Rasanya mencintai namun tidak dihargai? Sebenarnya bukan tidak dihargai, tapi kamu yang membuat cintamu tak berharga lagi. Dia pergi sebab kamu yang meminta, tapi dia tidak akan kembali meski kamu bersujud di kakinya.
_____
Matahari pagi masuk melalui celah-celah gorden, mengusik ketenangan seseorang yang masih setia meringkuk di balik selimut tebal. Tak menghiraukan seorang manusia yang merasa terganggu, matahari terus saja memancarkan sinarnya, menyilaukan mata.
Fikri bangkit dari tidurnya, mengucek mata berkali-kali. Matanya perlahan melirik ke sebuah jam kecil di atas nakas samping tempat tidurnya. Hampir lewat pagi hari jika dia mengucapkan selamat pagi, tapi belum juga beranjak siang hari untuk mengucapkan selamat siang.
Masa cutinya usai hari ini, esok dia harus mulai bekerja kembali. Rasanya dia ingin menghabiskan masa liburnya dengan tidur dan rebahan saja di kamar, tapi lagi dan lagi ada yang mengusik ketenangannya. Kali ini bukan sang matahari, melainkan seorang perempuan yang beberapa hari terakhir selalu menyulut emosi.
Suara barang-barang berjatuhan membuat Fikri keheranan, apa yang tengah perempuan itu lakukan? Untuk beberapa lama, Fikri hanya diam di kamar sembari mendengarkan. Berulang kali Farza mengeluarkan sumpah serapah, setelahnya ada saja bunyi-bunyi kegaduhan. Tak tahan, pria itu bangkit dan mencari asal kegaduhan itu.
"Mau ngapain lo?" Tuh kan, masih pagi lho ini. Tapi Fikri sudah dibuat sewot saja oleh kelakuan Farza. Perempuan itu membuat suara-suara keributan dari dapur.
"Nyari makan!" jawab Farza tak kalah sewotnya. Terkadang Fikri berpikir, apakah bisa dua orang yang tidak akur sama sekali ini hidup berdampingan? Apakah bisa dua orang kepala batu itu hidup berumah tangga? Apakah bisa dua orang yang saling menyulut emosi membersamai?
"Terus? Ada?" Fikri tidak yakin ada makanan di apartemennya itu. Sebab sebelumnya, pria itu hanya menempati apartemennya satu minggu dua kali. Selebihnya dia tinggal bersama Ibunya. Pria itu masih diam memerhatikan, hingga matanya menyipit kala Farza menerbitkan senyum senang. Di tangan wanita itu ada beberapa mie instan. Ah iya, Fikri lupa. Dia selalu menyimpan mie instan di apartemennya.
"Jangan dimakan," peringat pria itu. Farza hanya meliriknya sekilas, tidak peduli dengan ucapan pria itu. Dia lapar, dan ingin makan. Berhubung dia tidak tahu Bandung dan sekitar apartemen Fikri, dia tidak ingin mengambil resiko keluar mencari makan, lalu lupa jalan pulang.
"Gue bilang jangan di makan," peringatnya lagi masih dengan nada yang datar dan ekspresi yang begitu malas. Farza tak mengindahkan, perempuan itu terus sibuk dengan kegiatannya. Mondar mandir membaca instruksi memasak di balik kemasan. Itu, pertama kalinya bagi Farza memasak meski hanya sekadar mie instan.
"Aish!" Gemas sebab ucapannya tidak dihiraukan, Fikri mematikan kompor dan mengambil sebungkus mie yang akan Farza masak. Farza yang kaget dengan apa yang Fikri lakukan, hanya membulatkan matanya dengan wajah yang menahan sebal.
"Sekarang mau makan aja dilarang? Nanti gue ganti itu mie! Siniin!"
"Lo boleh egois sama kehidupan orang lain. Lo boleh nggak peduli sama orang lain. Tapi harusnya lo peduli sama anak yang lo kandung. Lo kira makan ginian sehat buat anak lo? Sekolah tinggi kok ginian doang nggak tahu!" Farza diam. Tidak mampu melawan apa yang Fikri katakan.
"Ikut gue." Fikri menarik lengan Farza, menggiring langkah perempuan itu untuk mengekor di belakangnya. Sontak hal itu membuat Farza bertanya-tanya kebingungan.
"Mau ke mana?"
"Katanya mau makan? Gitu aja masih nanya. Heran."
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]
RomanceAku terjebak dalam satu kondisi, di mana raga ku bersama mu, namun hatiku menjadi miliknya. Haruskah ku terima kamu dengan lapang? Sedang hatimu pun menjadi milik orang lain. Kita berdua terikat dalam sebuah pernikahan, yang hanya ada keterpaksaan...