BAB XV (Berdamai)

1.8K 140 11
                                    

Segala sesuatu berjalan sesuai dengan niat dalam hatimu. Untuk itu, mulailah segala hal dengan niat baik dan tulus dari hati.

_____

Setelah pulang berbelanja perlengkapan calon anaknya, Farza mulai sibuk menata barang yang baru ia beli ke dalam lemari. Beruntungnya, lemari di kamarnya cukup besar, jadi cukup muat untuk pakaiannya dan perlengkapan calon anaknya.

Sedangkan Fikri? Pria itu sedang berleha-leha di atas kasur milik Farza, membuat si empunya sesekali menggerutu.

"Gue kira lo marah sama gue, Fik," ungkap Farza memulai percakapan di antara mereka. Fikri menopang dagunya sembari menatap Farza dengan ekspresi wajah penuh tanya.

"Ya, lo tahu tentang ucapan gue kemarin. Soal, cerai." Fikri mengerti arah pembicaraan Farza.

"Gue nggak marah, cuma sedikit sebel mungkin sama lo. Gue pengen lo tahu satu hal, Za. Ketika lo lihat dunia hanya dengan satu kacamata, yaitu kacamata yang lo punya, lo akan selalu merasa kalau dunia cuma berputar di sekitar lo. Tapi kalau lo mau mencoba memahami bagaimana kacamata milik orang lain, lo akan paham kalau dunia akan tetap baik-baik saja kalaupun lo nggak ada."

Fikri benar, selama ini dia terlalu merasa kalau semesta hanya berpusat padanya. Dia terlalu banyak menuntut pada takdir, tanpa mau berkaca kalau sekalipun dia tidak ada di muka bumi ini, takdir manusia akan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

"Gue tahu, gue mungkin kadang terlalu nyebelin buat lo, Za. Tapi bagaimanapun, mau atau nggak, lo punya gue sekarang. Jadi tolong, dengerin ocehan suami lo ini walaupun kadang nggak berguna."

Farza menghentikan aktifitasnya, perempuan itu beralih menatap Fikri lekat. Dia tahu, pria di depannya adalah pria yang baik. Tapi Farza bisa apa, ketika dirinya terjebak hidup bersama pria sebaik Fikri, namun hatinya terbang mengikuti Dilfa ke manapun pria itu pergi.

"Kalau seandainya hubungan kita akan tetap kaya gini, lo masih akan bertahan sama rumah tangga ini, Fik?" tanya Farza. Fikri menghembuskan napasnya pelan sebelum menjawab pertanyaan dari Farza.

"Tuhan tahu yang terbaik buat umat-Nya. Ya kita nggak ada yang tahu, hari ini lo tergila-gila sama Dilfa, tapi siapa tahu besok lo cinta mati sama gue kan?" ledek Fikri yang dibalas tatapan sinis oleh Farza.

"Gue serius, Fik. Gue tanya ini bukan karena gue masih cinta sama Dilfa. Tapi karena gue tahu, siapapun pasti berat menerima seorang anak yang bukan darah daging dia sendiri, Fik."

"Kata siapa?" tanya Fikri.

"Bunda, dulu waktu Aludra hadir di tengah keluarga gue."

Fikri mendekat pada Farza yang tengah terduduk di depan lemari, setelah membereskan perlengkapan untuk anaknya nanti. Pria itu mengambil posisi duduk tepat di depan Farza.

"Setiap orang punya cara berpikir yang berbeda, dan punya hati yang berbeda, Za. Lo nggak bisa samain cara berpikir dan perasaan gue dengan Bunda lo. Gue berusaha sebaik mungkin buat nerima anak lo di hidup gue. Jadi gue mohon, ayo sama-sama berusaha di rumah tangga ini," ajak Fikri padanya.

"Tapi lo sendiri yang bilang, lo nikahin gue cuma karena lo nggak mau gue gangguin kehidupan Aludra sama Dilfa lagi?"

"Ya, memang. Gue nggak mungkin menyangkal. Tapi Aludra bilang dia pengen lihat gue bahagia, dan dia juga pengen lihat lo bahagia. Jadi, ayo kita cari bahagia kita sama-sama, Za. Walaupun nantinya baik gue atau lo nggak saling cinta, setidaknya kita menjalani hidup yang baik-baik saja."

Fikri telah sampai pada kesimpulan dan keputusan yang begitu besar. Bahwa pria itu hanya ingin kehidupan berjalan dengan damai, baik hidupnya maupun hidup Farza. Itulah mengapa, Fikri akan kembali memulai.

"Gue terlalu berambisi beberapa bulan ke belakang. Berambisi buat jauhin lo dari Dilfa, berambisi supaya lo bisa lupain Dilfa. Tapi gue nggak pernah berpikir, kalau gue juga perlu buat lupain Aludra. Bukan lupain sosoknya, tapi lupain perasaan gue ke dia. Dan gue baru sadar itu, setelah ucapan lo kemarin. Gue terlalu memaksakan sesuatu hal ke orang lain, yang bahkan diri gue belum mampu buat lakuin itu."

Fikri tidak menyesali apa yang dirinya lakukan selama ini. Hanya saja, Fikri ingin itu semua cukup sampai hari kemarin saja. Dia tetap ingin membuat Aludra bahagia, tapi dia juga tidak ingin membuat dirinya kembali berpusing ria.

"Lalu Aludra?" tanya Farza. Sebuah pertanyaan hanya dengan menyebutkan sebuah nama, namun mampu mencipta seribu pikiran dalam kepala Fikri.

"Gue tetap berusaha buat jaga kebahagiaan dia. Gue tetap berusaha untuk itu, karena dari awal tujuan gue itu. Tapi, dengan cara yang berbeda, setidaknya mulai hari ini. Kemarin, gue berusaha jaga kebahagiaan Aludra dengan mengorbankan kebahagiaan gue. Tapi hari ini, gue menjaga kebahagiaan dia sembari mencari kebahagiaan gue. Dan gue juga berharap lo bisa seperti itu, Za."

Bisa seperti itu? Sebuah pertanyaan sederhana, namun terasa berat bagi Farza. Melakukan hal seperti yang Fikri katakan, agaknya terlalu sulit untuknya. Dia harus belajar menerima terlebih dahulu, sedangkan itupun masih terasa sulit.

"Tapi sulit, Fik." Fikri mengangguk, memang sangat sulit. Dulu, ketika Aludra baru saja menikah semuanya pun terasa sulit untuknya. Dulu, ketika Aludra perlahan jatuh cinta pada Dilfa, pun kembali terasa sulit untuknya. Dan Fikri butuh waktu cukup lama untuk berdamai dengan itu semua.

"Gue nggak akan minta lo langsung menerima semuanya gitu saja. Setidaknya, lo harus mencoba perlahan. Berusaha sedikit demi sedikit. Dan lo harus percaya sama diri lo, kalau lo pasti suatu saat akan bisa menerima kalau Dilfa memang bukan buat lo, Za."

Farza menatap tepat di manik mata Fikri. Di sana, Farza menemukan keyakinan dan dukungan. Dia tidak lagi melihat api kebencian di mata Fikri yang ditujukan padanya. Tapi hari ini, dia menemukan kedamaian di kedua bola mata itu.

"Dulu lo seperti itu juga ketika Aludra mulai bahagia sama Dilfa?" Fikri mengangguk lagi. Pria itu tersenyum kecil.

"Butuh waktu lama buat nerima itu semua. Tapi gue selalu yakinin diri gue, kalau memang itu kebahagiaan Aludra. Dan gue sama sekali nggak berhak untuk merusak kebahagiaan itu, hanya karena gue cinta sama dia. Sebab gue percaya, cinta gue ke dia murni sebuah cinta, bukan obsesi untuk memiliki. Jadi, sekalipun cinta gue nggak berbalas, gue akan baik-baik saja asalkan dia bahagia. Karena belum tentu bersama gue, dia akan sebahagia ketika dia bersama Dilfa."

Banyak orang di luar sana yang terluka sebab cinta, dan dilukai oleh orang yang dicinta, ataupun oleh orang yang mencinta. Itulah kenapa, kebahagiaan banyak sumbernya. Sebab cinta, tidak selalu datang membawa bahagia.

"Gue tahu lo pasti bisa, Za. Sekali lagi, kalaupun sampai nanti atau selamanya kita nggak hidup di bawah atap yang sama sebab cinta, setidaknya kita bahagia bersama."

Itulah kalimat penutup dari Fikri, sebelum pria itu melenggang pergi memasuki kamar tidurnya sendiri. Meninggalkan Farza yang termangu meresapi setiap kalimat yang pria itu lontarkan.

Semakin lama mengenal Fikri, semakin Farza merasa kalau Fikri memang pria yang baik. Dan semakin Farza merasa pula, banyak hal positif yang dia dapatkan dari pria itu. Dan juga, perlahan meski harus merangkak, Farza bersedia mulai menerima.

Seperti yang Fikri katakan, dunia tidak hanya berputar di sekelilingnya saja. Orang lain akan tetap hidup meski dirinya tidak ada. Itulah kenapa, setidaknya dia harus membuat hidupnya berharga untuk dirinya sendiri.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang