BAB VIII (Andai)

2.1K 134 2
                                    

Cinta kita hancur, sebab ulahku yang terlalu. Kisah kita berakhir, sebab aku yang membuatnya berlalu. Dan cintamu hilang, sebab aku yang tak menghargai mu.

_____

Beberapa tahun yang lalu.

"Dilfa, bantuin tugasku dulu ih. Ini tenggat waktunya cuma sampe minggu depan," keluh Farza. Di sampingnya, Dilfa tengah berkutat dengan tumpukan buku yang menjadi referensinya mengerjakan tugas akhir atau skripsinya.

"Sabar, Za. Sebentar lagi, aku selesain BAB dua skripsi ku dulu ya. Nanti aku bantuin kamu, tugas kamu pasti selesai, oke?"

Farza menggembungkan kedua pipinya, merasa kesal dengan jawaban yang Dilfa berikan. Tapi tak urung Farza mengiyakan. Dia harus belajar memahami kalau Dilfa jauh lebih kesulitan dari pada dirinya. Dilfa tengah berjuang dengan tugas akhirnya, dan dia tidak seharusnya semakin menambah beban tugas pria itu.

Pada akhirnya perempuan itu mengalah. Dia menarik laptop yang semula ia sodorkan pada Dilfa. Tak lupa dia membuka lembar demi lembar buku yang ia jadikan sumber untuk menyelesaikan tugasnya. Demi Tuhan, dia malas. Tapi dia tidak mau mengganggu Dilfa.

"Lho mau dikerjain sendiri? Kelamaan ya nungguin aku?" tanya Dilfa. Farza menggeleng tegas.

"Kamu fokus aja sama skripsi kamu, aku bisa kayanya selesain tugas aku. Aku pinter kok," ucap Farza sembari berbangga diri. Dilfa tertawa kecil mendengarnya, tangan pria itu terulur mengelus kepala kekasihnya itu.

"Ya udah, nanti kalau kesulitan tinggal serahin ke aku aja. Aku bantu nanti ya?" Lagi, Farza menggeleng. Meski sebenarnya dalam hati perempuan itu, benar-benar membutuhkan bantuan Dilfa, tapi dia akan mencoba sekeras mungkin untuk menyelesaikan tugasnya tanpa bantuan pria itu.

"Udah, kamu selesain aja skripsi kamu. Aku mau fokus sama tugas aku. Sana sana," ujar Farza sembari mendorong bahu Dilfa pelan, menyuruh pria itu untuk kembali berfokus pada tugas akhirnya. Dilfa tersenyum kecil pada Farza, bersyukur sebab kekasihnya itu mau mengerti keadaannya saat ini.

**

"Dil, setelah lulus kamu mau ngapain?" tanya Farza. Setelah beberapa jam sibuk dengan tugas kuliah masing-masing, kini mereka berdua tengah menghabiskan waktu penghujung hari di taman kampus. Menikmati rona jingga yang terpancar dengan indahnya.

"Gantiin Papa, Za. Aku harus mulai belajar mengelola perusahaan, selain karena Papa sudah semakin tua, aku juga akan menafkahi kamu nantinya. Nggak ada waktu buat malas-malasan, Za. Aku harus mulai berjuang."

Farza menatap Dilfa serius, dua tahun sudah mereka menjalin hubungan. Dan Farza tahu kalau Dilfa tidak main-main dengan hubungan yang telah mereka jalin bersama. Farza juga sangat mencintai Dilfa. Tapi terkadang perempuan itu ragu, apakah masa depan akan sesuai dengan harapan?

"Kamu yakin mau nikah sama aku? Aku manja, Dil. Nggak bisa urus diri aku sendiri, yang ada kamu yang mengurus aku bukan aku yang mengurus kamu."

"Kamu emang manja, Za. Manja banget. Jangankan nanti kalau udah nikah, sekarang aja aku terus yang ngelakuin ini itu buat kamu. Kamu mana pernah," jawab Dilfa sembari tertawa. Farza berdecak sebal, dan itu semakin membuat tawa Dilfa kencang.

"Dilfa!" protes perempuan itu. Seketika Dilfa menghentikan tawanya, pria itu menatap Farza tak kalah seriusnya.

"Aku rasa terlalu cepet buat bahas nikah di umur kita yang masih segini, dan kamu pun masih kuliah. Cukup percaya aja kalau aku serius sama kamu, Za. Aku nggak peduli seberapa banyak sifat buruk kamu, karena bagi aku kamu sempurna, Za. Cukup temani aku sampai tua nanti, Za."

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang