BAB XXV (Maaf)

2.3K 164 6
                                    

Jadikan aku teman di kala sedihmu. Jadikan aku tempat berkesahmu. Sebab kamu, telah menemani masa-masa sulit ku. Sebab kamu ada, ketika hari-hari terberat ku.

_____

"Lo nggak marah sama ucapan gue kemarin, Za?" tanya Fikri ragu-ragu, pada perempuan yang tengah duduk di sampingnya itu.

"Kalau boleh jujur, gue memang sempat mikir kaya yang lo tuduhin ke gue, Fik," jawab Farza. Fikri tidak kaget mendengarnya, menurut Fikri wajar saja bagi Farza jika perempuan itu berpikir demikian.

"Terus kenapa nggak lo lakuin?"

Farza mendongak, memandang langit gelap yang bertaburan bintang. Pikirannya pun sempat berkecamuk kala itu, ketika dia mengetahui Aludra telah tiada. Melihat Dilfa yang kembali sendiri, seolah membuka jalan untuk dirinya kembali pada pria itu. Tapi ketika melihat Fikri, pikiran bodohnya itu seketika lenyap.

"Gue lihat lo yang kacau banget waktu itu. Gue berpikir, gue nggak mungkin ninggalin lo dalam keadaan yang hancur. Lo dulu kasih uluran tangan ke gue ketika gue ada di titik terburuk. Lo dulu kasih genggaman ke gue, ketika gue nggak tahu siapa yang harus gue pegang. Ya, walaupun terpaksa," jawabnya disertai senyuman kecil di bibirnya.

"Selain itu, gue nggak mau mengulang kebodohan yang sama buat kedua kalinya, Fik. Dulu, gue ninggalin Dilfa saat dia bersedia ngasih seluruh hati dan cintanya buat gue. Dan gue berujung menyesal."

Farza menghentikan sejenak ucapannya, perempuan itu menarik napas dalam untuk memenuhi rongga dadanya dengan oksigen. Dia kembali merasa menyesal yang berujung sesak di hatinya.

"Dan sekarang gue hidup sama lo, orang yang sudah mengambil keputusan besar buat nikahin gue. Walaupun niat awalnya buat melindungi Aludra, tapi gue tahu ini sulit buat lo. Lo nikahin gue yang nggak lo suka, bahkan lo benci sama gue, karena orang yang lo cinta tersiksa hidupnya karena gue."

Farza tersenyum kecut mengingat semua tingkah jahatnya dulu. Dia sadar, dia telah melampaui batasan sebagai manusia. Dia sadar, tidak sepatutnya sesama makhluk Tuhan saling menyakiti. Dan dia juga sadar, Aludra sama sekali tidak memiliki kesalahan padanya.

"Lo nikahin gue yang waktu itu sedang hamil anak dari laki-laki lain. Itu bagian yang menurut gue, kalau gue jadi lo akan jadi yang terberat dan tersulit. Dan ketika anak gue sudah lahir, lo mau nerima dia, lo memperlakukan anak gue dengan baik tanpa berpikir kalau dia bukan darah daging lo. Jadi gue mikir, gue akan makin terlihat nggak tahu diri kalau ninggalin lo, dan balik ngejar-ngejar Dilfa hanya karena Aludra sudah nggak ada."

Fikri menatap Farza yang masih menengadahkan kepalanya, menikmati pemandangan langit malam. Pria itu tersenyum kecil mendapati perubahan dalam diri Farza. Perempuan itu sudah mulai dewasa dan mampu berpikir bijak.

"Jadi sekarang sudah nggak ada pikiran buat balik ke Dilfa, sama sekali?" tanya Fikri memastikan. Farza menggeleng yakin, dari samping Fikri dapat melihat senyuman perempuan itu.

"Nggak, Fik. Karena gue rasa itu bakal percuma."

"Percuma kenapa?"

"Dilfa nggak akan mungkin cari pengganti Aludra, Fik. Kalaupun dia akan cari istri baru, tetap nggak akan bisa gantiin Aludra di hati dan hidup dia. Dan kalaupun dia menikah lagi, jelas bukan gue orang yang pantas, Fik. Karena, gue orang jahat sedangkan Aludra, dia orang baik. Timpang, Fik."

Farza yang dulu, akan menggunakan segala cara untuk bisa kembali pada Dilfa. Farza yang dulu, akan selalu merasa bahwa apa yang dia lakukan itu benar. Tapi Farza yang sekarang, hanya menjadikan Dilfa bagian dari masa lalu yang memberinya banyak pelajaran. Farza yang sekarang, mulai menyadarkan diri kalau apa yang dia lakukan dulu menyakiti banyak orang.

"Gue bangga sama lo, Za," ungkap Fikri, yang menimbulkan tanda tanya di kepala Farza.

"Bangga kenapa?"

"Karena lo sudah mulai dewasa," jawab pria itu diiringi senyuman. Tangannya terulur mengacak surai hitam milik Farza. Sejenak Farza tertegun dengan perlakuan Fikri padanya, ada rasa yang aneh hinggap di dalam hatinya.

Perempuan itu mengubah posisi duduknya menghadap Fikri. Matanya menatap serius pada pria yang berstatus sebagai suaminya itu. Farza mengatur keberaniannya untuk mengatakan sesuatu hal, yang telah dia pikirkan matang-matang beberapa hari ini.

"Fik, gue nggak mau cerai dari lo."

Fikri terkekeh pelan mendengar ucapan terus terang dari Farza. Setelah beberapa kali meminta bercerai, bahkan menawarkan perceraian pada Fikri, kini perempuan itu justru meralat semuanya dan berkata kalau dia tidak ingin mengakhiri pernikahan mereka.

"Siapa juga yang mau ceraiin lo? Bukannya lo yang sering minta cerai, Za?" ejek pria itu, yang membuat Farza sebal.

"Gue serius, Fik!"

"Ini ketiga kalinya gue bilang sama lo, Za. Gue nggak ada niat sama sekali buat ceraiin lo. Gue pengen kita sama-sama buat pernikahan ini seperti pernikahan pada umumnya, walaupun lo nggak cinta sama gue dan gitu juga sebaliknya," jawab Fikri. Raut wajah pria itu menunjukan keseriusan, bahkan tatapan mata pria itu tidak menunjukan kebohongan.

"Tapi waktu lo benar-benar kacau karena perginya Aludra, gue sudah mikir kalau lo bakal ceraiin gue, Fik. Ya lo sama gue sama-sama tahu, gue termasuk orang yang sudah sakitin dan jahatin Aludra."

Fikri menatap kosong ke arah depan. Hingga hari kelima kepergian Aludra, dia masih sedikit tidak waras jika membicarakan tentang perempuan itu. Meski sudah tidak sesakit seperti hari kemarin, tapi dia masih bertarung melawan rasa sedihnya.

"Sebelumnya gue minta maaf sama ucapan gue beberapa hari lalu ke lo, Za. Mungkin itu nyakitin lo dan buat lo tersinggung. Tapi waktu itu gue sama sekali nggak bisa kontrol emosi gue. Gue selalu meledak-ledak kalau menyangkut Aludra."

Farza mengangguk. Toh sekali lagi, perempuan itu memaklumi. Farza berusaha memposisikan dirinya menjadi Fikri. Sakit dan sedih sebab kehilangan beradu menjadi satu. Apalagi, seseorang itu berharga di hidupnya.

"Jujur, kehilangan Aludra jadi titik terhancur kedua gue, setelah kehilangan Ayah gue dulu. Delapan tahun gue kenal dia, hidup sama dia, jadi sahabat dia. Dan tiba-tiba dia pergi gitu saja dari hidup gue buat selamanya. Gue baik-baik saja ketika dia nikah dan bahagia sama kehidupan barunya, karena gue masih bisa lihat dia, dia masih bisa dijangkau sama mata gue. Tapi ketika dia pergi karena jatah hidupnya dia udah selesai, gue hancur. Karena dia pergi ke tempat yang mata gue nggak bisa jangkau lagi, Za."

Karena cukup bagi Fikri, selama dia masih bisa melihat senyum Aludra meski bukan bersama dia. Cukup bagi Fikri ketika melihat Aludra baik-baik saja, meski tak bisa dia genggam erat. Cukup bagi Fikri melihat Aludra tertawa ceria, meski bukan bersumber dari dirinya.

"Za, seperti yang lo bilang tadi, kalau gue sudah ada disaat terburuk lo. Gue minta, temani gue bangkit dari kehancuran gue hari ini."

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang