BAB IX (Nasihat Tulus)

2K 154 7
                                    

Mengalah pada ego. Berusaha keras membangun sabar yang tinggi. Sebab lelaki yang baik harusnya paham, bahwa wanita tidak bisa diluruskan dengan paksa.

_____

"Siap-siap, Za!" perintah Fikri. Pria itu tengah mematut dirinya di depan cermin, sembari menata rambutnya sedemikian rapi. Sesekali dirinya bergumam, apakah yang ia kenakan hari ini semakin membuat dirinya terlihat tampan?

"Mau ke mana? Bukannya lo lagi marah sama gue?" Fikri menghela napas panjang mendengar pertanyaan Farza. Perihal kemarin, berusaha Fikri redam dan tak ingin ia ingat lagi. Namun Farza justru mengungkitnya.

"Ke tempat di mana lo bisa belajar. Buru!"

Sedikit menggerutu, Farza bangkit dari duduk santainya. Perempuan itu bergegas bersiap-siap, menuruti perintah Fikri meski terasa amat malas dan berat. Tapi jujur saja, sikap marah yang Fikri tunjukan kemarin, berhasil membuat Farza sedikit jinak. Setidaknya, ada perubahan dalam diri perempuan itu meski sedikit.

**

"Rumah siapa, Fik?" tanya Farza yang sama sekali tidak mendapat jawaban dari Fikri. Pria itu justru berjalan mendahului Farza, mengetuk pintu sebuah rumah sebanyak tiga kali. Hingga seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu tersebut.

"Lho, kamu ke sini, Nak? Sama siapa? Tumben?"

"Sama Farza, Bu. Tuh! Katanya dia mau belajar jadi istri yang baik dari Ibu," jawab Fikri sembari menunjuk ke arah Farza yang berdiri sedikit lebih jauh darinya dan sang Ibu. Ibu pria itu tersenyum hangat, kemudian melambaikan tangannya pada Farza supaya mendekat.

"Sini, menantu Ibu!" panggil wanita paruh baya itu. Sedangkan Fikri memilih melenggang masuk ke kediaman Ibunya itu. Membiarkan Farza memiliki waktu berdua dengan Ibunya. Fikri pikir, mungkin dengan cara seperti ini Farza sedikit demi sedikit mampu meninggalkan sifat manjanya itu.

"Gimana kabarnya, Bu?" tanya Farza sembari menyalami Ibu mertuanya. Meski perasaannya campur aduk, sebab ini pertama kalinya bagi Farza mengunjungi kediaman Ibu mertuanya itu. Dan juga, kedatangannya yang sama sekali tidak ada persiapan.

"Ibu baik, Nak. Nak Farza sendiri gimana? Keadaan calon cucu Ibu gimana?" tanya Ibu sangat antusias. Untuk sepersekian detik, Farza termangu. Perempuan itu, entah apa yang ia rasakan ketika Ibu mertuanya menyebut anak dalam kandungannya sebagai cucunya.

"Hm, sehat, Bu. Kami sehat," jawab perempuan itu. Ibu dari suaminya itu mengembangkan senyum, senyum yang begitu ramah dan hangat. Sekilas Farza menelisik, Fikri sama sekali tidak seramah Ibunya. Anak dan Ibu yang berbeda, bagi Farza.

"Harus sehat, ya. Ya sudah, ayo masuk. Ibu baru mau masak, Fikri nggak ngabarin Ibu kalau kalian mau ke sini. Jadi Ibu nggak nyiapin apa-apa, Nak," ujar Ibunya.

Justru Farza yang merasa tidak enak, sebab datang mengunjungi Ibu mertuanya dengan tangan kosong. Walaupun bengal, Farza masih memiliki tata krama kepada orang yang lebih tua. Walaupun, sedikit.

"Harusnya aku, Bu, yang minta maaf. Kita ke sini mendadak, nggak bawa apa-apa buat Ibu. Maaf ya, Bu?"

Mendengar ucapan Farza yang begitu halus pada Ibunya, Fikri mencibir. Mana pernah perempuan itu terlihat lembut di matanya? Pasti yang dia lakukan sekarang hanya sebuah pencitraan. Begitu kiranya prasangka dalam hati Fikri.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang