33. Rindu

1.4K 139 27
                                    

Ketika Roy mengatakan, “Kita akan kenalan setelah mandi,” Violette mengira bahwa itu berarti mereka berdua akan pergi bersama dan berkenalan dengan para tetangga. Namun, yang terjadi adalah, Roy berangkat sendiri mewakili mereka berdua.

Itu sangat mengesalkan bagi Violette. Belum ada sehari di rumah, tetapi dia mulai merasa terpenjara. Bahkan untuk berbelanja bahan makanan di tukang sayur pun Roy tak mengizinkannya. “Tukang sayurnya lewat di depan rumah, aku ngga pergi jauh-jauh!” protes Violette.

Roy meletakkan ponselnya dan menatap tepat ke dalam mata Violette. "Kita bahkan belum punya kompor, Vio," ujarnya tenang.

Violette terdiam, menyadari kebodohannya. Dia sadar, membeli sayur hanyalah alasan. Gadis itu cuma ingin keluar, melihat-lihat area di sekitar rumah yang akan ditinggalinya, entah untuk berapa lama.

"Kita beli dulu isi rumahnya, okay?" usul Roy, kembali mengambil ponselnya.

Mata Violette membulat senang. "Kita belanja?"

Roy mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Hm, ini aku sedang lihat-lihat tokonya," ujarnya, datar.

Violette melirik ke layar ponsel Roy dan bibirnya kembali mencucu. Di layar, Roy menggerakkan jempol dan telunjuknya untuk memperbesar gambar-gambar peralatan masak. 

Dengan satu entakan dan satu embusan napas, Violette berdiri lalu menaiki tangga, menuju kamarnya.

***

Setelah kue-kue pesanan yang akan dibawa sebagai buah tangan untuk para tetangga tiba, Roy berangkat sendiri, mengunjungi rumah di kanan, kiri, depan, juga belakang. Tentu, dia juga memesannya secara online.Namun, karena masih dalam situasi lebaran, tidak satu rumah pun berpenghuni, kemungkinan masih berada di kampung halaman dalam rangka mudik.

Roy kembali ke rumah dan langsung menuju kamar Violette. Sejak dilarang untuk berbelanja sayuran, gadis itu menutup diri di kamar dan masih belum keluar saat Roy datang dan mengetuk pintu kamar. "Violette," panggilnya lembut, khawatir membangunkan jika Violette sedang tidur.

Memang, Violette berusaha tidur, tetapi matanya tidak mau terpejam. Akhirnya, dia hanya mengusap-usap layar ponsel dengan bosan. Gerakan jarinya sempat terhenti ketika mendengar Roy memanggil di pintu. 

Dia menunggu, tetapi tak ada suara apa pun lagi dari pintu. Dengan kesal dibantingnya ponsel ke kasur. Dihelanya napas dalam sembari memejamkan mata. Kelakuannya terasa kekanak-kanakan sekali. Dia tahu, Roy hanya memikirkan keselamatannya, dan sudah selayaknya dia berterima kasih.

Situasi emosional dalam beberapa hari belakangan telah membuat Violette terlalu terbawa perasaan. Bagaimanapun, hubungannya dengan Roy hanyalah hubungan bisnis, tidak lebih, tidak kurang. Namun, pagi itu, dia malah merajuk seperti ketika kakaknya tidak menyetujui keinginannya. Itu bukan sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang rekan bisnis.

Violette mengusap wajahnya, lalu dengan tatapan penuh keteguhan hati, dia membuka pintu kamar. 

Roy masih duduk, mengusap-usap layar ponsel di bawah jendela. Violette memandangnya sejenak hingga Roy mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan beberapa saat, lalu Roy berkata lugas, "Sudah bangun?"

Violette hanya menjawab dengan anggukan lalu meneruskan langkah, menuruni tangga. Sesampainya di bawah, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan di ruang kosong itu. 

Roy mengikuti tidak lama kemudian. "Mau furniture model apa?" tanyanya, "klasik? Minimalis? Futuristik? …."

Belum selesai Roy menyebutkan semua pilihan, Violette langsung memotong, "Terserah."

Alis Roy terangkat karena heran. "Terserah aku?" Roy mengedikkan bahu. "Okay."

Violette melangkah canggung di ruangan kosong itu. 

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang