BAB XXII (Selimut Duka)

2.3K 161 9
                                    

Aku masih ingat senyummu. Aku masih ingat tawamu. Bahkan masih terekam jelas tangismu. Dan suaramu masih terngiang di telingaku. Bukankah ini hanya mimpi? Bisakah ini hanya menjadi bagian dari mimpi buruk ku?

_____

Sepulang dari pemakaman, Fikri mengurung diri di kamar. Tidak membiarkan siapapun menemuinya, bahkan panggilan dan ketukan pintu dari Ibunya pun dihiraukan. Fikri ingin sendirian, dia masih memeluk erat duka dan kehancuran.

Untuk kedua kalinya, Aludra mematahkan hati seorang Fikri. Tapi kali ini, patahnya teramat menyiksa. Sakitnya begitu terasa, hingga terkadang dadanya sesak dan berdenyut nyeri. Kali ini bukan hanya hatinya yang patah, tapi separuh jiwanya seolah turut pergi bersama Aludra.

Fikri menatap ke sekeliling kamarnya. Foto-foto Aludra berjejeran di setiap dinding. Dari mulai ketika Aludra tersenyum, cemberut, dan segala macam ekspresi dari perempuan itu. Air mata pria itu kembali menetes, teringat semua hal yang pernah mereka lakukan bersama.

"Al, lo bahagia di sana? Tapi kok, rasanya berat banget buat gue, Al?" lirihnya sembari menatap foto-foto Aludra.

Pria itu terduduk di sudut kamarnya. Sesekali menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya. Kenapa rasanya begitu sesak? Kenapa dia belum bisa menerima? Kenapa rasanya ingin menyangkal dan berharap ini hanya bunga dari tidur malamnya?

"Gue memang selalu berharap lo bahagia, Al. Tapi nggak gini caranya, Al! Gue bersedia kasih semua dunia gue ke lo, tapi jangan tinggalin gue kaya gini, Al!"

Beribu kali memohon pun, Aludra tidak akan hidup kembali. Fikri menyadari itu. Namun pria itu masih terus berharap, bahwa suatu hari dia akan bangun dan melihat Aludra yang tengah tersenyum padanya, dengan keadaan yang baik-baik saja.

"Gue nggak apa kalau lo hidup sama Dilfa. Gue nggak apa kalau lo lebih milih nyari bahagia sama Dilfa. Sumpah, gue nggak apa-apa, Al. Tapi jangan tinggalin gue ke tempat yang gue nggak akan pernah lihat lo lagi selamanya dong, Al."

Pria itu memandang foto Aludra yang tengah tersenyum lebar, menggunakan seragam sekolah menengah atas. Dia rindu dengan senyum itu, dia juga rindu masa-masa saat masih mengenakan seragam itu bersama Aludra.

Pria itu rindu saat-saat di mana dia menemani Aludra bekerja. Mengantar perempuan itu ke tempatnya bekerja, kemudian menjemputnya kala waktu bekerjanya usai. Dia rindu mengeluh pada Aludra, dan dia rindu dengan semua kalimat nasihat dari Aludra.

"Dulu lo pernah bilang, bakal temanin gue sampai gue sukses. Lo bilang bakal selalu di samping gue sampai gue bisa ngasih segalanya ke Ibu, Al. Tapi mulai hari ini, lo cuma bisa lihatin gue dari atas sana, sedangkan gue cuma bisa lihat lo dari foto kenangan yang gue punya."

Semesta terlalu tidak adil baginya, terlalu tidak adil pula bagi Aludra. Ketika dia bisa perlahan menerima dan merelakan Aludra bersama Dilfa, semesta justru mengambil Aludra selamanya. Ketika Aludra sudah mulai bahagia dengan hidupnya, semesta justru merenggut itu semua bahkan merenggut nyawanya.

"Bahkan gue nggak punya kesempatan buat ngobrol sama lo terakhir kalinya, Al. Gue nggak punya kesempatan lihat senyum lo buat terakhir kalinya, Al. Lo tega banget ninggalin gue dengan cara kaya gini," tutur pria itu.

Fikri benar-benar terpukul dengan kepergian Aludra. Tanpa sepatah kata, perempuan itu meninggalkannya. Tanpa berpamitan, dan tanpa mengucapkan selamat tinggal. Sesak, sedangkan seluruh momen yang mereka cipta terus menghantui isi kepalanya.

"Gue nggak tahu harus gimana, Al."

**

"Nak, Fikri masih belum keluar kamar?" tanya Ibu dari Fikri itu pada Farza. Perempuan itu menggeleng, memberi sinyal bahwa Fikri masih berdiam diri di kamarnya. Bahkan dia pun turut mengkhawatirkan pria itu.

"Ibu, masih sedih?" tanya Farza hati-hati. Ibu mertuanya itu tersenyum, kemudian beranjak untuk duduk di samping Farza yang tengah menjaga Farras yang tertidur pulas.

"Aludra itu sudah seperti putri Ibu sendiri, sama seperti kamu. Kalian itu putri Ibu. Hanya saja, Ibu sudah cukup lama mengenal Aludra. Ibu tahu persis bagaimana hidupnya. Ibu sempat bahagia melihat dia sekarang. Dia terlihat lebih ceria setiap harinya, apalagi semenjak mengandung. Ibu cuma tidak menyangka, Nak, kalau Aludra harus pergi secepat ini," jawab Ibu mertuanya itu.

Wajar saja mereka begitu kehilangan. Mereka saling menyayangi seperti keluarga. Terutama Fikri, setiap suka dan duka yang dia rasa, dia bagikan pada Aludra. Begitupun sebaliknya. Farza sedikit memaklumi, kalau Fikri benar-benar merasa kehilangan Aludra. Meskipun, entah sebab apa dirinya merasa sesak melihat Fikri seperti sekarang ini.

"Ibu harap kamu memaklumi keadaan Fikri ya, Nak. Walaupun mungkin ini kurang mengenakan hati kamu, tapi kita sama-sama tahu kalau Aludra berharga di hidup Fikri." Farza mengangguk pelan.

"Farza maklum kok, Bu. Mereka bersama sekian lamanya. Suka duka juga pasti mereka lalui bersama. Farza juga tahu, kalau Fikri selalu mengusahakan yang terbaik untuk Aludra. Farza paham, pasti Fikri sangat terpukul dan bahkan dia menyalahkan dirinya sendiri."

Tidak ada yang salah di sini bagi Farza. Toh sejak awal perempuan itu tahu, kalau Fikri sangat mencintai Aludra. Farza juga memahami, Fikri sangat terpukul. Sebab dia selalu berusaha supaya Aludra baik-baik saja, namun nyatanya Aludra kesakitan sedang Fikri tidak mengetahuinya.

"Farza juga mungkin akan seperti itu, kalau Farza kehilangan seseorang yang berarti di hidup Farza, Bu. Karena manusia memang tidak pernah siap dengan kepergian dan kehilangan."

Berapa kali pun seseorang berkata dia ikhlas atas kehilangan, tapi hatinya tak bisa berbohong kalau dia merasa sakit. Apalagi jika bentuk kehilangan yang seperti Fikri rasakan. Pria itu kehilangan Aludra untuk selamanya, bukan sebab perempuan itu pergi bersama pria lain, tapi perempuan itu pergi ke sisi Tuhannya.

"Farza titip Farras sebentar boleh, Bu?" tanya Farza. Mertuanya itu mengangguk. Kemudian Farza bangkit dari duduknya, berjalan ke arah pintu kamar milik Fikri.

"Fik, ini gue. Gue boleh masuk?" tanya perempuan itu. Namun nihil, tidak ada jawaban sama sekali. Fikri tidak menyahut.

"Fik, Ibu lo khawatir sama lo. Seenggaknya lo keluar, makan. Fik?"

Masih tetap sama, tidak ada sahutan dari dalam. Farza memutar otaknya, apa yang harus dia katakan pada Fikri supaya pria itu bersedia membuka pintu kamarnya?.

"Fik, gue mau minta tolong titip Farras dong. Gue mau bantuin Ibu masak, boleh nggak?"

Perempuan itu mencoba menggunakan Farras supaya Fikri bersedia keluar kamar. Namun nihil lagi. Tidak ada jawaban kembali. Fikri masih diam tak bergeming.

"Fik, kalau lo kaya gini terus, yang ada lo yang mati! Gue tahu lo sedih, gue tahu lo hancur, gue tahu lo kehilangan, gue tahu lo marah sama diri lo sendiri! Tapi jangan siksa diri lo juga, Fik! Lo kira Aludra akan senang lihat lo kaya gini? Lo cuma bikin Aludra nggak tenang, karena perginya dia lo jadi nggak jelas kaya gini!" ucap Farza yang sudah tidak mampu membendung amarahnya.

"Fik, gue dobrak pintu kamar lo ya! Galaunya kaya anak perawan, nyebelin!"

Kalimat terakhir yang diucapkan Farza, justru membuat Ibu mertuanya tertawa geli.

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang