BAB XXIII (Api Amarah)

2.3K 168 9
                                    

Kehilanganmu teramat berat untukku. Aku baik-baik saja ketika kamu bahagia bersama dia, tapi ketika kamu pergi dan tak bisa kulihat lagi, rasanya begitu sesak. Kamu tahu, aku terbelenggu oleh sakit sebab kepergian mu.

_____

Hari ketiga setelah kepergian Aludra. Fikri masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Masih enggan berbicara dengan siapapun. Bersyukurnya, pria itu sudah bersedia keluar dari kamarnya, sedikit melegakan hati Ibunya.

Seperti sekarang ini, pria itu tengah menyendiri di taman samping rumah Ibunya. Matahari pagi memantulkan sinarnya yang hangat. Fikri sesekali menarik napasnya dalam, mengembuskan perlahan. Sesekali, sesak itu masih mendera.

Pria itu kembali teringat masa silam. Ketika dirinya dan Aludra masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Setiap hari mereka akan duduk di taman itu, sembari mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Sesekali Fikri mengeluh akan sulitnya tugas itu, namun Aludra dengan sabar mengajarinya.

Tapi kini Fikri sadar, masa itu telah berlalu. Tawa dan senyum hangat milik Aludra hanya tersisa di ingatannya. Semoga saja, ingatan itu tak turut menghilang dan pudar seiring berjalannya waktu.

"Fik?" panggil Farza. Pria itu hanya diam. Masih enggan menyahut panggilan maupun perkataan dari siapapun. Dia masih butuh waktu untuk menenangkan diri. Masih butuh waktu untuk menerima ketetapan yang terjadi.

"Gue tahu ini berat banget buat lo. Gue juga pernah kehilangan, walau mungkin sakitnya nggak sehebat yang lo rasain sekarang. Gue tahu perlu waktu buat nerima semuanya. Tapi gue mohon, jangan berlarut-larut, Fik. Ibu lo sedih lihat lo kaya gini terus," ujar Farza.

Perempuan itu tak menyerah untuk membujuk Fikri, supaya kembali menjadi Fikri seperti biasanya. Walau Farza sendiri sadar, ini terlalu berat. Walau Farza mengerti, sakitnya pasti teramat hebat. Tapi melihat Fikri begitu terpuruk seperti sekarang ini, entah kenapa Farza sakit.

"Kehilangan? Bukannya sekarang lo bisa mulai lagi ambisi lo buat balik sama Dilfa? Ini kan, Za, yang lo mau? Selama ini lo berharap supaya Dilfa dan Aludra berpisah, sekarang mereka sudah berpisah. Puas lo?"

Farza kaget dengan ucapan Fikri. Bahkan dirinya sendiri tidak berpikir sejauh itu, lalu kenapa Fikri bisa mengucapkan kalimat seperti itu? Farza tidak mengerti sama sekali dengan jalan pikir dari Fikri.

"Gue nggak ngerti atas dasar apa lo ngomong gitu ke gue, Fik," jawab Farza.

"Kalau lo mikir kaya gitu ke gue karena gue masih ada rasa sama Dilfa, gue maklum. Tapi yang perlu lo tahu, gue sama sekali nggak punya pikiran kaya apa yang lo bilang tadi."

Fikri menyunggingkan bibirnya. Tidak percaya dengan kalimat yang Farza ucapkan. Perempuan itu terlalu berambisi untuk memiliki Dilfa kembali, dan ketika jalan menuju ke sana sudah terbuka, tidak mungkin Farza melepasnya begitu saja.

"Lo pikir gue akan percaya? Gue tahu seberapa besar keinginan lo buat hidup sama Dilfa lagi. Mungkin akhir-akhir ini lo terlihat sudah menyerah karena masih ada Aludra di sisi Dilfa. Tapi Aludra sekarang sudah nggak ada! Lo pikir gue percaya dengan lo bilang, lo nggak ada pikiran buat berusaha balik lagi sama Dilfa?"

Fikri menatap Farza. Segala macam rasa terlihat dari mata pria itu. Rasa kehilangan itu masih ada, tapi ada kilatan amarah yang terpancar juga. Farza tahu tidak mudah bagi Fikri untuk mempercayai dirinya. Apalagi Fikri menyaksikan secara langsung bagaimana ambisinya dulu. Tapi kali ini Farza tidak berbohong, dia sudah tidak mengharapkan Dilfa lagi.

"Gue tahu rasa kehilangan Aludra yang bikin emosi lo nggak ke kontrol kaya gini. Tapi lo nggak bisa luapin emosi lo ke gue kaya gini, Fik," ujar Farza.

"Nggak bisa? Lo berharap gue percaya sama lo, Za? Lo tahu dan lihat sendiri kan, bahkan sampai dia mati pun orang tua lo nggak mau lihat dia! Orang tua lo sama sekali nggak mau datang untuk minta maaf ke dia! Lo sama orang tua lo tuh sama, Za! Kalian sama-sama pengen Aludra menghilang seutuhnya dari hidup kalian!"

Kilatan emosi di mata pria itu kian membara. Amarah yang tak mampu lagi dia bendung, akhirnya meluap juga. Dan Farza seolah menjadi sasaran empuk atas emosinya yang tak bisa ia kendalikan.

"Gue sadar gue dan orang tua gue nyakitin Aludra dari dulu! Gue juga sadar gimana sakitnya dia hidup di tengah-tengah kita! Gue juga sadar, gue jahat sama dia! Gue sadar, Fik! Tapi saat dia pergi, gue nggak punya niatan secuil pun buat gantiin dia di hidup Dilfa!"

Fikri masih enggan percaya. Pria itu seolah menutup telinganya dari mendengar ucapan Farza. Dia sangat yakin kalau Farza masih akan berusaha untuk kembali ke dalam hidup Dilfa. Pada akhirnya, pria itu kembali membenci orang-orang yang pernah menyakiti Aludra, dan Farza termasuk ke dalamnya.

"Mungkin buat lo dan orang tua lo, perginya Aludra bikin hati kalian lega. Gue tahu kalian nggak pernah ingin Aludra ada di hidup kalian, tapi dia berharga di hidup gue! Dia penting buat gue, Za!" teriak pria itu.

Hatinya kembali sesak. Dia kembali marah setiap melihat Farza, dan mengingat kedua orang tua Farza. Pria itu kembali mengingat saat bagaimana Aludra menangis sebab ulah mereka. Kehilangan Aludra, seolah membuka memori menyakitkan tentang perempuan itu.

"Gue tahu dia penting buat lo! Gue tahu dia berharga buat lo! Gue juga sadar, Dilfa juga punya perasaan yang besar ke Aludra sama seperti lo! Gue sadar baik lo ataupun Dilfa sama cintanya ke Aludra! Gue memang bukan siapa-siapa di hidup lo! Gue memang nggak ada apa-apanya di bandingkan dia! Tapi bukan berarti lo berhak nuduh gue yang nggak-nggak! Bukan berarti lo berhak punya pikiran buruk ke gue!"

Farza sudah tidak kuat jika dirinya terus disudutkan, atas sesuatu hal yang bahkan tidak pernah terbersit di pikirannya. Dia sudah lelah dianggap orang paling jahat. Dia sudah lelah menerima banyak kebencian dari orang-orang yang menjadi bagian dari hidupnya.

"Jangan karena gue pernah sejahat itu sama Aludra, lo berpikir gue senang karena dia pergi gitu saja. Jangan karena gue cinta sama Dilfa, lo nuduh gue bakal berusaha balik lagi ke dia karena Aludra sudah nggak ada."

Fikri terdiam, tidak mampu menjawab perkataan Farza. Sedikit banyak pria itu merasa, kalau ucapannya kali ini menyinggung perempuan itu. Tapi Fikri benar-benar tidak bisa membendung emosinya. Dia ingin marah pada siapa saja, entah karena sebab apa.

"Gue cukup sadar diri, Fik. Bahkan ketika Aludra sudah pergi ninggalin Dilfa, dia nggak akan pernah cari pengganti Aludra. Dan lo, gue juga sadar kalau gue nggak akan pernah bisa masuk ke hidup lo. Cukup bagi gue buat tahu semuanya, ketika gue lihat hancurnya lo dan Dilfa kehilangan Aludra."

Dua pria yang hadir dalam hidupnya, mencintai satu perempuan yang sama. Dan di depan matanya, kedua pria itu hancur sebab kehilangan perempuan yang mereka cinta. Itu semua cukup menyadarkan Farza, bahwa dirinya memang bukan siapa-siapa di hidup mereka.

"Gue terima semua tuduhan lo, Fik."

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang