BAB XXXVII (Keputusan?)

1.7K 146 8
                                    

Tak apa sesekali berdiri kokoh sebab cinta, hanya saja kau pun perlu logika. Tak selamanya semua hanya kau kira dengan prasangka. Sebab cinta, haruslah berjalan di atas hati serta logika.

_____

"Lo dengar semua yang gue dan Agral bicarain, Fik?" tanya Farza.

Keduanya beserta Farras telah kembali ke apartemen mereka. Setelah sebelumnya, Fikri memergoki Farza yang tengah berbincang dengan Agral. Selama di perjalanan pulang, Fikri hanya diam. Membuat Farza kebingungan apakah pria itu mendengar semuanya, atau hanya kebetulan saja pria itu ada di sana?

"Fik?"

"Kita bicarain nanti, Za. Ibu sebentar lagi akan ke sini."

**

Dan benar, Ibu dari Fikri datang berkunjung. Baik Fikri maupun Farza, berusaha keras menutupi keretakan yang terjadi di antara mereka, di depan sang Ibu.

"Kalian baik-baik saja kan? Lama banget nggak dengar kabar kalian, akhirnya Ibu main saja ke sini. Nunggu kalian yang main ke rumah Ibu, nggak tahu kapan," ujar sang Ibu. Farza tersenyum kecil menanggapi ucapan Ibu mertuanya itu.

"Baik kok, Bu. Fikri sibuk banget akhir-akhir ini, Bu, jadi nggak sempat ajak Farza ke rumah. Lain kali ya, Bu. Kalau Ibu pengen ketemu kita, telpon Fikri saja, Fikri yang akan ke rumah. Daripada Ibu capek ke sini jauh-jauh."

Wanita paruh baya itu tersenyum lembut seraya mengangguk. Baginya, mengunjungi putranya bukanlah hal yang melelahkan, justru hal sekecil ini membahagiakan hatinya.

"Farras sehat kan, Za?" tanya Ibu mertuanya itu. Farza mengangguk.

"Sehat kok, Bu. Lagi tidur di kamar," jawabnya.

"Kalian nggak lagi ada masalah kan?"

Mendengar pertanyaan lanjutan dari Ibu mertuanya, membuat Farza reflek menatap Fikri yang berdiri tepat di sampingnya. Takut kalau ia salah menjawab, jadi dia membiarkan Fikri yang menjawab pertanyaan Ibunya itu.

"Nggak ada kok, Bu," jawab Fikri.

"Setiap rumah tangga, pasti akan ada perdebatan dan permasalahan. Tapi satu hal yang pengen Ibu sampaikan, selesaikan semuanya dengan kepala yang dingin. Jangan sampai, apa-apa yang terlontar dari kalian masing-masing akan menciptakan penyesalan di kemudian hari."

Ibunya benar, amarah tidak akan menyelesaikan apapun. Namun kesabaran dan saling terbuka dengan pendapat pasangan masing-masing, justru akan mencipta jalan keluar yang baik bagi semua pihak.

"Karena sakit hati yang berasal dari lisan, sampai kapanpun akan sulit terobati." Nasihat terakhir dari wanita paruh baya tersebut.

**

Selepas kepulangan Ibunya, Fikri kembali melanjutkan kegiatannya, menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda beberapa hari ke belakang. Sedangkan Farza, perempuan itu tengah sibuk menata beberapa lauk pauk serta buah-buahan yang dibawakan oleh Ibu mertuanya.

"Fik, lo nggak capek apa kita diam-diaman kayak gini terus?" tanya Farza, yang masih sibuk menata beberapa barang ke dalam lemari penyimpanan.

"Kalau mau ngomong, duduk sini. Nggak enak banget di lihatnya, ngajak ngomong tapi orangnya kepalanya saja nggak kelihatan," sahut Fikri.

Farza mendekat, menghiraukan beberapa barang yang sebenarnya masih butuh untuk dibenahi. Perempuan itu ingin segera menyelesaikan permasalahan yang ada. Sungguh suasana yang sangat suram, ketika dua orang hidup dalam satu atap namun enggan bercengkrama.

"Lo tadi dengar semua yang gue dan Agral omongin, Fik?" tanya Farza sekali lagi. Fikri segera menutup laptopnya, beralih menghadap ke arah Farza.

"Za, mungkin setelah ini gue akan jadi orang yang jahat ke lo. Tapi, gue sama sekali nggak bisa yakin atas perasaan gue sama lo. Dan gue lebih nggak yakin, lo akan kuat hidup sama gue yang hatinya nggak tentu sama lo."

Farza bagai tertampar di hari itu. Setelah dirinya mencoba meyakinkan hati untuk melanjutkan pernikahannya dengan Fikri, justru perkataan Fikri menghancurkan keyakinannya.

"Gue nggak minta kok buat lo balas perasaan gue, Fik. Toh, dari awal kita bareng-bareng, kan memang di antara kita nggak ada apa-apa," jawabnya.

Fikri mengusap wajahnya. Sungguh, masalah yang berlarut-larut ini begitu melelahkan hati dan pikirannya. Baik dirinya maupun Farza, sama-sama terombang-ambing dalam ketidak pastian. Namun untuk menjemput kepastian itu sendiri, pun jauh terasa lebih sulit.

"Za, gue nggak bisa janjiin apa-apa ke lo. Gue nggak bisa janji untuk terus baik ke lo. Gue nggak bisa janji untuk bahagiain lo. Bahkan gue sama sekali nggak bisa janji buat cinta ke lo. Apa lo masih mau hidup sama gue yang kayak gini?"

Fikri tak bisa berbohong, hatinya masih di dominasi oleh sosok Aludra. Pikirannya masih di penuhi oleh sosok perempuan, yang telah bersamanya bertahun-tahun lamanya. Fikri tidak bisa mengingkari itu.

"Fik, apa nggak ada sedikit saja ruang di hati lo buat gue? Apa semua hati dan pikiran lo benar-benar sudah penuh sama Aludra? Nggak ada sedikitpun kesempatan buat gue?" tanya Farza.

Fikri diam tak bergeming. Memberi jawaban pun, justru akan semakin menyakiti Farza. Tak memberi jawaban, sudah pasti Farza mengerti apa makna dari diamnya itu.

"Gue memang salah, sudah suka sama lo. Gue salah karena melibatkan hati dan perasaan dalam menjalani hidup sama lo. Gue tahu, nggak seharusnya gue suka sama lo, Fik. Tapi, apa sedikit saja perasaan lo buat gue nggak ada?"

Sedari dulu, Fikri hanya menaruh hati pada Aludra, dan Farza tahu itu. Sedari dulu, Fikri hanya menatap pada Aludra, Farza memahami itu. Tapi setelah berbulan-bulan hidup bersama Farza, apakah tidak ada setitik saja perasaan cinta dalam hati pria itu?.

"Apa gue harus jadi Aludra dulu, baru lo mau lihat ke arah gue, Fik? Gue tahu, gue nggak sesempurna Aludra. Gue nggak sebaik Aludra. Dan gue nggak selayak Aludra. Tapi apa gue seburuk itu, sampai sedikit saja perasaan suka dari lo ke gue nggak ada?"

Fikri masih diam. Pria itu mencerna dengan baik perkataan demi perkataan yang Farza lontarkan. Bahkan perkataannya pada Agral di taman tadi, juga berhasil mengusik akal sehat Fikri.

"Kalau lo mau pertahanin pernikahan ini, ayo kita pertahanin. Gue akan berusaha bertahan, Za."

Farza menggeleng pelan. Ucapan Fikri, entah mengapa justru terasa menyakiti hatinya, bukan melegakan hatinya.

"Jangan lihat gue dengan rasa kasihan kayak gitu, Fik. Jangan bertahan sama gue karena lo kasihan sama gue. Maafin gue karena sudah lancang suka sama lo."

Farza hendak pergi meninggalkan Fikri ke kamarnya, namun langkahnya terhenti sejenak.

"Kalau lo pertahanin pernikahan ini karena ucapan gue ke Agral tadi, nggak usah, Fik. Gue nggak butuh belas kasihan. Mungkin, gue memang nggak selayak itu buat dapatin cinta dari siapapun," ujar perempuan itu.

Di ambang pintu kamarnya, Farza berucap sekali lagi pada Fikri.

"Gue memang selamanya nggak akan bisa kayak Aludra. Tapi, apa gue terlalu nggak pantas, Fik?"

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Double update ya, karena baru sadar terakhir update bulan kemaren, hehe. Terimakasih yang masih setia bersamaku wkwk.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang