BAB XXX (Senja)

1.5K 124 6
                                    

Memulai ulang memang tidak mudah. Ibarat merenovasi kembali sebuah bangunan, harus dilakukan dengan penuh kesabaran. Hingga suatu hari, bangunan itu kokoh dan dapat di huni.

_____

Matahari tengah bersiap kembali ke peraduan, kala Fikri dan keluarga kecilnya sampai di sebuah penginapan. Sesuai yang hari kemarin pria itu katakan, dia mengajak Ibu, Farza beserta Farras pergi berlibur.

Hiruk pikuk hari-hari yang mereka lewati, sangat melelahkan pikiran dan hati. Mencari udara segar dan suasana baru meski hanya sebentar, menurut pria itu akan sedikit melegakan.

Fikri mendapati sebuah penginapan yang dekat dengan pantai. Suasana sore hari dengan pemandangan lautan disertai debur ombak yang menenangkan, terasa begitu menyenangkan. Ah, Fikri baru terpikir kalau ternyata dia memang butuh suasana seperti ini sesekali.

Setelah merapikan beberapa barang bawaan, Fikri berniat untuk pergi jalan-jalan ke pesisir pantai. Menikmati senja yang terlihat begitu mengagumkan. Salah satu ciptaan Tuhan, yang keindahannya tidak bisa di dustakan.

"Za, gue mau jalan ke pantai, ikut nggak?" tawar Fikri pada perempuan yang tengah menggendong bayi laki-laki tersebut.

"Nggak deh, Fik, gue mau tidurin Farras, kasihan dia," jawabnya.

"Kalau gitu Farrasnya sama Ibu saja, kalian pergi keluar saja berdua. Biar Ibu yang jaga Farras, kan kalian datang ke sini memang niatnya untuk menghibur diri," timpal sang Ibu sembari mengambil alih Farras ke dalam gendongannya.

Farza yang tak enak hati hendak menolak, namun Ibu mertuanya itu segera membawa Farras pergi, dan menyisakan dirinya dengan Fikri saja. Ibu mertuanya itu, begitu baik padanya dan juga putranya.

**

Dua orang itu duduk di pesisir pantai, di atas pasir halus yang terasa hangat. Sembari menikmati gelombang laut yang mengiringi kepergian sang mentari. Keduanya saling terdiam, larut dalam pikiran mereka masing-masing.

Entah apa yang terpikir di antara keduanya, satu yang pasti, mereka sama-sama merenung perihal kehidupan. Banyak hal yang terjadi pada mereka belakangan ini, dan banyak hal baik pula yang mengiringi. Setelah kehilangan yang mendera keduanya, saling mengisi sisi kosong menjadi pilihan yang dirasa tak salah.

"Fik, kalau lo boleh mengulang salah satu masa di hidup lo, apa yang pengen lo ulang?" tanya Farza tiba-tiba. Fikri berpikir sejenak, ada banyak hal yang ia sesali, tapi entah apa yang ingin ia ulangi lalu memperbaiki.

"Entah, Za. Buat gue, mau apapun itu yang terjadi di hidup gue, ya memang itu yang harus gue jalani. Dan gue rasa, nggak ada yang perlu gue ulang, Za. Cukup buat gue ambil semua pelajaran dari hari-hari kemarin, dan jadiin arah langkah gue selanjutnya."

Sebab menurut pria itu, kesalahan-kesalahan yang pernah dia lakukan adalah pelajaran hidup yang paling berharga. Dan hari-hari kemarin yang telah ia lewati, meski dengan tawa dan tangisan, merupakan pegangan untuk melangkah ke masa depan.

"Kalau gue, seandainya gue bisa balik ke masa lalu dan memperbaiki semuanya, gue nggak akan ngelakuin hal bodoh sama seorang pria yang nggak bertanggung jawab itu," ujar Farza. Fikri mengalihkan bola matanya pada Farza, yang semula menatap lurus ke depan.

"Lo nyesal ada Farras di hidup lo?" tanya Fikri yang jelas saja langsung dibalas gelengan oleh Farza.

"Gue nggak nyesal ada dia di hidup gue, justru gue bahagia. Yang gue sesalin adalah tingkah bodoh gue untuk melahirkan dia ke dunia. Secara nggak langsung, gue menjadikan dia anak yang nggak beruntung, Fik. Farras benar-benar nggak beruntung lahir dari orang tua macam gue," tutur perempuan itu.

Kesalahan terbesar yang amat Farza sesali adalah, menghadirkan Farras dalam hidupnya dengan cara yang salah. Dia merasa bersalah pada bayi tidak berdosa itu, sebab membuatnya lahir dari sebuah hubungan yang tidak dibenarkan.

Fikri mengangguk pelan tanda mengerti. Pria itu tidak tahu harus menimpali apa, yang jelas dis juga tidak bisa membenarkan hal yang dilakukan oleh Farza. Memang benar, terkadang ketika hal bodoh yang kita lakukan berimbas pada diri kita sendiri, kita tidak akan merasa bersalah. Tapi ketika kesalahan itu berimbas pada orang yang kita sayang, justru penyesalan terasa beribu kali lipat.

"Tapi gue juga bersyukur akan adanya Farras, Fik. Secara nggak langsung dia bikin gue sadar, dia bikin gue mau berusaha jadi orang baik. Karena adanya dia, gue jadi lebih berhati-hati dalam bertindak. Gue nggak mau bikin dia ngerasa nggak beruntung untuk kedua kalinya, karena gue."

Farza juga tidak memungkiri, kalau kehadiran putra kecilnya adalah kebaikan untuknya. Kehadiran putranya yang begitu menggemaskan itu, sebuah anugerah terindah baginya. Dan kehadiran Farras, adalah pemberian Tuhan terindah padanya.

"Dan kalau gue bisa ulang semuanya, gue akan tetap mau menghadirkan Farras dalam hidup gue, tapi dengan cara yang membuat Farras beruntung lahir dari rahim gue."

Farza menunduk dalam. Sayangnya, ucapannya tak bisa diwujudkan. Dia tidak bisa memutar ulang waktu, dia tak bisa kembali ke masa lalu. Dia hanya bisa berusaha, dengan segenap waktu yang tersisa, untuk memberikan hal-hal terbaik bagi putranya.

"Za, kalau dilihat-lihat, lo mulai dewasa ya," ujar Fikri. Pria itu menatap Farza dengan senyuman, binar matanya menunjukkan sebuah kebanggaan. Perlahan tapi pasti, Farza mulai menunjukkan sisi baiknya.

"Bukan umurnya doang kan yang tua?" ucap Farza diiringi tawa. Keduanya tertawa bersama, di bawah sinar mentari yang mulai meredup. Embusan angin laut pun turut menjadi teman, seolah beban di pundak turut beterbangan bersama angin yang berembus.

**

"Za, sudah malam, nggak mau balik ke penginapan?" tanya Fikri dengan nada yang lumayan keras, sebab Farza tengah berlarian tanpa alas kaki di atas pasir yang mulai terlihat menghitam, sebab langit telah menggelap.

"Bentar lagi, Fik! Sini!" ajak Farza pada pria itu, namun Fikri hanya membalas dengan gelengan dan senyum kecil. Pria itu berdiam diri dari kejauhan, menatap Farza yang masih sibuk berlarian.

Farza terlalu asyik dengan kegiatannya menikmati malam di tepian laut. Sudah sejak lama dia tidak merasa sebebas dan selepas ini. Sudah sejak lama, dia tidak merasa hati dan pikirannya ringan seperti saat ini.

Perempuan itu menarik napas pelan, menghentikan langkah kakinya, dan membiarkan kakinya basah diterpa ombak yang mulai terasa dingin. Perempuan itu tersenyum lebar, melupakan beban hatinya meski hanya sejenak, ternyata begitu melegakan. Begitu menyenangkan.

Saat hendak berbalik menuju ke tempat Fikri menunggunya, ponsel perempuan itu bergetar, menandakan ada pesan masuk. Tubuh Farza menegang setelah membaca pesan tersebut, sebuah pesan yang tidak pernah dirinya inginkan. Sebuah pesan, yang berhasil membuatnya ketakutan.

"Za, apa kabar? Apa kabar anak kita?"

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang