BAB III (Pisah)

3.3K 203 6
                                    

Bagaimana rasanya dipisahkan dari orang tersayang? Bagaimana rasanya dijauhkan dari orang terkasih? Jika sakitnya belum mampu menyadarkan mu, mungkin harus ada yang lebih menyakitkan dari itu.

_____

Fikri menata barang-barangnya, memasukkannya ke dalam koper. Sesekali pria itu menghembuskan napasnya kasar, ketika barang-barangnya entah mengapa tidak cukup dalam satu koper. Padahal sebelumnya, saat Ibunya yang mengemasi koper itu amat sangat muat untuk seluruh baju dan perlengkapan miliknya.

"Mau minggat lo?" tanya Farza.

"Buruan kemasin barang-barang lo! Gue mau balik ke Bandung!"

Jujur saja, pria itu tidak betah sama sekali berada di tengah-tengah keluarga Farza. Dan lagi, Ayah dari Farza yang kini ia sebut sebagai mertua, menyuruh Fikri untuk bekerja di perusahaannya. Sangat amat bukan bidang Fikri. Pria itu memilih kembali ke Bandung, dan bekerja sesuai dengan kemampuannya yaitu di bidang arsitektur.

"Ogah gue ikut lo!"

"Tuan Putri telat, gue udah terlanjur bilang sama Ayah lo, kalau lo mau ikut gue ke Bandung, haha!"

Farza membanting buku yang tengah dia baca ke lantai, cukup keras hingga menimbulkan bunyi yang lumayan nyaring. Fikri acuh mendengarnya, enggan berdebat dengan perempuan yang bahkan tidak mampu mengelola emosinya dengan baik. Berbanding terbalik dengan Aludra, yang bahkan sabarnya tidak perlu dipertanyakan lagi.

"Lo nggak berhak ngatur hidup gue!" teriak perempuan itu. Fikri masih diam, menahan emosinya sebisa mungkin. Masih pagi, dia tidak ingin darahnya naik dan mendidih oleh perempuan yang dia nikahi secara terpaksa itu.

"Lo tuh bukan siapa-siapa tahu nggak! Bahkan lo nggak lebih segalanya di banding keluarga gue!"

Fikri menghentikan kegiatannya. Tatapannya menajam dan terarah pada Farza. Perempuan itu, entah mengapa semakin dibiarkan semakin banyak bertingkah. Berulang kali diberi peringatan, tak ada satu pun yang diindahkan.

"Gue udah bilang sama lo, jangan bertingkah di depan gue! Gue mungkin emang nggak ada apa-apanya dibandingkan keluarga lo. Tapi lo harus inget ini dengan baik, gue resmi suami lo. Yang artinya apa? Gue berhak apapun atas lo!"

Nyali Farza menciut, tatapan Fikri yang tegas namun terkesan dingin mampu membuat seorang Farza merasakan ketakutan. Walaupun rasa takut itu tidak perempuan itu tunjukkan. Dan juga, kalimat terakhir dari perkataan Fikri menyadarkan Farza satu hal, dia terjatuh dalam genggaman seorang pria yang memiliki dendam menggebu padanya.

"Gue ingetin lo sekali lagi. Gue bukan orang yang sabaran, Za. Sekali lo bertingkah, dan nyulut emosi gue, lo nggak bakal aman-aman aja."

Fikri kembali melanjutkan aktifitasnya mengemasi barang-barang dan keperluannya. Saat amarah memenuhinya seperti ini, dia teringat Aludra yang selalu mengingatkannya. Dia teringat bagaimana cara Aludra meredam amarahnya, bahkan terkadang sampai memarahinya balik jika emosi Fikri tak kunjung reda. Dan itu berhasil membuat seorang Fikri takluk.

"Cepet kemasin barang-barang lo!" perintah Fikri sekali lagi pada Farza. Tak lama kemudian, Farza bergerak menyiapkan segala barang-barang dan keperluannya. Tak butuh waktu lama, perempuan itu menyelesaikannya dengan baik. Disusul Fikri yang baru selesai dengan keribetan isi kopernya itu.

**

"Kenapa si lo harus banget pisahin gue dari Bunda sama Ayah?"

Sedari tadi Farza tidak ada hentinya mengoceh ini itu, protes akan banyak hal. Dan itu sangat mengganggu pendengaran Fikri. Kalau saja Fikri tidak mampu menahan emosi, mungkin mulut Farza sudah dia tahan agar tak mengeluarkan satu patah kata pun.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang