Segalanya, telah kembali ke jalan yang benar. Pada akhirnya, kita kembali menjadi dua orang asing yang tak saling mengenal. Terimakasih, sebab pernah ada.
_____
Farza melajukan langkah kakinya keluar dari gedung apartemen. Untuk terakhir kalinya, perempuan itu memandang beberapa saat pada gedung tinggi itu. Di sana, untuk waktu yang cukup panjang, dia berhasil mencipta kenang dengan berbagai macam perasaan.
Perempuan itu tersenyum kecil, sembari membawa Farras dalam gendongannya, dia melangkah maju. Hari ini, antara dirinya dengan Fikri terasa telah usai. Semuanya telah pudar. Dan kini, saatnya Farza menguatkan kedua bahunya, untuk berusaha membesarkan Farras seorang diri.
"Sekarang, cuma tinggal kita berdua, sayang. Tetap jadi alasan Mama untuk kuat ya?" ujarnya pada bayi mungilnya. Benar, hanya Farras alasannya untuk bertahan sekarang ini. Dan hanya putranya yang sekarang menjadi tujuan hidupnya.
Berbekal sedikit uang dalam tabungannya, Farza mencari tempat tinggal yang cukup layak untuk dirinya dan putranya. Beruntungnya, semenjak bersama Fikri dirinya telah terbiasa hidup sederhana. Jadi saat hari seperti ini tiba, dia tidak terlalu merasa kesulitan.
Sebenarnya jika dia memilih kembali pada kedua orang tuanya, pasti semua urusan kehidupannya akan kembali terjamin. Hanya saja, Farza tidak ingin terjadi keributan antar keluarga. Lagipula, Farza benar-benar ingin belajar hidup mandiri tanpa uluran materi dari orang tuanya.
"Maafin Mama ya, Mama membawa kamu ke dalam kehidupan yang kurang menyenangkan seperti ini," ucapnya sembari mengelus pucuk kepala putranya.
Rasa bersalah yang besar kepada Farras, hinggap dalam hatinya. Putranya lahir dari seorang Ibu yang awalnya menganggap kehadirannya sebagai sebuah kesalahan. Juga, dia tidak mampu memberikan keluarga yang utuh bagi putranya. Di tambah lagi, kesulitan-kesulitan hidup yang dia alami saat ini, terpaksa harus melibatkan putranya juga. Rasanya, terlalu menyesakkan.
"Lo mau ke mana, Za?" tanya Agral yang tiba-tiba muncul dan berada di sampingnya. Farza menarik napas lelah, dia ingin segera mengusaikan semuanya.
"Lo ngapain sih, Gral? Ngikutin gue lagi? Lo tinggal di jalanan, sampai-sampai ada di mana saja?" tanya Farza dengan nada kesal. Dia benar-benar lelah menghadapi semuanya. Baik Fikri maupun Agral, keduanya terlalu melelahkan batinnya.
"Gue nggak sengaja lihat lo keluar dari apartemen, jadi iseng gue ikutin saja. Gue kira lo bakal keluar sama Fikri, tapi ternyata sendiri. Dan barang-barang ini, lo mau bawa ke mana? Lo diusir sama Fikri?"
Farza memilih diam, enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Agral. Terserah saja pria itu ingin beranggapan apa. Farza tidak peduli. Dan enggan peduli lagi.
"Kan benar kata gue. Gue bilang juga apa, Za. Pasti dia nggak akan mau bertahan sama lo, orang yang nggak dia cinta. Buktinya sekarang lo diusir kan sama dia?"
Farza tak menghiraukan semua ucapan Agral. Perempuan itu memilih untuk tetap berjalan ke depan. Sebab kini tujuan hidupnya hanya Farras, dia sudah enggan mendengarkan apapun yang keluar dari mulut Agral maupun Fikri, jika suatu saat mereka kembali bertemu. Baginya, semuanya telah usai.
"Sekarang lo mau ke mana? Lo punya tujuan?" tanya Agral.
"Mau nyari kontrakan paling. Kenapa? Nggak usah sok peduli, Gral. Lo bahkan lebih buruk dari Fikri."
Farza kembali berjalan tanpa menghiraukan Agral. Namun, pria itu justru menghentikan langkahnya. Menarik pergelangan tangannya, dan mengambil alih koper serta tas yang ia bawa. Pria itu menggiring Farza ke dalam mobilnya yang terletak tidak jauh dari keduanya.
"Lo mau bawa gue ke mana? Gral, tolong, gue capek. Gue sudah nggak mau ada apa-apa lagi sama lo. Lo cukup tahu kalau Farras anak lo, sudah. Silakan pergi dari hidup gue. Gue nggak butuh belas kasihan dari lo."
Agral menarik napasnya pelan. Pria itu menatap sejenak wajah Farza. Terlihat jelas kalau perempuan itu teramat lelah. Agral mencoba mengerti dan berusaha untuk tidak mendebat Farza, namun pria itu tetap berusaha membawa Farza pergi bersamanya.
"Masuk saja, Za. Udaranya lagi panas, kasihan Farras."
**
Agral membawa Farza beserta Farras ke sebuah rumah yang berjarak lumayan jauh dari tempat tinggalnya dulu bersama Fikri. Rumah yang tidak terlalu luas, namun sangat nyaman untuk ditinggali bersama putra kecilnya.
"Ini rumah yang sengaja gue beli sejak gue putusin buat nyari lo dan Farras. Gue berencana buat nikahin lo, dan tinggal di sini. Tapi, balik lagi semua keputusan ada di lo, Za," ungkap pria itu.
Farza tertegun melihat pemandangan di depannya. Sebuah rumah yang Agral siapkan untuknya, benarkah? Dalam hati, Farza berandai-andai. Seandainya pria di sampingnya itu sejak awal tidak melarikan diri, seandainya tanpa penolakan Agral bersedia bertanggung jawab, pasti dia tidak perlu melalui semua ini.
Dia tidak perlu terpaksa menikah dengan Fikri. Dia tidak perlu berjuang dengan kehamilannya seorang diri. Dia tidak perlu jatuh cinta pada pria yang tak mencintainya. Dan paling penting, dia tidak akan membenci Agral dan menolak kehadiran pria itu.
"Lo telat, Gral. Entah ini semua benar atau cuma kebohongan lo doang, lo sudah benar-benar terlambat. Gue sudah terlanjur benci sama lo."
Perempuan itu menghembuskan napas panjang. Berbalik menghadap Agral yang ternyata sejak tadi tengah menatapnya. Bagi Farza, sekarang ini bukan waktu untuk mengulang kisah lalu. Dan menerima Agral kembali, bukanlah keputusan yang tepat.
"Gue cukup berterimakasih lo mau datang, dan mengakui kalau Farras anak lo. Tapi buat mengulang kisah sama lo, itu nggak akan terjadi. Toh sejak awal lo yang memilih pergi, jadi, silakan pergi kembali. Dan rumah ini, gue tolak. Terimakasih buat niat baiknya, Gral."
Agral menahan lengan Farza, ketika perempuan itu hendak memilih pergi lagi. Jujur saja, pria itu pun merasa menjadi manusia yang bodoh. Dia terlalu takut untuk bertanggung jawab, dulu. Tapi sekarang, ketika dirinya menyesali semuanya, perempuan di depannya telah membencinya.
"Gue mohon, Za. Untuk rumah ini, setidaknya lo terima. Kalau lo nggak mau nerima kehadiran gue lagi di hidup lo, gue nggak apa-apa. Tapi tolong terima pemberian gue. Anggap ini buat Farras, dari Ayah kandungnya yang terlalu pengecut buat bertanggung jawab atas dia. Gue mohon, Za."
Farza menatap putranya yang tertidur dalam dekapannya. Apakah dia terima saja demi putranya? Demi memberikan tempat pulang yang nyaman bagi putranya?.
Farza mengangguk sembari berucap, "Buat Farras kan? Gue terima. Terimakasih."
Agral tersenyum lega mendengarnya. Walaupun harapannya untuk mencipta keluarga kecil bersama Farza dan Farras harus pupus, setidaknya dia bisa sedikit memberikan sesuatu hal pada putranya, meski tidak akan cukup untuk menebus kesalahannya.
"Oh iya, Za. Tiga hari lagi gue berangkat ke Amerika. Gue sudah terlalu lama ninggalin bisnis dan kuliah gue di sana. Gue nggak mau jatuh miskin, ada Farras yang harus gue nafkahin," ujarnya.
"Terus? Pamit ceritanya? Hidup-hidup lo, ngapain coba kasih pengumuman ke gue?" tutur Farza sedikit sinis.
"Sinis amat, Bu. Gue cuma mau memastikan kalau lo benar-benar nggak mau hidup sama gue, Za. Siapa tahu lo berubah pikiran, lo hubungin gue. Gue akan bawa lo dan Farras ke Amerika juga. Itu kalau lo berubah pikiran, Za, dan mau memulai hidup baru sama gue."
_____
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.
Kira-kira Farza akan ikut Agral atau nggak nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]
RomanceAku terjebak dalam satu kondisi, di mana raga ku bersama mu, namun hatiku menjadi miliknya. Haruskah ku terima kamu dengan lapang? Sedang hatimu pun menjadi milik orang lain. Kita berdua terikat dalam sebuah pernikahan, yang hanya ada keterpaksaan...