BAB XXXVIII (Langkah Terakhir)

1.8K 162 13
                                    

Masing-masing dari kita, berhak untuk bahagia. Aku, berhak atas hidup yang jauh lebih baik dari ini semua. Juga kamu, berhak atas hidupmu yang sempat terenggut olehku. Terimakasih, telah memberi kenang indah bersamamu.

_____

"Mungkin, sekarang saatnya untuk memutuskan." Farza berkata lirih. Perempuan itu memandang ke arah sebuah koper yang terbuka di depannya.

Perlahan, perempuan itu memindahkan seluruh barangnya ke dalam koper tersebut. Tak bersisa, tanpa terkecuali, dia mengosongkan seluruh isi lemari. Tak lupa seluruh barang-barang milik Farras pun dirinya masukkan ke dalam sebuah tas besar.

Setelah selesai memindahkan seluruh barang ke dalam koper, Farza membawa Farras dalam gendongannya. Dengan yakin, perempuan itu menarik kopernya beserta Farras dalam gendongannya, keluar dari kamar yang beberapa bulan ini ia huni.

Fikri yang melihat keluarnya Farza dari dalam kamar terkejut, pasalnya perempuan itu menarik sebuah koper besar beserta sebuah tas jinjing besar pula. Tak ada pembicaraan apapun sebelumnya, namun tiba-tiba Farza membawa seluruh barang-barangnya.

"Lo mau ke mana, Za? Hah? Za?" tanya pria itu.

"Kita sudahi semuanya ya, Fik? Gue nggak mau semakin larut dalam hubungan ini. Hubungan yang sama sekali nggak menguntungkan baik buat gue apalagi lo. Gue mau pergi, Fik."

Sontak perkataan Farza mengejutkan Fikri. Pergi? Ke mana? Pria itu tak tahu harus berkata apa. Separuh hatinya tak ingin membiarkan Farza melangkah pergi, namun separuh hatinya pun penuh kebingungan. Entah apa yang harus pria itu lalukan.

"Za, lo serius? Za, gue nggak pernah minta lo buat pergi, Za. Lo mau pergi ke mana coba? Lo ada tempat tinggal? Za, kita masih bisa selesaikan ini semua baik-baik," tuturnya. Farza menggeleng pelan, menyanggah seluruh kalimat yang Fikri lontarkan.

"Kita sudah selesai, Fik. Pembicaraan lo dan gue kemarin, sudah cukup jadi alasan buat gue selesain hubungan nggak jelas ini. Apalagi sih yang mau lo pertahanin? Lo nggak suka gue, pernikahan ini karena terpaksa, Farras bukan anak lo, apalagi, Fik? Sudahlah, baik lo atau gue tuh sudah capek sama drama rumah tangga ini kan?"

Farza benar. Baik dirinya maupun Fikri sama-sama lelah. Sejak awal pernikahan mereka, semuanya tidak berjalan lancar. Penuh pertengkaran, keegoisan, dan masih banyak hal menyakitkan lainnya. Jadi bagi Farza, untuk apalagi semuanya di pertahankan.

"Lo mau nyerah sama semuanya, Za?" tanya Fikri. Farza tersenyum kecut mendengar pertanyaan dari pria di depannya itu. Menyerah? Satu kata yang entah bagaimana Farza harus mendeskripsikannya.

"Gue memang cinta sama lo, Fik. Tapi gue sudah capek. Capek ngemis cinta mulu. Dulu gue ngemis cinta ke Dilfa, hasilnya? Nihil. Gue lepasin dia, dan berharap akan dapat cinta dan kehidupan yang indah setelahnya. Tapi sekarang apa? Lo juga sama kayak Dilfa, Fik. Jadi buat apa? Buat apa gue lagi dan lagi menjatuhkan harga diri gue sendiri buat seseorang yang bahkan sedikitpun cinta buat gue nggak ada."

Lagi dan lagi, Farza dipaksa mengalah oleh keadaan. Seolah semesta tengah merundung dan menghukumnya. Semua cinta perlahan lenyap dari hidupnya, yang ada hanyalah tersisa derita. Perlahan, Farza mulai terbiasa. Terbiasa hidup tanpa cinta dan rasa bahagia.

"Za, gue minta maaf kalau perkataan gue kemarin nyakitin lo. Tapi lo nggak harus pergi kayak gini, Za. Kan dari awal lo juga setuju buat hidup sama gue walaupun kita nggak ada rasa saling suka kan, Za? Masa lo lupa?"

Sekali lagi, Farza tertawa hambar. Hidup bersama tanpa ada rasa cinta? Mungkin dulu iya, tapi sekarang apakah dia bisa? Apakah dirinya mampu?

"Itu dulu, Fik. Jauh sebelum gue sadar kalau gue hanyut di dalam hubungan ini. Jauh sebelum gue sadar, kalau gue sudah jatuh ke dalam hubungan ini. Terus lo pikir gue masih bisa ngelakuin hal itu? Nggak, Fik. Mungkin buat lo gampang, karena lo memang nggak ada rasa sama sekali ke gue. Tapi buat gue?"

Farza kembali menarik langkah, hendak menjauh dari tempat yang selama ini ia huni bersama Fikri. Tempat yang menjadi saksi bagaimana rasa itu tumbuh dalam hatinya. Tempat yang menjadi bukti, perihal lika-liku hidup keduanya.

"Za," panggil Fikri. Pria itu mencegah langkah Farza, menahan lengan perempuan itu. Fikri masih akan terus berusaha, supaya Farza membatalkan keinginannya pergi dari rumahnya, dari hidupnya.

"Apalagi sih, Fik? Berhenti nyiksa gue kayak gini. Apa sih yang mau lo pertahanin? Apa, Fik?" tanya Farza. Perempuan itu setengah geram, Fikri hanya mencegah perginya namun tak memberinya alasan untuk tetap bertahan bersama pria itu.

Fikri diam. Pria itu tak mampu menjawab pertanyaan Farza. Ah lebih tepatnya, dia kebingungan harus berkata apa. Sebab sebenarnya pun dia masih terombang-ambing di tengah kebimbangan. Dia sendiri pun tak mengerti entah dasar apa, dia tak ingin Farza pergi. Dia, hanya tak ingin itu terjadi.

"Gue nggak mau lo pergi, Za."

"Ya apa alasannya? Apa alasannya lo nggak mau gue pergi, Fik? Nggak ada kan? Jadi buat apa lo nahan gue kayak gini?"

Fikri kembali bungkam. Rasanya, dia ingin sepuas hati menyalahkan dirinya sendiri. Dia terlalu larut dalam kebimbangan. Dan pada akhirnya, dia pun tak kunjung menemukan jalan keluar.

"Nggak ada kan? Lo nggak bisa jawab kan? Fik, jangan pernah memaksakan suatu hal, yang lo sendiri nggak tahu hal itu benar apa nggak. Yang lo sendiri belum yakin atas hal itu. Lo cuma akan nyakitin orang lain, Fik."

Farza benar. Larutnya Fikri dalam segala kebingungannya, justru membuat orang lain tersakiti. Dirinya yang tak kunjung menemukan jalan, justru membuat orang lain kian tersesat lebih dalam. Fikri sadar akan hal itu, tapi dirinya enggan melepaskan.

"Fik, gue sudah berusaha ngalah. Gue cinta sama lo, sedangkan lo nggak, oke, gue yang pergi. Gue nggak masalah. Tapi kalau lo terus ngelarang gue pergi tanpa kasih tahu gue atas dasar apa lo lakuin ini ke gue, lo justru mencipta harapan baru ke gue, Fik. Jangan kasih gue terbang, kalau akhirnya lo jatuhin."

Farza benar-benar hampir berada di ujung amarahnya. Dirinya bersedia mengalah, enggan memaksa Fikri untuk mencintainya. Dia sadar, bahwa sesuatu bernama cinta tak bisa dipaksa apalagi dituntut menuju kepada siapa. Tapi, yang Fikri lakukan justru menarik-ulur hatinya.

"Lo tetap di sini, Za. Biar gue yang pergi dari sini. Kalau lo pengen menyendiri, sampai semuanya damai, biar gue yang ngalah buat pergi. Ya?" pinta Fikri. Namun, Farza menggeleng keras. Perempuan itu enggan. Enggan kembali menerima uluran tangan Fikri, yang justru akan kembali memberikan harapan tidak pasti pada hatinya.

"Kalau gue tetap di sini, gue justru akan terus keinget sama lo, Fik. Gue nggak mau. Karena, lo saja nggak yakin akan bertahan sama gue atau nggak."

Farza menepis genggaman tangan Fikri di pergelangannya. Perempuan itu kembali menarik langkah kakinya dari tempat itu. Bagaimanapun juga, dia harus tetap pergi, demi mencegah supaya hatinya tak terluka dan berharap lebih dalam lagi.

"Barangkali lo lupa, Fik. Gue masih manusia, terlepas seberapa jahatnya gue dulu ke orang yang lo cinta." Begitulah kiranya ucapan terakhir Farza, sebelum langkah terakhirnya membawanya pergi dari kediamannya bersama Fikri.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Masih tim Fikri, atau sudah berubah haluan nih? Hihi.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang