Bukan sepenuhnya karena cinta, hanya saja dia terlalu sempurna. Tanpa ragu dia bersedia menerima. Tanpa banyak pertimbangan, dia bersedia menjadi pijakan. Sepenuhnya, karena dia istimewa.
_____
Farza termenung di sebuah taman dekat tempat tinggalnya. Sesekali dia menepuk pelan putra kecilnya, yang tengah terlelap dalam dekapannya. Sudah beberapa hari berlalu, namun perihal masalah rumah tangganya belum kunjung usai.
Perempuan itu paham dengan sangat, bahwa pria yang kini bersanding dengannya bukan pria yang jahat. Hanya saja, dia enggan tenggelam dalam sebuah hubungan yang nantinya berakhir menyakitkan.
"Ini ya, Al, yang lo rasain dulu? Apa ini karma buat gue Al? Gue mulai ngerasa, kalau semua ini buah dari jahatnya gue dulu ke lo, Al," lirihnya.
Dan pada akhirnya Farza menyadari, bahwa setiap hal yang dirinya lakukan pastilah mendatangkan balasan. Dulu, dia menaruh Aludra pada posisi sepertinya sekarang ini, dan kini dia merasakannya. Sungguh, sangat amat tidak menyenangkan.
"Al, gimana cara lo dulu lewatin semua ini, Al? Gue pengen bisa sesabar lo, gue pengen bisa seikhlas lo, gue pengen bisa kaya lo, Al. Bisa kasih tahu gue, kalau gue jadi kaya lo apa Fikri akan mau ngasih sedikit saja hatinya buat gue?"
Farza terus bermonolog, seolah-olah seseorang akan menimpali setiap kalimat yang terlontar darinya. Sesekali perempuan itu memandang birunya langit, berharap mendapatkan jawaban dari seseorang yang telah damai di atas sana.
"Lo nggak akan bisa dapatin hati seseorang kalau lo jadi orang lain, Za."
Farza berbalik, menatap seorang pria yang selalu saja ada di manapun dan kapanpun dirinya berada. Seseorang yang membuat kehidupan rumah tangganya kacau balau seperti sekarang ini.
"Lo tuh kenapa sih, Gral, selalu ada di mana saja?"
Pria itu terkekeh pelan, lalu menghampiri Farza dan terduduk di sebelah perempuan itu. Dia menatap bayi laki-laki dalam dekapan Farza sejenak.
"Kan gue sudah bilang, Za, gue akan selalu ada di manapun lo dan anak gue ada."
Farza diam tak menanggapi perkataan Agral. Jujur saja, dia merasa marah. Sebab kehadiran pria di sampingnya, justru membuat semuanya bertambah runyam. Kehadiran Agral, justru mencipta kebimbangan tanpa jalan keluar.
"Apa lagi sih, Za, yang lo pertimbangin? Gue sudah ada di sini, gue pastiin akan bertanggung jawab penuh atas lo dan anak kita. Tapi kenapa lo malah kebingungan kayak gini?" tanya Agral.
Tak ada yang lebih mengagetkan dan membuat Farza tak siap, selain kembalinya Agral. Perempuan itu telah berusaha sekian lama, hidup tanpa mencari tahu keberadaan pria di sampingnya itu. Farza telah berusaha keras, hidup dengan Fikri hingga akhirnya dirinya terbiasa. Namun, kembalinya Agral justru menghancurkan semuanya.
"Lo sadar nggak sih, dengan datangnya lo lagi ke hidup gue, justru bikin hidup gue tambah kacau? Gue sudah cukup tenang jalanin hidup gue, Gral. Gue sudah cukup bahagia dengan semua yang terjadi, sebelum lo datang lagi."
"Yakin lo bahagia, Za? Yakin lo bahagia sama laki-laki yang dihatinya cuma ada satu nama, dan itu bukan lo, Za? Lo mau sampai kapan nyiksa diri lo sendiri kayak gini sih? Hah?" tanya Agral bertubi-tubi, yang membuat Farza bungkam sejenak.
"Lo ke mana waktu gue hamil, Gral? Lo ke mana waktu Farras lahir? Lo datang seenaknya ketika gue sudah memulai kehidupan yang baru. Lo pikir lo nggak berkontribusi nyiksa batin gue?"
Farza berusaha menahan air mata yang hendak keluar. Perempuan itu mendekap Farras kian erat. Dalam hati, dia merasa bersalah pada putranya. Bayi kecilnya, selalu saja dia libatkan dalam permasalahan hatinya.
"Gue mungkin nggak bahagia, iya. Gue mungkin tersiksa, iya. Karena harus hidup satu atap sama seseorang yang bahkan nggak ada sedikitpun perasaan buat gue. Lo benar, Gral, gue manusia biasa, gue juga ngerasa sakit."
Farza menarik napasnya pelan, sebelum kembali melanjutkan perkataannya. Rasanya sangat sulit untuk membendung semuanya. Berhari-hari dirinya bungkam, namun sekarang, dia benar-benar sudah tak tahan.
"Tapi satu yang harus lo tahu, Gral. Dia, dia pria yang mau dan sudi bertanggung jawab atas gue dan anak gue. Dia yang ada di samping gue, ketika seluruh dunia seolah menghina dan mencaci gue. Dia yang ada di samping gue, bukan lo!"
Farza benar. Fikri yang berdiri di sampingnya, ketika dia membutuhkan seseorang untuk menjadi temannya. Meski semuanya berawal kurang baik, tapi pada akhirnya baik dirinya maupun Fikri bersedia saling menerima.
"Tapi dia nggak akan pernah cinta sama lo, Za! Lo yakin mau hidup selamanya sama dia, sedangkan dia nggak pernah ada hati sama lo?"
Farza tahu. Perempuan itu mengerti, segala resiko dari setiap tindakan yang dia ambil. Jika bertahan dengan Fikri, mungkin selamanya dia akan hidup di bawah bayang-bayang Aludra, wanita yang Fikri cinta.
Tapi jika dia memilih bersama Agral, dia tidak mampu membohongi hatinya sendiri bahwa dia mencintai Fikri. Walaupun bersama Agral, dia mampu menghadirkan seorang Ayah kandung untuk putranya. Tapi tetap saja, dia tidak menginginkannya.
"Gue nggak masalah, Gral. Toh dari awal, memang keadaan gue dan Fikri sudah kayak gini. Dari awal, kita memang nggak pernah ada perasaan satu sama lain. Gue saja yang terlalu larut sama dia, sampai akhirnya gue naruh hati sama dia. Tapi setidaknya, dia bersedia menerima gue dan Farras."
Agral mengacak pelan rambutnya mendengar jawaban dari Farza. Perempuan itu masih sangat keras kepala. Perempuan itu masih tetap berdiri kokoh di atas keinginannya, tanpa menghiraukan teriakan orang yang melarangnya.
"Za, gue mohon. Ini bukan saatnya lo keras kepala kayak gini, Za. Gue tahu dia mau nerima lo, tapi apa lo tega biarin Farras besar di tengah-tengah lo dan Fikri yang hatinya nggak pernah jadi satu? Za, Fikri tuh cintanya sama orang lain. Ayolah, Za, jangan nyiksa diri lo kaya gini."
Dengan semua pertimbangan yang ada, dengan semua resiko yang telah dirinya perkirakan sebelumnya, Farza telah memilih. Dia akan melanjutkan semuanya, dan akan melihat sendiri bagaimana akhirnya nanti. Jikapun tidak berakhir seperti yang dirinya inginkan, setidaknya dia telah mencoba.
"Gue lebih baik hidup sama orang yang hatinya bukan buat gue, tapi dia sejak awal bersedia menerima segala kurang dan salahnya gue. Daripada gue harus hidup sama lo, yang memilih pergi dari gue saat seharusnya lo bertanggung jawab atas semua yang terjadi dalam diri gue," jawabnya.
Agral tertegun mendengar jawaban dari Farza. Dia tidak pernah menyangka, Farza akan berani mengambil keputusan sedemikian rupa. Dan separuh dari dirinya, merasa bersalah sekaligus kecewa.
"Tapi apa lo yakin kalau Fikri masih akan mempertahankan lo? Bisa saja, sekarang dia berubah pikiran, Za."
"Gue nggak peduli."
Farza bangkit dari duduknya, berbalik arah memilih pergi. Semuanya, telah dia putuskan, walaupun dia tidak tahu pasti akan seperti apa akhir dari semua ini. Namun langkahnya terhenti, tatkala matanya bertemu pandang dengan pria yang hanya berjarak lima langkah darinya.
"Fikri," gumam Farza.
_____
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.
Ada yang kangen? Hihi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]
RomanceAku terjebak dalam satu kondisi, di mana raga ku bersama mu, namun hatiku menjadi miliknya. Haruskah ku terima kamu dengan lapang? Sedang hatimu pun menjadi milik orang lain. Kita berdua terikat dalam sebuah pernikahan, yang hanya ada keterpaksaan...