4. Itu Saja?

3.7K 359 22
                                    

Roy tiba di rumah sakit hanya untuk mendapati bahwa kamar Violette telah kosong. Selimutnya masih tergeletak seadanya di tempat tidur, menandakan bahwa dia tidak keluar dari rumah sakit. Mulanya Roy mengira gadis itu mungkin sedang menggunakan kamar mandi. Dia berinisiatif mengetuk pintu kamar mandi, tetapi tak ada jawaban. Kamar mandi itu pun ternyata kosong.

Diliriknya lunch box serta botol minum yang disiapkannya di atas meja. Hanya dua benda itu saja di sana, berarti Violette pasti belum sahur. Dihelanya napas untuk menenangkan amukan rasa kesal di dalam hati.

Tepat saat azan subuh berkumandang, dia membuka aplikasi Find Me untuk menghubungi calon ibu Forrester itu. "Di mana kau?" tulisnya dengan tekanan jempol dua kali lipat dari biasa.

"Rumah sakit."

Roy mendengkus kesal. Gadis itu sudah berani berbohong kepadanya. "Aku di rumah sakit. Kau di mana?"

"Kamu di kamarku?"

"Tentu saja. Di mana lagi!" gumamnya kesal dan bersiap menumpahkan emosi melalui layar ponsel.

Namun, belum sempat ia membalas, sebuah balon chat muncul. "Aku ke sana sekarang."

Roy duduk di tepi tempat tidur, mengatur napas, berusaha menenangkan diri. Sekitar lima menit kemudian, gadis yang dinantinya muncul di pintu dengan napas agak terengah. "Maaf," katanya di tengah napas yang belum teratur, "tadi aku ke kamar kakakku. Dia juga dirawat di sini."

Mata Roy membesar. "Kakakmu? Yang kehidupannya juga harus aku tanggung?"

Violette mengangguk, masih dengan napas yang agak terengah. 

"Kau berlari ke sini?" tanya Roy, menuangkan segelas air dan menyerahkannya pada Violette.

Gadis itu mengangkat tangan, menolak gelas berisi air sejuk dari lelaki di hadapannya. "Aku puasa," katanya.

Kening Roy mengerut. "Kau lari-lari saat puasa hanya untuk menemuiku?" 

Violette tersenyum. "Yah, aku tak suka membuat orang lain menunggu."

"Kalau itu bukan aku, apa kau juga akan berlari untuknya?"

Violette tertegun. Ditatapnya mata Roy  yang terasa sedalam sumur tak berdasar. "Kamu kelihatan marah sekali di chat. Jadi aku segera ke sini."

"Kau bisa merasakan kemarahan lewat tulisan?"

Violette menatap Roy bingung, lalu mengangguk ragu.

Roy menghela napas perlahan. "Ya, aku kesal karena tidak melihatmu saat datang. Kukira kauberbohong ketika mengatakan bahwa kau di rumah sakit. Maaf."

Violette mengangguk. "Kukira, pasti ada yag penting sampai kamu datang subuh-subuh begini?"

"Oh." Roy mengalihkan pandang ke lunch box yang sudah disiapkannya dengan hati-hati. "Aku membawakanmu makanan untuk sahur, makanlah."

Violette ternganga melihat lunch box di atas meja. Sebuah kotak plastik biru muda lengkap dengan botol minum yang juga berwarna senada.

"Aku membaca bahwa jus kurma baik diminum saat sahur. Jadi kubuatkan juga jus kurma dengan susu untukmu."

"Kamu memasaknya sendiri?"

"Ya," jawab Roy, tersenyum bangga.

Mata Violette berbinar gembira, mulutnya pun tersenyum lebar hingga terlihat semakin bercahaya di mata Roy. Gadis itu seolah memiliki kekuatan magis yang membuat Roy tak pernah puas menatapnya. Setiap gerak-geriknya, seperti tarian yang sangat indah hingga Roy tak rela kehilangan satu sekuen pun.

Violette membuka kotak biru muda itu dan aroma kaldu ayam yang digunakan Roy untuk memasak nasi goreng langsung menguar memenuhi ruangan. "Hmm, baunya enak."

"Kausuka?"

Violette mengangguk dengan senyum lebar dan mata berbinar. 

Ada kebahagiaan yang berbeda saat Roy melihat senyum lebar dan binar di mata gadis itu. "Makanlah," katanya, "kau belum makan, kan?"

Violette menggeleng tanpa melepaskan senyum di wajahnya. "Aku puasa."

"Tapi kau belum sahur, kan?"

Violette mengangguk. "Sudah azan, sudah ngga boleh makan lagi."

Roy tertegun.

"Maaf, kalau aku tahu kamu akan datang, aku ngga akan ke kamar Kakak untuk sahur."

Kekecewaan segera tergambar di raut wajah Roy. "Jadi kau sudah sahur?"

"Cuma kurma sisa jatah berbuka Kakak sama air putih."

Roy tak bisa berkata-kata.

"Tapi sekarang, mencium aroma nasi goreng buatanmu, rasanya jadi kenyang. Makasih."

Roy tersenyum geli. Gadis di hadapannya ternyata juga sangat pandai menyusun kata. Benar-benar calon ibu Forrester yang sempurna. "Kenapa tidak kaukenalkan aku pada kakakmu?"

Violette sedikit terpaku. "Tapi kita belum resmi, kan? Semua tergantung bagaimana hasil general check up dan pemeriksaan DNA nanti."

"Anggap saja aku pacarmu. Kalau hasil pemeriksaan nanti tidak bagus, kita bisa putus."

Violette tersenyum dan menggeleng. "Jangan. Tidak usah menambah beban pikiran Kakak. Dia sekarang sudah benar-benar fokus untuk kehidupan akhirat. Dia tidak mau lagi memikirkan dunia. Bahkan dia sudah siap kapan pun hendak dipanggil menghadap Tuhan." Violette menghela napas, mengalihkan pandang ke jendela dengan sedikit mengerjap. "Aku yang belum siap kehilangan."

"Sakit apa dia?" 

Violette memandang Roy sedih. "Gagal jantung," ujarnya disertai helaan napas, "napasnya sudah sesak sekali, alat pacu jantung tidak dapat membantu dengan baik. Dia harus mendapatkan transplantasi jantung, tetapi biayanya sampai 20 M lebih."

Roy terkejut. "21 M yang kauminta itu hanya untuk kakakmu?"

Violette mengangguk lemah.

"Bagaimana denganmu?"

"Kalau aku jadi isterimu, kamu menanggung seluruh kebutuhanku, kan? Aku tak butuh apa-apa lagi."

Roy tertegun. Dia adalah pemilik Forrester Grup, yang menguasai bisnis keuangan di negara ini. Harusnya Violette bisa meminta lebih. Namun, ia hanya ingin kebutuhannya terpenuhi. 

Roy tak habis pikir.

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang