BAB XXI (Pusara Terakhir)

2.4K 160 11
                                    

Separuh dari duniaku pernah runtuh sebab kamu. Lalu hari ini, kamu kembali meluluhlantakkan separuhnya. Untuk pertama kalinya aku bertanya padamu, aku harus bagaimana?

_____

Bugh!

Suara keras dari kepalan tangan yang mengenai tulang pipi seseorang terdengar lantang. Seluruh manusia yang berada di sana menatap dua orang pria yang terlihat tidak baik-baik saja. Ada apa? Begitu kiranya yang tergambar dari sorot mata mereka semua.

"Fikri! Ini rumah sakit, Nak! Banyak orang sakit, kamu nggak boleh begitu!" teriak sang Ibu, berusaha melerai Fikri yang hendak kembali melayangkan tinjunya pada pria di depannya, Dilfa.

Farza yang berada tak jauh dari mereka hanya bisa diam, sembari menatap bergantian pada Fikri maupun Dilfa. Perempuan itu tahu apa yang membuat Fikri semarah itu, dan Dilfa sekacau itu. Siapa lagi kalau bukan Aludra.

"Gue kasih dia ke lo, buat lo jagain! Bukan lo bikin dia kaya gini sekarang! Kalau lo nggak becus jadi suami, kenapa nggak dari dulu kasih Aludra ke gue!" teriak Fikri yang sudah benar-benar murka. Amarah pria itu memuncak, air mukanya merah padam. Sedangkan Dilfa hanya diam tak bergeming, menerima segala makian dan amarah dari Fikri.

"Dia sudah cukup menderita, Dil! Jangan bikin dia makin sengsara!"

Dilfa menatap Fikri dengan mata sendunya. Duka terlihat jelas di wajah pria itu. Dia pun kacau, dia pun merasa gagal, dia juga hancur. Tapi dia juga sadar, ini semua tidak akan terjadi kalau Dilfa mampu menjaga Aludra.

"Sekarang di mana Aludra? Di mana?!"

Baru saja Fikri hendak menerobos masuk ke dalam ruangan berpintu putih di depannya, seorang dokter perempuan keluar dari ruangan tersebut. Tanpa aba-aba, Fikri langsung menghujani dokter itu dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Dok, gimana keadaan sahabat saya, Dok? Dia baik-baik saja kan? Boleh saya lihat sekarang? Dok?"

Dokter itu menunduk dalam. Dan Fikri mengerti arti dari raut wajah itu. Tolong, Fikri merasa sesak kali ini. Dia tidak ingin mendengar kabar duka dari perempuan yang dia cinta.

"Maaf, Pak. Kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi kami hanya berhasil menyelamatkan salah satu dari keduanya. Dan Bu Aludra memilih meninggalkan kita semua."

"Dokter bercanda kan? Nggak mungkin, Dok! Aludra orang yang kuat kok, Dok! Nggak mungkin! Ini bohongan kan, Dok? Aludra cuma pengen isengin kita semua kan, Dok?" tanya Fikri tidak percaya dengan apa yang dokter itu katakan.

Sedangkan Dilfa, pria itu sudah terduduk lemas di lantai rumah sakit. Dia tidak menyangka secepat ini kehilangan istri tercintanya. Dia tidak menyangka Aludra akan meninggalkan dirinya dengan bayi mungilnya.

Ibu dari Fikri berusaha menenangkan putranya yang terlihat benar-benar kacau. Putranya sangat berantakan, bukan hanya fisiknya tetapi hatinya. Wanita paruh baya itupun merasa kehilangan, sebab Aludra sudah dia anggap seperti putrinya sendiri.

"Bu, ini Fikri mimpi kan ya? Ini mimpi buruknya Fikri kan ya? Ibu tahu kan Aludra itu kuat, dia mampu melewati apa saja. Dia nggak mungkin secepat ini ninggalin kita kan, Bu?"

Wanita paruh baya itu tak kuasa menjawab pertanyaan dari putranya. Tidak, ini bukan mimpi. Ini nyata. Perempuan hebat itu telah pergi untuk selamanya, meninggalkan duka yang teramat dalam di hati mereka semua.

"Lo! Kenapa lo biarin Aludra?! Kenapa lo nggak bisa jaga dia?!" teriak Fikri pada Dilfa. Mereka berdua sama hancurnya. Mereka berdua sama kehilangannya. Duka mereka sama dalamnya.

"Saya sudah berusaha meminta Aludra untuk mengikhlaskan anak yang dia kandung ketika kandungan itu masih berusia dua bulan. Tapi dia tidak mau mendengarkan saya. Dia meminta pada saya untuk membiarkan dia melahirkan bayinya sembari memohon. Kamu pikir saya tega membiarkan dia menangis dan memohon pada saya?"

Tangis Fikri semakin menjadi. Dia tahu betul orang seperti apa Aludra. Hatinya begitu penuh kebaikan pada siapapun. Tapi tetap saja, mempertahankan sesuatu namun akhirnya kehilangan sesuatu yang lain, meninggalkan luka yang menganga begitu lebar.

Dan yang membuat Fikri semakin sesak adalah, dia selama ini sama sekali tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari Aludra. Dia pikir selama ini Aludra baik-baik saja. Dia selalu berpikir Aludra akan bahagia. Dan dia selalu merasa sudah berusaha membuat Aludra dalam keadaan yang baik-baik saja. Tapi nyatanya hari ini, Fikri seolah ditampar keras oleh semesta.

"Bukan cuma kamu yang kehilangan dia, Fikri! Saya sebagai suaminya pun kehilangan! Saya juga hancur seperti kamu! Saya juga berduka seperti kamu! Saya juga merasa bersalah pada dia, karena tidak bisa menjaga dia! Bukan cuma kamu yang marah pada diri saya! Bahkan saya pun marah pada diri saya sendiri!" ungkap Dilfa.

Farza yang masih setia mengamati mereka dari kejauhan, merasakan sesak yang begitu dalam. Bukan, dia bukan sesak sebab kabar mengejutkan tentang Aludra. Dia merasa sesak sebab dua pria di depannya, pria yang dia cinta dan juga pria yang dia sebut sebagai suaminya menangis hebat sebab kehilangan perempuan yang sama.

Untuk pertama kalinya bagi Farza, melihat Dilfa sekacau dan sehancur itu. Dan pertama kalinya juga bagi Farza melihat Fikri semarah tadi, kehilangan begitu hebatnya, dan menangisi kepergian sederas itu.

Farza terdiam membeku. Dia semakin merasa, dia bukanlah siapa-siapa. Bahkan Ibu mertuanya pun menangis pilu sembari memeluk erat Fikri. Untuk pertama kalinya pula, Farza merasa dia tidak dianggap ada.

**

Pemakaman selesai. Tubuh perempuan berhati putih itu sudah tertutup tanah. Dia, sudah bersama Sang Kuasa. Dia, sudah tidak akan lagi merasa sakit dan tersiksa. Dia, sudah tenang di alam sana.

Fikri, Ibunya, Dilfa dan juga Farza masih berada di peristirahatan terakhir dari Aludra. Masih ada tangis pilu dan nestapa. Rasa kehilangan masih begitu kuat terasa.

Namun hingga akhir hayatnya, dua orang yang ia sebut orang tua tak ada. Dua orang yang membesarkannya meski menjadi alasan terbesar dari lukanya, enggan datang untuk melihat pusaranya.

"Nak Dilfa pulang saja ya? Kasihan putri kalian sendirian kan? Sekarang, Nak Dilfa harus bangkit dan berusaha untuk kuat. Ada putri kalian yang Aludra titipkan pada Nak Dilfa. Nak Dilfa harus menjaga dengan baik titipan terakhir Aludra," nasihat oleh Ibu Fikri pada Dilfa.

Pria itu mengangguk, kemudian mengayunkan langkah dengan berat pergi menjauh dari tempat terakhir istri tercintanya. Langkah pria itu lunglai, matanya sembab, dan terlihat sangat pucat. Dilfa, benar-benar dibuat hancur oleh kepergian Aludra.

"Fikri, kita pulang ya?" ajak sang Ibu pada putranya itu. Fikri menggeleng lemah, dia masih belum ingin beranjak dari tempat itu.

"Fikri kecewa sama diri Fikri sendiri, Bu. Fikri bahkan nggak tahu kalau di tengah kehamilannya, Aludra merasakan sakit. Fikri nggak bisa jaga dan lindungin Aludra, Bu. Fikri nggak bisa nepatin janji Fikri untuk memastikan kalau Aludra dalam keadaan baik selalu, Bu."

Kacau. Hidupnya benar-benar kacau. Hancur. Hatinya benar-benar hancur. Sayapnya kali ini benar-benar patah. Jiwanya benar-benar remuk redam. Tinggal sesal yang membelenggu pria itu.

"Nggak, Nak. Ini memang sudah jalan hidupnya Aludra. Kamu nggak boleh menyalahkan diri kamu seperti ini, Nak. Aludra sudah tenang di sana, dia sudah tidak akan merasa sakit lagi. Bukankah itu kebahagiaan dan ketenangan yang abadi untuk Aludra?"

Bagaimana mungkin Fikri tidak menyalahkan dirinya sendiri? Ketika dia ingat pernah berjanji untuk membuat perempuan itu bahagia. Ketika dia pernah berjanji untuk memastikan kalau perempuan itu selalu baik-baik saja. Fikri benar-benar merasa gagal.

"Fikri gagal, Bu."

_____

Jangan lupa berdoa, belajar dan berusaha. Terimakasih.

Antara Dua Hati [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang