24. Percaya

1.9K 254 22
                                    

"Tidak ada satu aktivitas pun yang menunjukkan kalau kalian pernah pacaran, bahkan sepertinya kalian tidak punya hubungan apa pun sebelum bulan puasa," ayah Roy meringkas informasi yang sudah tertulis di berkas tersebut, "apa itu benar?"

Roy mengabaikan kalimat ayahnya dan fokus pada berkas di tangan. Tentu, semua informasi itu benar, tetapi dia perlu waktu untuk memikirkan alasan jitu demi membungkam ayahnya. 

Dibacanya sekilas bagian identitas diri Violette, tidak ada yang aneh, semua sudah diketahui. Roy lebih tertarik membaca hasil investigasi mengenai orang-orang di sekitarnya, siapa tahu bisa menjadi petunjuk tentang siapa pelaku penusukan dan penembakan di pagi lebaran itu.

Namun, hasilnya bersih. Violette tidak terlihat punya kawan dekat, bahkan juga pacar. "Dia tidak punya mantan?" gumamnya nyaris tak terdengar.

Ayah Roy mendengkus. "Sama sepertimu, tidak punya mantan."

Roy mengangkat wajah, memandang ayahnya, dan bergumam pada diri sendiri, "Sepertiku?"

***

Violette bosan berbaring terus di tempat tidur. Dia yakin larangan Roy untuk berjalan sangatlah berlebihan. Sepeninggal Fina, ia berjalan-jalan ke sekeliling ruangan. Bagian pinggang yang terluka masih memberi rasa nyeri, tetapi sudah bisa diajak berjalan pelan-pelan.

Dibukanya gorden yang menutupi jendela tinggi di samping tempat tidur. Hamparan kebun mawar menyajikan pemandangan hijau berpadu merah dan pink yang menyejukkan mata. Tanpa sadar dia tersenyum.

Dicarinya ponsel yang dimasukkan Roy ke dalam tas pakaian. Dengan senyum mengembang, ia menelepon nomor Basskara. Kakaknya itu terlihat gembira di layar. "Jadi ke Puncak?" tanyanya setelah memperhatikan dinding yang berbeda di belakang Violette.

"Ya." Violette mengalihkan ke kamera belakang, memperlihatkan hamparan kebun bunga mawar yang tepinya nyaris tak terlihat. "Kakak pasti suka tempat ini, deh. Nanti kalo udah sembuh, kita ke sini, ya."

Mereka kemudian mengobrol banyak dengan gembira. Violette lega melihat kakaknya tampak bahagia. Katanya, para perawat di sana sangat baik, mereka berkeliling memberikan hadiah lebaran kepada pasien-pasien di kamar perawatan. "Sarapan hari ini juga ada rasa-rasa lebarannya, bubur opor," ceritanya gembira.  

"Alhamdulillah," balas Violette. Dia teringat opor ayam beserta ketupat yang sudah disiapkannya untuk dibawa ke rumah sakit. Semua peristiwa sejak pagi telah membuatnya hilang arah. Opor dan ketupat itu mungkin akan menjadi mubazir begitu saja.

Dia merasa sedikit sedih. Membuang-buang makanan adalah hal terlarang bagi Violette. Dia sadar betul betapa sulit dapat makan seenak opor ayam. Biasanya, saat idul adha, mereka akan mengantre untuk mendapatkan daging sapi atau kambing yang kemudian dijual untuk mendapatkan beras serta bahan membuat opor ayam. Itu makanan yang sangat mewah.

Roy masuk tepat setelah Violette menutup telepon dan langsung menutup gorden dengan kesal. "Jangan berdiri di jendela," katanya.

Violette membalas dengan embusan napas keras. "Aku bosan," ujarnya ketus sambil kembali duduk di tepi tempat tidur, "aku udah bisa jalan sekarang. See?" Digoyang-goyangkannya kaki ke depan dan ke belakang.

Roy mengelus dagunya, memperhatikan pinggang Violette. "Udah ngga sakit lagi?"

"Cuma dikit, tapi aku harus bisa jalan, kan?"

Roy menghela napas dan menarik kursi kecil di pojok ruangan agar dapat duduk dekat dengan Violette. "Kautahu," katanya memulai pembicaraan, "aku selalu percaya padamu sejak awal."

Tak ada balasan dari Violette. Dia menunggu sembari menegakkan punggung. 

"Jadi," lanjut Roy, menarik punggungnya ke sandaran kursi, "apa ada yang kausembunyikan dariku?"

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang