Seperti ada yang hilang, seperti ada yang kurang. Apakah ini sebuah bukti nyata, jika perihal kamu telah membuatku terbiasa? Apakah ini realita yang harus aku terima?
_____
Fikri mengembuskan napasnya kasar. Pria itu menatap langit-langit kamarnya. Kediamannya terasa sunyi. Tidak ada lagi rengekan Farras. Juga, tidak ada lagi suara-suara Farza yang terkadang mengganggunya.
Satu hari berlalu. Baru selama itu dia sudah merasa kosong. Terkadang, Fikri merasa bingung dengan dirinya sendiri. Logikanya terus berkata bahwa dia ingin tetap bersama Farza sebab permintaan dari Aludra.
Namun, hatinya berkata lain. Hatinya seolah benar-benar kehilangan sosok perempuan itu. Kekosongan yang kali ini ia rasakan bukan karena sunyinya kediamannya itu. Tapi, sebab tidak ada lagi Farza di sisinya.
"Apa benar gue yang nggak sadar kalau ternyata gue juga suka sama Farza?" lirihnya. Namun sekali lagi, Fikri berusaha menepis prasangka tersebut. Sebab menurutnya, sampai detik ini hatinya masih milik Aludra seorang.
"Lo tahu kan, Al, seberapa cinta dan sayangnya gue sama lo? Jadi nggak mungkin gue bisa naruh hati ke Farza," gumamnya seorang diri.
Fikri bangkit dari tidurnya. Pria itu membuka gorden kamarnya. Membentangkan pemandangan kota yang selalu berhasil menenangkan hati dan pikirannya kala bergejolak.
"Entah keputusan apa yang nanti bakal gue ambil, gue harap lo selalu dukung gue dari atas sana ya, Al. Kalaupun nantinya gue nggak bisa menuhin permintaan lo, gue minta maaf. Dan kalau ternyata gue yang bodoh karena terlambat sadar sama perasaan gue sendiri, gue harap rasa penyesalan gue nggak sedalam kayak penyesalan gue ke lo, Al."
Akhir kalimatnya, pria itu tersenyum sembari menatap langit biru yang indah di atas sana.
**
Fikri menatap penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangannya. Sesekali pria itu menatap ke layar ponsel miliknya. Lima belas menit berlalu, seseorang yang dia tunggu akhirnya muncul di ambang pintu cafe dekat apartemennya.
"Gue nggak mau basa-basi. Nggak ada waktu buat ngobrol banyak sama lo," ucap seseorang itu. Fikri menatap Agral dengan ekspresi datar.
Agral menghubunginya beberapa waktu yang lalu, meminta untuk bertemu dengannya saat itu juga. Kalau saja pria itu tidak berkata bahwa dia bersama dengan Farza, Fikri sangat enggan untuk bertemu dengannya.
"Mana Farza?" tanya Fikri.
"Ada. Aman sama gue. Lebih aman daripada sama lo," sindirnya pada Fikri.
Kedua pria yang duduk bersebrangan itu memancarkan aura permusuhan. Tidak ada tanda-tanda keakraban di antara mereka. Sorot mata saling membenci bertumbuk di antara keduanya. Siapa saja yang melihat mereka berdua, sudah pasti akan menebak bahwa mereka adalah sepasang musuh.
"Kayak yang gue bilang tadi, gue nggak mau basa-basi. Gue cuma mau bilang, lepasin Farza!" ucap Agral dengan penuh ketegasan. Sontak saja permintaan Agral membuat Fikri terkekeh geli.
"Gue nggak salah dengar? Heh, Bro. Lo ke mana saja selama ini? Pas dia sudah tenang sama hidup barunya, sama anaknya, lo mau masuk ke hidup dia? Lo nggak lagi mabok kan?" ujar Fikri sinis.
"Gue memang pernah ninggalin dia. Gue memang pernah nggak bertanggung jawab sama dia. Tapi senggaknya sekarang gue mau memperbaiki semuanya."
Fikri tersenyum sinis pada pria di depannya itu. Fikri ingat betul saat pertama kali dirinya bertemu dengan Agral, sebagai orang suruhan Ayah dari Farza, dirinya meminta pertanggung jawaban dari Agral untuk Farza. Namun nihil. Pria di depannya justru memberikan jawaban dengan serangkaian hal, yang baru-baru ini Fikri ketahui kalau itu semua hanya kebohongan belaka.
"Lo dulu yang bilang ke gue kalau anak itu bukan anak lo kan? Lo dulu yang bilang ke gue kalau Farza nggak cuma tidur sama satu cowok. Dan sekarang lo dengan nggak tahu malunya bilang gini depan muka gue?"
Agral tidak merasa terganggu dengan kalimat yang baru saja Fikri lontarkan padanya. Dia mengakui bahwa dia bersalah atas apa yang dia lakukan di masa lalu. Itulah kenapa, saat ini dia berusaha keras untuk memperbaiki semuanya dengan Farza. Hanya itu yang menjadi fokusnya sekarang.
"Tapi setidaknya gue nggak nikahin perempuan cuma karena balas dendam. Gue nggak mempertahankan perempuan hanya karena sebuah permintaan dari orang yang dulu gue cinta. Oh satu hal lagi, gue nggak mencegah perempuan itu buat pergi dari hidup gue dengan alasan sebuah amanah," jawab Agral sarkas.
Sekali lagi, Fikri tertampar.
"Fikri, gue nggak tahu kayak apa cara lo berpikir. Yang jelas satu, kalau lo nggak bisa bikin dia bahagia, lepasin. Kalau lo nggak bisa cinta sama dia, tinggalin. Jangan narik ulur hati orang, yang lo tahu sendiri kalau sebenarnya dia cinta sama lo!"
Fikri diam tak menjawab. Entah kalimat apa yang harus dia lontarkan untuk menjawab perkataan Agral.
"Kalau lo nggak bisa bahagiain dia, gue bisa. Kalau lo nggak bisa ngasih cinta ke dia, gue bisa. Jangan maksa buat pertahanin pernikahan lo sama Farza, kalau lo sendiri nggak yakin sama hati lo. Gue lebih bisa kasih segalanya ke dia daripada lo!"
Agral bangkit dari duduknya. Tak peduli Fikri akan merespon apa. Yang jelas, dia sudah meluapkan apa yang ingin dia luapkan. Entah nantinya Farza akan bersama siapa, Agral hanya ingin memastikan bahwa perempuan itu bersama putranya bahagia.
"Gue kasih tahu ini bukan karena gue berharap lo bakal sadar sama perasaan lo ke Farza. Lusa gue bakal bawa Farza sama Farras ke Amerika. Kalau lo mau bertahan sama dia, susulin kita di bandara jam tujuh malam. Gue kasih tahu ini karena gue pengen lo ngerti, gue bukan lagi laki-laki egois yang mentingin diri gue sendiri, kayak pertama kali lo ketemu gue. Dan gue harap, lo juga bisa lakuin hal yang sama."
Setelahnya, Agral beranjak pergi. Meninggalkan Fikri yang tengah termenung seorang diri. Satu hal yang pertama kali terlintas dalam benaknya ketika mendengar bahwa Farza akan pergi, lalu bagaimana dengan dirinya?
Lamunannya terjeda kala ponselnya berdering. Panggilan masuk dari sahabatnya yang juga sahabat Aludra, Naya.
"Hay, Fik. Gue cuma mau kasih tahu, lusa gue sama teman-teman butiknya Aludra, sama suaminya Aludra juga mau adain pengajian seratus hariannya Aludra. Datang ya, kita mulai dari selepas maghrib, kira-kira setengah tujuh malam lah. Ingat, datang!"
Setelah panggilan itu terputus, Fikri bergegas membuka catatan kalender di ponselnya. Benar, lusa adalah hari keseratus meninggalnya Aludra. Dan hari itu, bersamaan dengan rencana keberangkatan Farza ke Amerika.
Sekali lagi, kebimbangan pria itu kian menjadi. Dia harus memilih salah satu di antara keduanya. Lalu yang mana?
_____
Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.
Yuhuuu, gimana nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]
RomanceAku terjebak dalam satu kondisi, di mana raga ku bersama mu, namun hatiku menjadi miliknya. Haruskah ku terima kamu dengan lapang? Sedang hatimu pun menjadi milik orang lain. Kita berdua terikat dalam sebuah pernikahan, yang hanya ada keterpaksaan...