BAB V (Dendam)

2.4K 176 7
                                    

Tak henti aku ingatkan, bahwa dunia tak akan selalu baik padamu. Pun tak akan selalu menyiksamu. Tapi semesta itu adil. Sakit yang kamu beri pada orang lain, suatu saat pun kamu akan merasakan.

_____

"Ih nyebelin deh!"

Tengah hari Farza dibuat kerepotan. Sebab dia lapar, dan harus membuat makanan sendiri. Fikri sudah mulai bekerja, hanya dia seorang di apartemen. Mau tidak mau, dia harus menyiapkan makan sendiri. Fikri melarangnya memesan makanan dari luar, dia harus memasak. Sedangkan dia tidak bisa memasak.

"Ini gimana sih caranya goreng telur?"

Berulang kali perempuan itu mengeluarkan keluhan-keluhan dengan penuh emosi. Farza memang bukan perempuan yang sabar, juga dia tidak pernah melakukan hal-hal seperti yang tengah dilakukannya sekarang.

Setengah mati berusaha bisa menggoreng telur, dengan menonton video memasak, perempuan itu semakin mengoceh kala telur yang tengah dia masak gosong dan berubah warna menjadi coklat yang hampir kehitaman.

"Bodo amat deh, yang penting makan."

Dengan berat hati, Farza menyuapkan nasi beserta telur goreng yang gosong itu. Dengan sangat terpaksa, dia mengunyah dan menelannya. Dalam hati, Farza berandai-andai. Andai saja dia masih menerima uang bulanan dari sang Ayah, andai saja dia masih bisa bersifat manja pada sang Bunda. Dia, tidak akan merasakan hal seperti sekarang ini.

"Hueekk, nggak enak!" rengeknya. Perempuan itu berjalan cepat menuju wastafel, memuntahkan kembali makanan yang susah payah ia telan. Pertama kalinya, dia merasakan sesusah ini untuk makan. Pertama kalinya bagi seorang Farza, dia merengek sebab lapar.

"Hidup sama lo nyiksa banget sih, Fikri!" teriaknya seolah Fikri ada di depannya. Padahal, meskipun dia berteriak sekeras yang dia bisa, Fikri tak akan mampu mendengarnya. Beribu keluhan yang dia keluarkan, hanya mampu diratapi seorang diri. Tidak ada yang mendengar, pun tidak ada yang peduli.

**

"Lo kenapa?" tanya Fikri. Pria itu baru pulang bekerja, lalu mendapati Farza tengah bergelung di ruang depan dengan selimut yang amat tebal. Wajahnya pucat pasi, keringat mengucur dari dahi. Fikri sejenak dibuat kaget, tapi hanya sejenak. Tak lama, pria itu kembali acuh pada Farza.

"Gue.. Gue belum makan seharian. Terus.. Terus badan gue jadi nggak enak banget."

Fikri mengerutkan dahinya, menatap Farza bingung. Belum makan seharian? Lalu pria itu berjalan menuju dapur, membuka lemari pendingin yang berada di sana. Dahi pria itu semakin mengkerut. Semua bahan makanan masih utuh.

"Bahan makanan banyak, tinggal di masak. Kenapa belum makan seharian?" tanya Fikri. Farza bangkit dari tidurnya dengan susah payah. Perempuan itu menggerutu sebal. Bagaimana bisa makan kalau dia saja tidak bisa memasak?

"Gue kan udah bilang kalau gue nggak bisa masak!"

"Oh," sahut pria itu sembari mengangguk. Namun dari raut wajah yang dia tunjukkan, sangat amat acuh dan tidak peduli. Dan itu, semakin membuat Farza kesal. Sayangnya, Farza tidak memiliki cukup tenaga untuk berdebat dengan Fikri. Perempuan itu kembali membaringkan badannya.

"Tidur nggak bikin kenyang!" ucap Fikri.

"Biarin! Siapa tahu mimpi makan! Nggak usah sibuk gangguin orang deh!"

Fikri mengedikkan bahunya acuh. Pria itu berjalan menuju kamarnya, beranjak membersihkan diri setelah seharian bekerja. Kepalanya terasa penat, pekerjaannya menyita banyak pikiran dan tenaganya. Lalu saat pulang, seseorang yang kini hidup bersamanya semakin terasa menambah bebannya. Salahnya memang.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang