BAB XX (Masa Kecil)

1.6K 126 5
                                    

Aku ingin berbagi sepenggal kisah ku padamu. Aku ingin berbagi tentang bagaimana aku, padamu. Sebab untuk memahami, kamu perlu mengerti.

_____

Senin kembali menyapa, memaksa manusia untuk kembali bekerja. Begitupun dengan Fikri, pria itu sudah bergegas menuju tempat mencari nafkahnya. Sedangkan Farza, di sinilah dia berada, di kediaman sang Ibu mertua.

"Maaf ya, Bu, Farza repotin Ibu hari ini. Tadinya mau di apartemen saja, tapi Fikri memaksa untuk di sini saja sampai dia selesai kerja nanti sore," ujar Farza yang merasa sungkan pada mertuanya itu.

"Nggak apa-apa, Nak. Kan Ibu jadi punya teman di rumah, biasanya sepi. Apalagi ada si ganteng Farras, jadi semakin ramai kan rumah Ibu," jawab wanita paruh baya itu.

Mereka tengah duduk bersama, di atas tikar untuk menutupi dinginnya keramik rumah. Sedangkan Farras menggunakan kasur kecil untuk berbaring. Bayi mungil itu seperti biasanya, tertidur pulas dengan nyaman.

"Kalian baik-baik saja kan?" tanya Ibu mertuanya itu. Farza mengangguk, memberi tanda kalau dia dan Fikri sekaligus Farras dalam keadaan yang baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Mata perempuan itu berkeliling ke seluruh penjuru ruangan. Terakhir kali dia singgah di kediaman Ibu mertuanya, dia tidak terlalu memperhatikan banyak hal. Tapi hari ini, ketika kembali datang matanya langsung tertuju pada sebuah bingkai foto berukuran sedang.

Di foto tersebut, ada seorang anak lelaki dengan seorang pria dewasa tersenyum bahagia. Dari foto tersebut, Farza seolah merasakan kehangatan yang terpancar.

"Itu foto Fikri waktu kecil, Bu?" tanya Farza sembari menunjuk bingkai foto tersebut.

"Iya, Nak. Di sampingnya itu foto almarhum Ayah Fikri. Mereka dulu dekat sekali, sampai Ibu terkadang iri. Setiap hari mereka bercanda dan tertawa bersama. Dulu rumah ini ramai oleh tawa mereka berdua."

Wanita paruh baya itu kembali menerawang ke masa silam. Mengingat ulang memori bersama putra dan mendiang suaminya. Meski telah lama tiada, hangatnya masih terasa, dan rindu itupun masih ada.

"Semenjak Ayahnya meninggal, Fikri menjadi anak yang lumayan pendiam. Dia sangat kehilangan sosok hebat dalam hidupnya. Bagi Fikri, Ayahnya adalah panutan terbaik, dan dia kehilangan contoh hidupnya," tutur Ibu mertuanya itu.

Farza turut merasakan sesaknya. Dia pun dulu hampir kehilangan Ayahnya. Itulah mengapa, dia bisa merasakan ketiadaan dari setiap kalimat yang Ibu mertuanya ucapkan. Benar, ketika kita kehilangan seseorang semuanya menjadi terasa kosong. Apalagi bagi seorang anak, orang tua adalah cinta dan kasih pertama dalam hidup mereka.

"Apa Ibu tinggal sendiri di sini tidak merasakan sedih, Bu? Setiap hari pasti Ibu kembali mengingat memori ketika dulu mendiang Ayah masih ada kan, Bu?" tanya Farza. Ibu mertuanya mengangguk. Sinyal kehilangan dan kerinduan itu masih terbaca jelas oleh Farza.

"Jelas, Nak. Kadang kalau Ibu duduk seperti ini sendiri, Ibu masih membayangkan ketika duduk berdua dengan almarhum. Sambil minum teh sore hari, atau makan siang bersama dengan lesehan. Ibu masih ingat semuanya, Nak."

Farza memahami satu hal, bahwa cinta yang sebenar-benarnya cinta itu ada. Bahkan ketika maut memisahkan, mereka masih dalam genggaman dan ikatan cinta. Bertahun-tahun kehilangan, rindu itu masih sering menjelma, seiring cinta yang turut ada.

"Maaf ya, Ibu, Farza jadi mengingatkan Ibu sama almarhum Ayahnya Fikri," kata Farza penuh sesal. Namun Ibu mertuanya itu menggeleng sembari tersenyum.

"Tanpa kamu ingatkan pun, Nak, setiap hari juga Ibu selalu teringat. Fikri mulai kembali seperti biasanya, sejak satu tahun berteman dengan Aludra. Fikri itu anak tunggal, Nak. Dia selalu menyayangi siapa saja yang dekat dengan dia, pasti Fikri seperti itu juga pada Farras kan?"

Farza mengangguk dan tersenyum. Fikri memang terlihat tulus menyayangi putranya, meskipun Farras bukan darah dagingnya. Dia bersedia menjaga Farras ketika Farza tengah sibuk mengerjakan banyak hal. Bahkan sesekali Fikri menemani Farras tidur, ketika Farza harus memasak atau mencuci.

"Iya, Bu. Fikri selalu jagain Farras kalau Farza sedang bersih-bersih. Tapi kadang Farza yang nggak enak hati, Bu," ungkap Farza.

"Kenapa, Nak? Kan memang sudah seharusnya seperti itu?" tanya wanita paruh baya itu kepada menantunya.

"Karena Farras bukan putra kandung Fikri, Bu. Kadang Farza malu, Fikri mau menerima Farras dan menyayangi dia seperti anaknya sendiri. Kadang Farza juga kasihan sama Fikri, dia harus menerima tanggung jawab yang seharusnya bukan dia."

Ungkapan itu berasal dari lubuk hati Farza yang paling dalam. Sebengal apapun dia, dia cukup tahu untuk sadar diri. Dia juga bisa merasakan tak enak hati, dia juga bisa merasa kasihan pada seseorang. Dan Farza merasakan itu semua pada Fikri. Pria itu harus memikul beban yang sebenarnya dia tidak harus memikulnya. Bukan tidak harus, justru dia tidak berhak untuk memikulnya.

"Kalau untuk masalah itu, kamu harus bicarakan pada Fikrinya langsung. Utarakan apa yang ingin kamu ucapkan, jangan dipendam. Tapi kalau menurut Ibu, selama Fikri menyayangi kalian itu artinya Fikri tidak masalah dengan semuanya."

Fikri memang pernah berkata untuk jangan merasa menjadi beban dalam hidup pria itu. Hanya saja Farza masih punya perasaan, dia tetap merasa tak enak hati pada pria itu. Bahkan pada Ibu mertuanya pun, sebenarnya dia sungkan. Ibu mertuanya harus menerima kehadiran Farras yang bukan cucu kandungnya, tapi beliau memperlakukan Farras dengan penuh kasih sayang.

"Kamu istirahat sana, Nak, sekalian pindahkan Farrasnya. Itu kamar tengah kamarnya Fikri, istirahat di sana ya," perintah Ibu mertuanya dengan suara khasnya yang lembut.

Farza mengiyakan, kemudian membopong Farras dan membawa putranya ke dalam kamar milik Fikri. Sedangkan Ibu mertuanya mengayunkan kaki menuju bagian rumah belakang.

Dan ketika pintu kamar tersebut terbuka, Farza menganga lebar. Seluruh kamar itu penuh dengan foto-foto dari yang berukuran kecil hingga besar. Dan yang membuat Farza semakin terkejut adalah, foto tersebut bukan hanya foto Fikri, melainkan foto Aludra.

"Nggak usah nganga gitu, Za, itu lalat jadi tergiur masuk ke mulut lo!" tegur Fikri yang baru saja tiba. Dan itu semakin mengagetkan Farza.

"Kapan sampai?" tanya Farza.

"Dari lo buka pintu kamar gue, terus melongo lihat isi kamar gue. Kenapa?"

Tidak menjawab, Farza melangkah masuk ke kamar itu dan membaringkan Farras di kasur milik Fikri. Nuansa kamarnya memang sangat maskulin, tapi foto-foto yang terpampang di setiap sudut kamar seperti menggambarkan kalau kamar itu milik Aludra.

"Gue jadi berasa kaya masuk ke kamar orang lain deh," lirih Farza, namun sayangnya Fikri mampu mendengar itu.

"Ya memang kamar orang lain, kan ini kamar gue!" jawab Fikri sewot.

"Maksud gue kaya bukan kamar lo, lihat tuh foto Aludra semua, mana ada foto lo?"

Memang, hampir tidak ada foto dirinya di kamar itu. Kalaupun ada, pasti bersama dengan Aludra. Sejak dulu, Fikri ke manapun selalu bersama Aludra, begitupun sebaliknya. Oleh sebab itu, banyak momen yang terjadi di antara mereka berdua. Dan tentunya, banyak foto yang menjadi jejak kenangan.

"Belum gue beresin. Sudah ada niat sih, tapi nggak deh, biarin saja. Toh, gue sudah nggak tinggal di kamar ini lagi," jawab Fikri.

Pria itu turut melangkah masuk ke dalam kamar. Namun baru saja dirinya hendak membaringkan tubuh di samping Farras, ponselnya berdering. Sejenak Fikri ragu hendak menjawab panggilan itu, namun tak urung pria itupun menjawabnya.

"Halo, kenapa?" tanya Fikri pada seseorang di seberang sana, yang entah siapa. Farza pun ikut bertanya-tanya. Pasalnya, jarang sekali Fikri mau menerima panggilan dari seseorang. Pria itu seringnya hanya mau menerima pesan teks.

"Gue ke sana sekarang!" jawabnya penuh kepanikan.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang