Jangan tanyakan keputusan apa yang aku pilih, jika isi hatimu saja tak kau ketahui. Jangan cegah aku untuk pergi, jika kau masih bergejolak dengan hatimu sendiri. Tanyakan hatimu terlebih dulu, tujuan apa kau mempertahankan ku?
_____
Tiga hari berlalu sejak Fikri mengetahui Farza bertemu kembali dengan Agral. Tiga hari juga, Farza mendiamkan Fikri. Bukan, bukan sebab perempuan itu marah, hanya saja suasana di antara mereka berubah menjadi amat canggung.
Begitupun dengan Fikri, pria itu setiap harinya hanya pergi bekerja, pulang, dan setelahnya merenung hingga pagi lagi. Entah apa yang pria itu pikirkan, Farza tak tahu. Yang Farza ketahui dengan jelas adalah, di antara mereka tidak sedang baik-baik saja.
Fikri tengah bergumul dengan kebingungannya, kepalanya dipenuhi banyak tanda tanya. Entah harus mencari jawaban ke mana, pria itu tak tahu. Dia paham situasi di antara dirinya dengan Farza akan semakin memburuk jika terus didiamkan seperti ini, hanya saja Fikri pun masih dipenuhi kebimbangan.
Malam kian larut, bahkan pagi segera menjelang. Pria itu masih enggan menutup mata, beristirahat sejenak dari dunia yang melelahkan. Fikri duduk di dekat jendela kamarnya, menikmati pemandangan malam yang entah kenapa mengingatkannya pada seseorang.
"Seandainya lo di sini, Al, gue pasti nggak akan kebingungan kayak gini. Lo pasti akan kasih gue nasihat dan arahan. Gue benar-benar bingung sama semuanya, Al."
Fikri menatap langit gelap di atas sana. Seolah dirinya bisa menjangkau Aludra, dia berbicara sembari menengadah menatap langit malam. Sekarang, semenjak sahabat wanitanya itu telah tiada, dia seolah kehilangan arahan. Tidak ada lagi sosok yang mampu menasihatinya, sehebat Aludra dulu.
"Lo tahu kan, Al, apa yang bikin gue bingung kayak gini? Gue nggak bisa biarin Farza pergi gitu saja, Al. Apalagi kembali sama orang yang bikin dia kayak sekarang. Sejauh ini, dan sampai sekarang gue mikir, gue lakuin ini semua karena dan demi lo, Al. Dia amanah terakhir lo ke gue. Tapi, perkataan Farza kemarin entah kenapa bikin gue sakit hati, Al."
Jujur saja, perkataan Farza perihal bagaimana hatinya pada perempuan yang telah ia nikahi itu, sedikit menyayat hatinya. Melihat raut kesedihan dan kekecewaan Farza saat perempuan itu melontarkan pertanyaannya, entah kenapa membuat sesak di dada Fikri.
"Apa iya gue yang nggak sadar sama perasaan gue ke Farza?"
Fikri mengacak surainya pelan. Berhari-hari larut dalam kebimbangan yang seolah kian menyesatkan, benar-benar melelahkan. Ditambah lagi, tak ada seorangpun yang bisa ia jadikan tempat untuk bersandar, atas segala beban di pundaknya.
**
Sepulang bekerja, Fikri menatap Farza yang tertidur lelap di sofa. Pria itu beralih menuju kamar milik Farza, melihat keadaan Farras, rupanya bayi mungil itupun tengah tertidur lelap. Dia kembali menatap Farza, pria itu telah bertekad untuk kembali membicarakan perihal rumah tangga mereka bersama.
"Kenapa lo lihatin gue?" tanya Farza yang masih memejamkan matanya. Fikri berjengit kaget, dia kira Farza begitu lelap tertidur.
"Lo bangun dari tadi?" tanya pria itu. Farza diam, tak menjawab. Perempuan itu hanya bergerak membenarkan posisi tubuhnya, hendak kembali memejamkan mata. Namun, sebuah kalimat yang Fikri lontarkan padanya menggugurkan keinginan tidurnya.
"Ada yang pengen gue bicarain, Za, soal kita."
Farza bangkit dari tidurnya, mendudukkan dirinya dengan malas. Sama halnya seperti Fikri, perempuan itu tak tidur beberapa malam. Kantung matanya kian menghitam dan tebal. Keduanya, sama, baik Fikri maupun Farza.
"Apa lagi yang perlu dibahas, Fik? Lo nggak mau ceraiin gue dengan alasan amanah dari Aludra? Oh, atau sekarang lo sudah ambil keputusan untuk ceraiin gue? Bagus deh, biar semuanya nggak menggantung kayak gini," ucapnya. Fikri menampung semua praduga Farza padanya. Tapi, bukan itu yang ingin Fikri bicarakan.
"Gue cuma pengen lo tahu, Za, gue memang nggak akan cerai dari lo. Bahkan biarin lo kembali sama Agral, nggak akan. Gue akuin, gue lakuin ini semua karena Aludra. Jadi, kalau lo minta kejelasan atas perasaan gue ke lo sekarang, gue nggak bisa kasih itu, Za. Gue benar-benar nggak tahu, kenapa gue sekeras ini buat nggak lepasin lo dan Farras."
Jika kembali Fikri pikirkan, seandainya pria lain berada di posisinya saat ini, pasti dia akan menyerah perihal Farza, dan membiarkan perempuan itu kembali pada Agral. Perihal amanah dari Aludra, Fikri masih bisa menjaga Farza dari kejauhan.
Justru hal ini yang kian membuat Fikri bimbang. Dia sadar, menjalankan amanah dari Aludra tidak harus dengan cara bertahan dalam pernikahan itu. Apalagi, pria yang menjadi Ayah biologis Farras telah kembali. Tapi, entah kenapa sebagian besar hatinya berkata untuk tetap mempertahankan semuanya. Entah karena apa.
Jika karena dirinya perlahan mencintai Farza, Fikri tak tahu. Sebab sejauh ini, sampai detik ini, dia masih selalu beranggapan kalau dia hanya mencintai Aludra. Dia masih setia pada pendirian, bahwa hatinya masih tertaut pada mendiang sahabatnya itu.
"Gue tahu, gue mungkin nyakitin lo, Za. Gue juga sadar, menggunakan Aludra sebagai alasan gue bertahan sama lo justru akan makin nyakitin lo. Tapi, gue benar-benar berharap lo nggak bersikeras buat cerai dari gue, sampai gue nemuin semua jawaban atas kebingungan gue," ujar Fikri memohon.
"Karena lo hari ini, gue jadi sadar satu hal, Fik. Mungkin ini yang dulu Aludra rasain waktu nikah sama Dilfa gantiin gue. Dia harus hidup satu atap sama laki-laki yang cintanya buat orang lain. Dia harus nikah sama laki-laki yang bahkan nggak dia kenal buat nutupin malunya keluarga."
Farza tersenyum kecut. Ekspresi wajahnya, benar-benar tak bisa terbaca oleh Fikri. Kemudian, perempuan itu menatap tajam Fikri. Menatap pria di depannya itu nyalang, seolah penuh amarah, namun di dalam matanya juga terbersit rasa penyesalan.
"Dan gue, sekarang rasain apa yang Aludra rasain dulu karena gue. Lo, masih belum selesai balas dendam ke gue, atas sakit dan luka yang Aludra alami, Fik? Lo masih belum puas bikin gue merasakan seluruh penderitaan yang Aludra alami, Fik? Sehingga lo maksa gue buat bertahan hidup sama lo yang bahkan cinta mati sama Aludra, supaya gue benar-benar menderita kayak Aludra dulu? Mau sampai kapan lo dendam sama gue?" tuduh Farza pada Fikri.
Fikri tercengang mendengar tuduhan demi tuduhan yang Farza tudingkan padanya. Dari mana asal pemikiran itu? Begitu kiranya pertanyaan yang melintas di kepala Fikri.
"Lo nuduh gue tanpa dasar, Za. Apa alasan lo nuduh gue kayak gitu?" tanya Fikri. Farza tertawa hambar mendengarnya.
"Nuduh lo tanpa dasar? Fik, lo nikahin gue karena Aludra. Bahkan alasan utama lo nikahin gue karena lo pengen balasin semua rasa sakit yang Aludra terima, baik dari gue maupun dari orang tua gue. Gue kira lo sudah lupain soal balas dendam itu. Tapi nyatanya, lo masih mau lakuin balas dendam itu ke gue? Dengan cara kayak gini? Maksa gue hidup sama lo dengan perasaan yang nggak pernah lo balas?"
Fikri benar-benar dibuat tercengang. Bahkan semua hal baik yang berusaha Fikri berikan pada Farza, perempuan itu anggap sebagai bagian dari rencana balas dendamnya?
"Gue benar-benar nggak paham sama jalan pikiran lo, Za. Gue berusaha sebaik mungkin buat nerima lo dan Farras. Gue cuma minta lo nunggu karena gue benar-benar bingung sama perasaan gue ke lo, tapi lo malah nuduh gue manfaatin situasi ini buat balas dendam ke lo? Hah? Apa gue terlihat seburuk itu di mata lo, Za?"
Fikri berbalik meninggalkan Farza, pria itu benar-benar dibuat kecewa oleh cara berpikir perempuan itu. Dia menderita sebab ke bimbingannya, berharap Farza memahami dan memaklumi. Tapi yang terjadi, justru dirinya diberi tudingan-tudingan yang jujur saja menyakitkan.
_____
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.
Ada yang rindu? Hihi. Maafkan author yang akan jarang update sepertinya. Juga, mohon doanya untuk kelancaran skripsi yang sedang author kejar, hihi. Terimakasih semua....
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]
RomanceAku terjebak dalam satu kondisi, di mana raga ku bersama mu, namun hatiku menjadi miliknya. Haruskah ku terima kamu dengan lapang? Sedang hatimu pun menjadi milik orang lain. Kita berdua terikat dalam sebuah pernikahan, yang hanya ada keterpaksaan...