BAB XXIV (Sepucuk Surat)

2.3K 158 5
                                    

Percayalah, Tuhan telah menentukan jalan hidup setiap insan. Kamu mungkin enggan menerima, tapi takdir tetap berjalan meski kamu berkata tidak pada semesta. Sebab kamu, hanya salah satu dari jutaan makhluk-Nya.

_____

Fikri termenung seorang diri di pekarangan belakang rumahnya. Sembari melihat induk ayam dan anak-anaknya mencari makan ke sana ke mari. Pria itu menghela napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan.

"Enak kali ya jadi ayam, santai banget hidupnya. Si ayam jago pergi nyari betina lain, induk ayam nggak merasa sakit hati. Pengen jadi ayam saja, Ya Allah," tutur pria itu.

"Enak saja mau jadi ayam! Nanti Ibu sama siapa?" ujar Ibunya yang datang dari arah belakang Fikri, kemudian menyusul duduk di samping putranya itu. Pria itu terkekeh pelan mendengar penuturan dari Ibu tersayangnya itu.

"Ibu, ngagetin Fikri saja," ucap Fikri.

"Kamu sih terlalu asyik sama ayam-ayam itu, sampai-sampai pengen jadi ayam," jawabnya. Fikri hanya tersenyum kecil akan jawaban dari sang Ibu. Sedangkan wanita paruh baya itu sedikit mulai bernapas lega, sebab putranya sudah mau kembali berbicara.

"Manusia itu memang harus punya rasa sakit di hidupnya, Nak. Sebab hanya dengan cara seperti itu, kita mampu berproses. Coba kalau hidup itu indah-indah saja, nggak akan ada yang mau menghargai proses. Nggak akan ada yang mau berjuang dan berusaha. Kan hidupnya sudah enak," ucap sang Ibu, menasihati putra tersayang itu.

"Tapi apa untuk berproses harus sesakit ini, Bu?" tanya pria itu. Suaranya kembali parau, dia kembali menunduk dalam, menatap jari-jari kakinya.

"Semua orang itu punya ujian hidupnya masing-masing, Nak. Siapapun itu, mereka memiliki kesulitan tersendiri dalam hidup. Yang terpenting kita yakin, Tuhan memberi kita ujian sebab Dia percaya kalau kita bisa melewatinya."

Terkadang dalam hidup, kita perlu terjatuh tiga kali, namun harus dan bisa bangkit sebanyak empat kali. Manusia tidak akan pernah tahu kapan Tuhan akan menguji kita, tapi kita tahu kalau Tuhan menguji manusia tidak akan lebih dari kadar kemampuannya.

"Lalui semuanya dengan berbesar hati. Suatu saat ketika kamu ingat hari ini, kamu akan berterimakasih pada takdir. Sebab karena ujian yang datang hari ini, kamu menjadi manusia yang lebih kuat lagi," ujar si Ibu sembari menepuk pelan bahu Fikri.

"Oh iya, Nak, tadi Dilfa mampir ke sini sebentar. Ada titipan untuk kamu," ungkap si Ibu. Jemarinya terulur memberikan sebuah kotak berukuran sedang pada Fikri. Mata pria itu kemudian beralih menatap kotak berwarna ungu itu. Prasangkanya langsung tertuju pada Aludra.

"Ibu masuk dulu ya," pamit wanita paruh baya itu.

**

Fikri menutup pintu kamarnya pelan, jemarinya masih menggenggam sebuah kotak yang Dilfa titipkan pada Ibunya. Pria itu terduduk di lantai kamar, dengan tidak sabar segera membuka kotak tersebut.

Dan benar dugaannya, si pemberi kotak itu adalah Aludra. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah gelang bertuliskan inisial nama perempuan itu dan nama Fikri. Gelang persahabatan yang kala itu Aludra beli saat mereka masih duduk di bangku sekolah, dengan gaji pertama yang Aludra dapat. Fikri ingat, dia masih menyimpan gelang yang sama.

Kemudian ada sebuah buku bersampul ungu polos, yang Fikri yakini adalah buku catatan harian Aludra semasa sekolah dulu. Yang Fikri tahu, setiap hari perempuan itu memang akan menulis apa yang terjadi di hari itu di dalam buku tersebut.

Yang terakhir, sebuah surat. Tangan Fikri gemetar saat hendak membuka surat tersebut, namun di lain sisi pria itu penasaran apa yang Aludra tuliskan untuknya.

Hay, Fikri, apa kabar? Gue harap lo baik, ya.

Kalau lo baca surat ini, itu artinya gue sudah tenang sama keabadian. Kalau lo baca surat ini, artinya gue cuma tinggal kenangan di hidup lo.
Maaf, gue nggak pamit sama lo kalau gue mau pergi. Pasti lo marah ya?
Suatu saat, kita pasti ketemu lagi kok. Tetap kenang gue selamanya, ya.
Gue berterimakasih sama lo. Lo jagain gue selama ini, dan banyak bantuin gue. Terimakasih, lo sudah mau ada di samping gue bahkan di saat terburuk gue. Gue harap, lo nggak lama-lama sedihnya karena kepergian gue.
Sekarang setelah gue nggak ada, gue boleh minta lo jagain seseorang buat gue nggak? Gue minta lo jagain anak gue juga ya. Kalau nggak mau juga nggak apa, hehe.
Oh iya, satu lagi. Maafin gue nggak bisa di samping lo sampai lo bisa kasih seluruh dunia ke Ibu. Gue titip salam terimakasih dan maaf ke Ibu ya, Fik.
Terakhir, gue juga titip Kak Farza, ya. Jagain dia kaya lo dulu jagain gue.
Fik, lo selalu jadi sahabat yang terbaik di hidup gue. Terimakasih hehe.
Cukup deh, dadah Fikri.

Begitu isinya surat yang Aludra berikan pada Fikri. Surat yang tidak terlalu panjang, namun mampu mengiris kembali hati Fikri. Ah, pria itu teramat rindu. Kapan kiranya dia mampu menerima, kalau Aludra sudah bahagia di alam yang berbeda dengannya?

Fikri menyembunyikan wajahnya di lipatan tangannya, pria itu kembali menangis. Persetan dengan kalimat pria pantang menangis, karena dia masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Fikri masih tak kuasa untuk mengikhlaskan semuanya.

"Fik, makan," ajak Farza di ambang pintu kamar Fikri. Farza memandang Fikri yang terduduk di lantai kamar yang dingin, dengan wajah yang ia sembunyikan, dan bahu yang gemetar.

"Fik?" Farza mendekat, dan menyadari kalau Fikri kembali bersedih. Kemudian, perempuan itu melirik ke kertas yang berada di depan Fikri. Dia membacanya sekilas, surat dari Aludra. Dan yang membuat dirinya tertegun adalah, di akhir surat itu Aludra meminta Fikri untuk menjaganya.

Bahkan hingga napas terakhirnya, Aludra masih mengingat Farza. Hingga detik terakhir hidupnya, dia masih ingin Farza dalam keadaan yang baik-baik saja. Dan kali ini, Farza benar-benar merasa bersalah pada perempuan yang telah ia sakiti hatinya itu.

"Fik?" panggil Farza sekali lagi. Perempuan itu menepuk pundak Fikri, lalu beralih duduk tepat di depan pria itu. Fikri mendongak dengan mata yang memerah dan sembab. Kali pertama bagi Farza melihat Fikri selemah itu.

"Sekeras apapun gue nyoba buat nerima, rasanya tetap sakit, Za," keluhnya. Pria itu tak kuasa menyembunyikan tangis dan kesedihannya, dan Farza berusaha mengerti itu. Farza berusaha mengerti dan memahami kondisi hati dari pria itu.

"Gue harus gimana? Dia orang baik, tapi kenapa Tuhan ambil dia, Za?"

Entah kenapa, melihat Fikri seperti ini membuat batin Farza turut berduka. Entah kenapa, perempuan itu seolah merasa sesak melihat kesedihan yang membelenggu pria di depannya.

"Gue harus gimana?" tanya Fikri sekali lagi. Dan kali ini, Farza memberanikan diri untuk mendekap pria itu. Entah atas dasar apa, Farza hanya ingin luka di hati pria itu berangsur pulih.

Fikri menangis sejadinya dalam pelukan Farza. Dalam dekapan hangat perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu, dia menumpahkan segala sesak yang mendera.

"Lo nggak harus gimana-gimana, Fik. Lo cukup bangkit dari terpuruknya lo hari ini, dan buat Aludra yang lihat lo dari atas sana tersenyum," ucap Farza, yang masih mendekap Fikri dan membiarkan pria itu mengeluarkan seluruh air mata sedihnya.

"Karena walaupun Aludra sudah nggak ada, dia tetap masih bisa lihat lo dari atas sana."

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang