Roy membukakan pintu kamar dan menunggu hingga Violette masuk sebelum menutupnya kembali. "Tidurlah," kata Roy, melihat Violette hanya duduk di tepi tempat tidur.
Violette menggeleng. "Aku mau pulang."
Alis Roy terangkat. "Kauharus istirahat," katanya tegas.
"Tadi aku sudah tanya dokter, katanya aku boleh pulang sekarang. Makanya infusku juga dicabut," balas Violette, menunjukkan tangannya yang ditempeli plester pada bekas tempat menusukkan jarum infus.
"Dokter bilang begitu?" Roy menelengkan kepala, tak percaya.
Violette mengangguk mantap. "Tanya saja, kalau tidak percaya."
"Okay," kata Roy, mengalah, lalu menurunkan bagian kepala tempat tidur dan merapikan posisi bantal. "Sekarang tidurlah dulu," katanya lagi, menepuk-nepuk bantal.
"Roy." Violette menarik lengan Roy karena merasa lelaki itu sama sekali tidak memperhatikan kata-katanya. "Dokter bilang, aku boleh pulang," katanya dengan penekanan pada setiap kata yang diucapkan.
Roy menghela napas. "Kaumau pulang ke mana, Vio?"
Violette terdiam.
"Apartemenmu sudah tidak aman lagi. Rumah Puncak juga tidak bisa dijadikan tempat tinggal untuk sementara waktu."
"Aku bisa tidur di tempat Kakak," katanya, tak mau kehilangan semangat.
"Kaumau menginap di kamar kakakmu?" balas Roy sedikit keras, "dengan luka di bahu dan perut?"
Violette hanya menghela napas lemah.
"Kaumau bikin kakakmu khawatir?" lanjut Roy lagi.
Violette tak bisa menjawab. Matanya menatap Roy sedih.
"Aku akan carikan tempat tinggal buatmu," ujar Roy akhirnya, tidak tahan melihat kesedihan dalam tatapan Violette, "sementara itu, tolong stay di sini dulu, okay?" Dibelainya lembut rambut Violette sambil ditatapnya mata gadis itu lekat.
Violette terpaksa mengangguk. Kemudian, perlahan, ditariknya selimut dan dibaringkannya badan membelakangi Roy.
Roy menghela napas, melihat Violette yang seperti sedang mengusirnya."Kaubenar, semua ini, Jamie yang mengatur."
Helaan napas panjang Violette terdengar pelan.
"Jamie masih hidup," kata Roy lagi, "Theo menembak pinggangnya, tapi dia sudah mendapat perawatan di rumah sakit. Aku tidak tahu apakah dia sudah menyerah atau malah makin beringas ...."
Violette bergeming. Matanya menatap jauh melewati langit biru di luar jendela.
Roy menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur Violette. "Vio ...."
Tak ada jawaban dari Violette.
"Waktu tahu kauhilang tadi, kupikir Jamie sudah beraksi lagi. Aku benar-benar panik. Aku tidak mau kauterluka lagi." Roy menekan matanya agar tak meneteskan air.
Violette duduk, berbalik menghadap Roy. Mulutnya yang terbuka tiba-tiba urung bicara melihat penampilan Roy yang tampak sangat rapuh.
"Aku percaya dia. Sepenuhnya percaya," katanya dengan suara serak, "kartu kreditku, kartu debitku, dia yang pegang semua. Aku tak percaya, dia mengkhianatiku." Bahu Roy terguncang, menahan tangis.
Perlahan, Violette beringsut, mendekati Roy. Dijuntaikannya kaki di tepi tempat tidur, tepat di hadapan Roy. Dengan satu tangan, dijangkaunya kepala Roy dan dibelainya lembut.
Guncangan di bahu Roy semakin keras. Isaknya kemudian lolos memenuhi ruangan.
Dengan lembut, Violette menarik kepala Roy agar berbaring di pangkuannya. Tanpa kata-kata, dibiarkannya lelaki itu menumpahkan semua air yang mampu dikeluarkan dari matanya. Isakannya yang tertahan di pangkuan Violette terdengar sangat menyayat hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi Buat Pak Boss
RomanceWarning 21+ Roy Forrester, pimpinan Forrest Group terpaksa mengikuti perintah ayahnya untuk menikah. "Perusahaan kita adalah perusahaan keluarga. Kalau kau tidak punya keturunan, siapa yang akan mewarisi hasil kerja keras kita ini nanti?" ucap ayahn...