6. The Lucky Seven

3.4K 308 36
                                    

Sudah hampir pukul tujuh pagi tetapi Roy belum juga kembali. Jamie menunggu dengan gelisah. Dia sengaja tidak memasak apa pun untuk sarapan karena ingin menagih janji Roy untuk membuatkannya nasi goreng.

Diliriknya jam tangan dengan kesal. Dia sudah rapi dengan pakaian seragam Forest Cafe, siap bertugas sebagai barista sekaligus owner kafe.

Suara derit pintu membuat Jamie spontan berdiri. "Lama banget," katanya dengan berkacak pinggang.

"Hm, tadi ngobrol-ngobrol dulu sama Violette."

"Violette?"

"Ya, Violette. Kenapa?"

Jamie memperhatikan wajah kekasihnya yang tampak berbeda. Seolah-olah baru saja tersapu bubuk stroberi merah jambu. "Violette," ulangnya lagi nyaris seperti gumaman.

Sampai menjelang berangkat tadi, Roy masih menyebut gadis itu sebagai calon ibu Forrester, tetapi sekarang dia menyebutnya dengan nama. Tidak hanya menyebutkan nama, Jamie merasakan nada yang berbeda saat kekasihnya itu mengucapkan Violette. Sesudut hatinya sungguh-sungguh tak terima.

Roy tersenyum. "Kau juga suka namanya? Nama yang manis," katanya, duduk di sofa dengan pandangan mengawang ke langit-langit.

"Kamu blushing."

"Aku?" Roy tertawa. "Mana mungkin," bantahnya, "mungkin ini karena cahaya matahari pagi. Kautahu kulitku memang sensitif dengan matahari."

Jamie berjalan mendekati jendela besar yang menghadap ke timur, lalu menarik tirainya hingga cahaya matahari pagi leluasa masuk ke dalam apartemen mereka. "Ini baru cahaya matahari pagi."

Roy sedikit terkejut tetapi kemudian tertawa lagi, menyembunyikan kesalahannya. "Aku barusan dari luar, Darling, tentu sudah kena cahaya matahari duluan. Ini tinggal efek afterglow-nya."

Jamie menghela napas sambil melipat tangan di dada. "Ngga usah ngeles lagi," ujarnya tajam.

"Ngeles apanya?"

"Jendela mobilmu dilapisi plastik film yang menyaring sinar UV. Kamu sengaja memasangnya karena tahu kulitmu sensitif terhadap cahaya matahari. Lalu kamu parkir di basement yang sama sekali ngga kena cahaya matahari. Trus naik pake lift langsung ke lantai ini. Di mana kamu kena cahaya matahari yang bikin mukamu merah begitu?"

Roy tertegun. Dipandangnya Jamie yang tampak benar-benar sedang kesal. Dengan hati-hati, didekatinya sang kekasih. "Muka cemberutmu jelek sekali," bisiknya, mengusap bibir Jamie perlahan dengan jempolnya, "sini, kubikinkan senyum di bibirmu."

*** 

Sehari setelah general check up, Roy tampak gelisah. Dia berkali-kali tepergok sedang mengusap-usap aplikasi kalender di ponsel hingga Jamie kesal. "Apa hapemu lebih enak disentuh daripada aku?" ujarnya.

Roy tertawa menanggapi kekasihnya yang merajuk. "Aku ngga sabar menunggu hasil tesnya."

"Hhh, ngga sabar nunggu hasil tes apa ngga sabar nunggu waktu ketemuan lagi sama Violette?" Jamie sengaja memberi penekanan pada kata terakhir dengan nada meledek.

Roy memutar badan, lurus-lurus menghadap Jamie. "Kenapa kau sepertinya selalu cemburu pada Violettte? Kautahu itu tak mungkin," katanya menyisir rambut Jamie dengan jemari.

Jamie mengerutkan bibirnya. Dia sendiri tak tahu mengapa harus merasa begitu. Roy tak pernah tertarik pada perempuan. Lelaki itu tahu perempuan hanya diciptakan untuk menggoda laki-laki. Setelah lelaki bertekuk lutut, mereka akan mengisap semua sumber dayanya, lalu meninggalkannya begitu saja, mencari lelaki lain yang lebih baik. Makin cantik perempuan, makin berbahaya, begitu jargon yang dipegangnya.

"Lagipula, kau sendiri yang menyetujui Violette untuk jadi ibu Forrester. Kenapa sekarang kau malah tidak menyukainya?" kata Roy lagi.

Ingatan Jamie melayang pada awal puasa dulu. Ketika Roy mencak-mencak karena ayahnya memberi ultimatum yang mengesalkan. "Orang tua itu sepertinya cuma bisa dibungkam dengan perempuan," geramnya.

"Kenapa ngga cari saja satu? Nikahi, suruh dia hamil, melahirkan, dan mengurus satu Forrester. Kamu tinggal menyiapkan biayanya. Katanya buat biaya anak dari lahir sampai dewasa cuma 3 M, kecillah itu," usul Jamie.

Roy setuju, dia meng-install aplikasi pencarian jodoh untuk mencari perempuan. Sejak pagi hingga sore hari, ada enam perempuan yang diarahkannya ke Forest Cafe untuk diseleksi oleh Jamie.

Dari enam perempuan itu tidak ada satu pun yang lolos kriteria Jamie. Ada yang terlalu genit, terlalu oportunis, terlalu muda, terlalu tua, tidak punya sopan santun. "Udahlah, Darl. Mungkin kita harus ganti metode. Cara instan seperti ini memang hasilnya ngga akan bagus," kata Jamie setelah mengirim pulang perempuan keenam.

"Satu lagi," pinta Roy, "siapa tau ini the lucky seven."

Dengan malas-malasan Jamie menerima perempuan ketujuh. Gadis itu datang dengan pakaian formal, rambutnya digelung rapi hingga terlihat sangat profesional. Penampilannya lebih cocok untuk wawancara kerja daripada kencan buta dengan calon suami potensial. Namun, itulah yang membuat Jamie memberinya poin lebih pertama kali.

Poin tambahan kedua diberikannya saat gadis itu menolak dengan telak usaha Jamie untuk menggodanya pada kesempatan pertama. "Okay, Darl. Here's your lucky seven," pesannya melalui aplikasi chat.

Jamie tak menyangka, si lucky seven itu benar-benar memengaruhi hari-hari Roy, bahkan sejak hari pertama. Kesal sekali dia, kenapa gadis itu harus pingsan hingga membuat Roy merasa bertanggung jawab mengurusinya.

Dihelanya napas kesal. "Kalo tahu kamu bakal serius gini sama dia, aku ngga akan ngasih ijin," gerutunya.

"Tentu aku serius. Dia calon ibu Forrester, itu bukan hal yang main-main."

"Bakal calon," bantah Jamie mengacungkan telunjuk, "semua tergantung hasil general check up dan pemeriksaan DNA nanti."

"Okay, bakal calon."

"Nah, jadi ngga usah terlalu serius. Nanti kecewa kalau ternyata dia ngga cocok jadi ibu Forrester."

"Okay." Roy setuju tanpa membantah sama sekali.

Namun, lain di mulut, lain di hati. Pagi ketika hari keluarnya hasil pemeriksaan DNA yang disamakan dengan pengambilan hasil general check up, Roy bangun dengan sangat gembira. Kemudian memilih-milih kemeja dan dasi yang senada sambil bersiul-siul. Sudah lama Jamie tidak melihatnya seceria itu.

"Hari penting hari ini?" tanya Jamie menyelidik. Tentu dia sudah tahu hari apa saat itu. Roy telah menandai kalendernya dengan lingkaran yang dibubuhkan berulang kali hingga angka yang menunjukkan tanggal hampir tenggelam dalam coretan.

"It's judgement day!" serunya semringah pada Jamie yang masih malas-malasan di tempat tidur. "Kau bisa berangkat sendiri, kan? Aku tak mau terlambat tiba di rumah sakit." lanjutnya mengecup kening Jamie lalu meraih kunci mobil di nakas dan berlalu keluar apartemen.

Jamie menghempaskan badan ke kasur dan bergumam pada langit-langit, "Judgement Day." 

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang