BAB XIV (Persiapan)

1.7K 134 5
                                    

Terkadang, semesta memang selucu itu. Memisahkan kita dengan orang yang amat dicinta, kemudian menyatukan dengan seseorang yang tak pernah disangka. Adakah yang sama?

_____

"Za, hari ini gue libur, mau keluar nggak?" tanya Fikri. Perempuan yang tengah tertidur santai di sofa ruang tamu itu segera melirik ke arah suaminya, matanya menyipit menatap Fikri heran.

"Tumben ngajakin keluar? Lo nggak lagi sakit kan?" Farza berbalik tanya.

"Mau keluar nggak? Mumpung gue lagi baik, nih."

Farza berpikir sejenak, adakah tempat yang ingin dia kunjungi? Sepertinya tidak ada. Tapi sepertinya dia memang perlu keluar untuk membeli beberapa kebutuhan pribadinya.

"Sebenarnya gue mau pergi ke toko perlengkapan bayi gitu, Fik. Tapi gue pergi sendiri saja deh, lo pergi aja ke mana gitu jalan sama teman-teman lo!"

Fikri baru ingat, tinggal beberapa minggu menjelang perkiraan hari kelahiran anak dalam kandungan Farza. Sudah sewajarnya sebagai calon orang tua, mereka menyiapkan segala macam kebutuhan yang akan diperlukan nantinya.

"Ya sudah gih, cepat siap-siap. Gue tungguin," ucap Fikri.

"Lo mau ikut?" tanya Farza, setengah tidak menyangka kalau Fikri bersedia menemaninya mencari kebutuhan untuk calon bayinya.

"Cepat, Za!" perintah Fikri lagi. Farza segera bangkit dari kegiatan bersantainya itu, bersiap-siap dengan cepat sebab Farza tahu Fikri bukan orang yang sabaran, dengannya.

**
"Beli apa saja ya, Fik?" tanya Farza. Sebab ini kali pertama bagi perempuan itu, dia sama sekali tidak mengerti kebutuhan apa saja yang harus dia beli. Sedangkan Fikri malah sibuk berkeliling melihat-lihat, dan membiarkan Farza kebingungan begitu saja.

"Ish, itu bocah malah main kabur!" gerutu Farza.

"Sini, Za!" panggil Fikri. Pria itu berada di tempat perlengkapan baju bayi, sembari memegang beberapa baju sekaligus menerka-nerka bahan apa yang digunakan di baju bayi tersebut.

"Oh, iya, baju! Pilih yang mana ya, Fik?" Farza berlalu melihat-lihat beberapa model baju untuk anak yang baru lahir. Mulai dari baju lengan panjang dan pendek, celana panjang dan pendek, sampai baju terusan atau nama gaulnya baju kodok. (Haha)

"Ambil saja masing-masing enam pasang, Za. Itu samping baju-baju ada gendongan bayi, lo pilih saja yang mana yang lo kira nyaman dipakai buat gendong bayi," ujar Fikri dan Farza pun mengangguki.

Perempuan itu mengambil enam pasang baju dan celana panjang, enam pasang baju dan celana pendek, serta enam baju terusan. Tak lupa dia membeli beberapa pakaian dalam bayi. Sesekali Farza tersenyum ketika memilih-milih pakaian bayi tersebut, entah apa yang ada di benak perempuan itu.

"Gendongannya sudah?" tanya Fikri.

"Sudah, gue ambil tiga gendongan, Fik." Fikri mengangguk. Kemudian pria itu menarik pelan pergelangan tangan Farza, membawanya ke tempat selimut dan handuk anak-anak. Farza yang mendapat perlakuan demikian dari seorang Fikri bergumam heran. Apakah pria itu tengah demam?

"Handuk sama selimut bayi, Za. Ambil berapa saja terserah lo," perintah Fikri. Farza menatap rak-rak yang berisi handuk dan selimut bayi, matanya tertuju pada selimut-selimut dengan berbagai macam warna dan motif, lucu sekali.

"Gue ambil selimutnya tiga, handuknya dua ya, Fik?" Sekali lagi Fikri mengangguk, mempersilakan perempuan itu mengambil berapapun yang dia mau.

"Udah, Fik. Apalagi sekarang?" tanya Farza. Farza memutar bola matanya mengelilingi toko tersebut. Pandangan perempuan itu berhenti tepat di kumpulan box bayi, segera Farza berjalan cepat menuju box bayi tersebut.

"Mau ini, Fik," pinta Farza. Sayangnya, Fikri menggeleng pelan.

"Kamar apartemen sempit, Za, buat naruh box bayi segede gini. Kan lo tahu sendiri apartemen gue nggak luas banget." Farza menghembuskan napas pasrah, mendengar jawaban dari Fikri.

Memang benar, apartemen milik Fikri yang mereka huni saat ini tidak cukup luas. Farza pun mengerti, jika memaksa membeli box bayi tersebut justru akan membuat kamar apartemennya kian terasa sempit.

"Yaudah deh, Fik, kita cari yang lain saja," ajak Farza.

"Tapi kalau lo pengen banget pakai box bayi kaya gitu, kita bisa pindah ke rumah Ibu, gimana? Lo oke kalau kita tinggal sementara di rumah Ibu?" ajak Fikri.

"Nggak deh, Fik, gue malah takut bikin Ibu repot, lagipula beliau sudah mulai tua, waktunya istirahat cukup tanpa gangguan. Walaupun gue bengal dan nggak tahu aturan, gue masih cukup sopan sama orang tua, tahu lo!" jawab perempuan itu sembari tersenyum mengejek. Fikri hanya menghendikan bahu melihat tingkah perempuan itu hari ini.

"Ya sudah, terserah lo."

Mereka kembali melihat-lihat ke sekeliling, mencari perlengkapan bayi lainnya yang bisa saja mereka butuhkan nanti. Farza menatap sepatu-sepatu lucu dengan ukuran mini yang menggemaskan, kemudian tangannya terulur mengelus perut buncitnya itu.

"Sayangnya waktu cek kandungan dokternya bilang kalau anak gue kemungkinan cowok, coba kalau cewek," ungkapnya.

"Kalau cewek kenapa memangnya?" tanya Fikri penasaran. Pasalnya menurut Fikri, perempuan atau laki-laki anak yang akan Farza lahirkan nanti tidak penting, asalkan dia lahir dalam keadaan yang sehat.

"Itu lo lihat sepatu anak cewek gemesin banget, kalau anak cowok biasa saja nggak ada modelnya. Itu, ada hak busanya gitu, lucu kan?" ujar Farza sembari menunjuk beberapa sepatu yang menurutnya lucu dan menggemaskan itu.

"Lo saja yang pakai, Za," ledek Fikri sembari terkekeh pelan. Farza mencibir pelan mendengar ledekan Fikri padanya.

"Kalau muat sudah gue pakai, Fik."

"Hampir lupa, sarung tangan sama kaos kaki, Za." Kembali pria itu menarik pelan pergelangan tangan Farza, membawa perempuan itu ke tempat sarung tangan dan kaos kaki bayi.

"Sarung tangannya imut banget, Fik. Gue dulu juga segini kali ya tangannya?" ucap Farza antusias.

"Ya iyalah, Za. Nggak mungkin lo brojol langsung segede gini, aneh deh kadang ini anak," jawab Fikri. Pria itu menggelengkan kepala beberapa kali, terkadang ucapan dan tingkah laku Farza terasa sangat aneh untuknya. Bukan terkadang, lebih tepatnya sering sekali.

Tanpa menghiraukan perkataan Fikri, perempuan itu kembali memilih-milih keperluan untuk calon anaknya. Banyak sekali yang perempuan itu ambil dan masukan ke dalam keranjang. Dan anehnya, Fikri selalu berkata iya atas apa yang Farza mau.

"Sudah, Fik!"

Fikri menatap keranjang belanja, sangat lebih dari cukup, dan sangat melebihi perkiraannya. Memang perempuan, kalau sudah berurusan dengan dunia perbelanjaan mereka akan kalap. Bahkan menurut Fikri, jika ada hujan badai di tengah-tengah keasyikan perempuan berbelanja, mereka tak akan menghiraukan hujan badai tersebut dan tetap asyik berbelanja. Perempuan.

"Sudah? Ya sudah, gih, sana bayar!"

"Hah? Mana ada duit gue," keluh Farza dengan wajah memelas pada Fikri.

"Bercanda, Za. Nggak bisa diajak bercanda banget deh," ucap Fikri.

"Ya lo bercandanya masalah duit, nyebelin deh!"

Sengaja Fikri menjaili Farza. Pasalnya, setelah menikah dengannya Farza memang hanya mengandalkan nafkah yang dia beri. Fikri melarang orang tua Farza untuk memberikan uang pada perempuan itu, alasannya supaya Farza belajar untuk hidup tanpa uang yang berlebihan.

"Mas sama mbaknya serasi, semoga langgeng pernikahannya ya," ucap kasir perempuan setelah melakukan transaksi pembayaran dengan Farza dan Fikri. Farza yang mendengarnya seketika terdiam.

"Terimakasih, mbak," jawab Fikri. Pria itu kemudian menggiring langkahnya beserta Farza keluar dari tempat perbelanjaan tersebut, dengan Farza yang masih terdiam dan mencerna perkataan kasir tadi.

"Fik, lo nggak masalah sama omongan mbak tadi?" tanya Farza, Fikri hanya menjawabnya dengan sebuah gelengan. Sedangkan Farza, entah sebab apa perkataan yang ia dengar begitu mengusiknya.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang