BAB II (Terlaksana)

3.6K 223 1
                                    

Bagaimana rasanya ada namun dianggap tidak ada? Menyakitkan? Seperti itulah yang dirasakan oleh perempuan yang kucintai. Sekarang, rasakan. Silakan anggap ini bagian balas dendam, tapi menurutku inilah adalah pembelajaran. Sebab seharusnya sebagai seorang manusia, kita harus bisa memanusiakan manusia juga.

_____

Fikri tengah menyiapkan diri untuk prosesi ijab kabul hari ini. Ditemani sang Ibu, juga ada Aludra di sana, sudah cukup menenangkan hatinya. Meski Fikri mengakui, melakukan hal segila ini tak pernah sekalipun terlintas di hati dan pikirannya. Tapi sekali lagi, demi Aludra dia akan berusaha untuk baik-baik saja.

"Ibu nggak tahu harus senang atau sedih melihat Fikri menikah, Al. Bukan pernikahan seperti ini yang Ibu ingin lihat dari putra satu-satunya Ibu. Tapi kamu tahu sendiri, Fikri bukan orang yang mudah membatalkan keputusannya."

Fikri hanya diam, berpura-pura tak mendengar apa yang tengah Ibunya bicarakan dengan Aludra. Jujur saja, dia cukup sedih melihat Ibunya menangis bukan sebab bahagia karena dirinya. Dia pun merasa gagal menjadi seorang putra, yang seharusnya membahagiakan Ibunya.

"Maafin Aludra, Bu. Karena Aludra, Fikri melakukan semua ini. Maaf, Aludra nggak bisa cegah semuanya. Aludra sudah berusaha membujuk Fikri, tapi si tengil itu tetap saja tidak mau mendengarkan Aludra. Maaf, Bu."

Dua perempuan tersayangnya itu drama sekali. Kan kalau mereka terus begitu, Fikri ingin menangis jadinya. Pria itu tidak bisa diam lagi, melihat Ibunya menangis sedangkan Aludra berulang kali mengucapkan kata maaf, membuatnya tak ingin terus bergeming. Fikri pun mendekati mereka, berusaha menenangkan keduanya dan memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Fikri lakuin ini semua atas kemauan Fikri kok, Bu. Fikri yakin, kalau Fikri mampu lewatin semuanya dan jalanin semua dengan baik. Ibu nggak usah khawatir, ya? Kalau Ibu sedih kayak gini, nanti Fikri yang nggak tenang. Ya, Bu?"

Pria itu memeluk Ibunya penuh haru. Meski setengah memaksa agar bisa menikah dengan Farza, tapi akhirnya sang Ibu mengiyakan keinginan putranya. Bukan sebab apa, hanya saja Ibunya tahu kalau yang Fikri lakukan adalah sebuah kebaikan.

"Ibu ikhlas, Nak. Ibu tahu kamu melakukan hal baik, Ibu hanya bisa berdoa semoga putra Ibu baik-baik saja."

Fikri melepaskan pelukannya pada Ibunya. Kemudian beralih menatap Aludra, yang masih enggan melihatnya. Aludra masih diliputi rasa kecewa, juga marah dengan pilihan hidup yang Fikri buat. Berulang kali Aludra meminta supaya dia membatalkan rencana pernikahan itu, namun Fikri enggan mendengarkan.

"Ini semua bukan karena lo, Al. Ini semua murni keinginan gue. Gue ngelakuin hal yang salah banget ke lo, gue ngecewain lo banget. Cuma ini yang bisa gue lakuin buat lo, Al. Dengan harapan setelah ini hidup lo nggak sesakit sebelumnya. Jangan pernah nyalahin diri lo sendiri, atas apa yang gue pilih. Kalau lo masih nyalahin diri lo, gue jadi ngerasa apa yang gue lakuin ini nggak ada gunanya."

Aludra diam, tak menanggapi apa yang Fikri katakan padanya. Meski begitu, dalam hati Aludra pun sama seperti yang dirasakan Ibunda Fikri. Sedih, tak rela dan bercampur aduk segala macam rasa. Walau sering berulang kali berkata pada Fikri, dia tidak ingin bertemu dengan pria itu lagi. Tapi melihat Fikri seperti sekarang ini, entah mengapa cukup mengusik ketenangan batin Aludra.

**

"Saya terima nikahnya Farza Naina binti Hasan Sanjaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang