikri beralih menatap Farza. Perempuan yang juga tengah menatapnya itu terlihat sendu. Fikri melihat penyesalan di mata perempuan itu. Penyesalan dan ketakutan yang begitu dalam.

"Gue masih dengan perkataan gue waktu itu ke lo, Za. Sekalipun gue dan lo hidup di bawah atap yang sama tanpa dasar cinta, setidaknya kita bahagia. Gue bahagia ada di antara lo berdua, dan lo berdua bahagia karena ada gue di dalamnya."

"Gue nggak tahu harus ngomong apa sama lo, Fik. Tapi gue cukup sadar diri buat berterimakasih sama lo, karena lo mau terima gue dan anak gue," ungkap Farza.

"Gue dan lo terjebak pada hati yang nggak bisa kita miliki. Dan kita juga kembali terjebak pada pernikahan yang nggak kita ingini. Tapi hari ini gue minta, berhenti merasa terjebak dalam pernikahan ini. Dan berhenti bilang kalau gue terjebak di antara kalian berdua," pinta Fikri pada perempuan di depannya itu.

Fikri kembali teringat akan nasihat dari sang Ibu beberapa hari lalu. Jangan hidup di masa lalu, sebab masa lalu bukan tempat yang layak untuk kita tempati kembali. Bergeraklah maju, ada kehidupan yang lebih pantas untuk kita, menanti di depan sana.

"Gue nyesal pernah ngelakuin hal bodoh kaya gini, Fik. Gue nyesal banget pernah lakuin sesuatu hal tanpa gue pikir akibatnya akan seperti apa. Gue nyesal, seegois itu dulu gue," ungkap perempuan itu diiringi sebuah tangisan.

"Gue bersyukur lo akhirnya bisa menyesal, Za. Gunain rasa penyesalan itu untuk membenahi diri lo. Gunain rasa penyesalan itu untuk nilai diri lo. Gunain rasa penyesalan itu sebagai pelajaran di hidup lo, dan jangan lakuin hal yang sama lagi, karena akan menimbulkan penyesalan yang sama, Za." Farza mengangguk di sela tangisnya. Kali ini, dia benar-benar menyesali semuanya.

"Sekarang lo bisa ikhlasin semuanya, Za? Atau minimal menerima semuanya?" tanya Fikri.

"Gue bisa terima kehidupan gue yang sekarang, Fik. Tapi gue masih belajar nerima perihal Dilfa. Gue masih usaha buat itu, Fik."

Fikri mengangguk mengerti. Untuk mengikhlaskan sebuah hati yang seolah telah terikat kuat dengan hati kita memang tidak mudah, Fikri memahami itu, sebab dia juga merasakan hal yang sama.

"Gue nggak akan minta lo buat lupain Dilfa atau bahkan untuk buang perasaan lo ke dia. Setidaknya lo berusaha untuk menerima kalau dia bukan buat lo, tanpa rasa dendam dan kebencian lagi seperti sebelumnya, Za."

Karena Fikri mengerti, poin terbesar bukan pada melupakan, tapi mengikhlaskan. Seberapa besarpun kamu berusaha melupakan, jika kamu tidak berusaha mengikhlaskan, justru akan membuat kamu semakin tersiksa oleh perasaan itu.

Namun, jika kamu berusaha mengikhlaskan dan menerima, meski kamu tidak bisa melupakan, setidaknya perasaan cinta itu tidak akan menjadi luka untukmu.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang