28. Aku Khawatir

3.2K 285 28
                                    

Violette merasakan helaian rambut halus di tangannya. Diusap-usapkannya ujung jari di sela-sela helaiannya. Ada sensasi geli yang menyenangkan, mengalir dari celah antara jarinya.

Perlahan dibukanya mata. Cahaya jingga yang temaram pelan-pelan menguasai pandangan.

"Kau sudah bangun?" Suara dalam Roy membuatnya menyadari sesuatu. Helaian rambut di sela jarinya, milik Roy.

Spontan, Violette menghentikan gerakan jarinya di sela-sela rambut Roy. Perlahan diangkatnya tangan dan dikepalkannya di udara.

Roy menegakkan badan hingga berada dalam area pandang Violette. Diregangkannya otot-otot yang terasa kaku akibat posisi tidur yang kurang baik.

Violette membeku di tempat tidurnya, merasa canggung karena, entah bagaimana, telah memegang kepala orang lain sembarangan. Apalagi dia ingat, Roy sepertinya punya perasaan khusus tentang sentuhan di kepala. 

Diliriknya Roy yang membuka tirai jendela dan mematikan lampu tidur. Awan putih terlihat menghiasi langit biru terang. Tak ada berkas sinar matahari yang masuk ke dalam kamar, tetapi Violette bisa merasakan nuansa pagi merembes melalui kaca jendela.

"Bagaimana bahumu?" tanya Roy, tak terdengar seperti basa-basi.

Violette mencoba mengangkat tangan kirinya, tetapi terasa sakit sekali.

Dengan sigap, Roy meraih tangannya begitu melihat gadis itu meringis. "Tak usah dipaksa," katanya.

Bertelekan pada tangan Roy, Violette berusaha duduk. Roy menaikkan bagian kepala tempat tidur agar gadis itu dapat duduk dengan bersandar. "Papa?" tanya Violette lemah, sesaat setelah ia dapat duduk dengan nyaman.

"Pelurunya sudah dikeluarkan, sekarang sedang dalam pemantauan di ICU."

Violette merasa ada yang aneh dalam pernyataan Roy. "ICU?"

Perawat masuk dan meletakkan sarapan di atas nakas. Setelah menyapa dengan senyum, dia pamit dan keluar.

"Makan dulu, kau butuh tenaga untuk pemulihan."

Violette tak terima pengalihan pembicaraan yang tiba-tiba seperti itu. "Papa kritis?"

Roy menatap Violette dan menghela napas. "Tidak apa-apa. Papa pasti tidak apa-apa," katanya, membuka pembungkus plastik yang menutupi mangkuk bubur ayam. Aroma kaldu menguar, membangkitkan selera siapa pun yang menghirupnya. 

"Kayanya enak," katanya lagi, berusaha mengalihkan perhatian.

"Kenapa di ICU?"

Roy membuka meja yang terlipat di sisi tempat tidur Violette. "Papa punya masalah jantung, jadi perlu perhatian lebih."

Violette mengernyit. "Tapi di ICU? Bukan ICCU?"

Roy tersenyum kecil. Sebagai adik dari penderita gangguan jantung, dia tentu tahu para penderita penyakit jantung akan mendapatkan perawatan intensif di ICCU, Intensive Cardiology Care Unit bukan sekadar di Intensive Care Unit. "Makan dulu," katanya, meletakkan mangkuk bubur di meja lipat, tepat di depan dada Violette.

"Karena masalahnya bukan di jantung, kan?" kejar Violette lagi.

Roy mengembus napas pelan, menyendok bubur, dan menyuapkannya kepada Violette.

Gadis itu menahan pergelangan Roy, matanya menuntut jawaban.

Roy menatap tepat ke mata Violette. "Aku sudah katakan, Papa baik-baik saja, kau tak perlu khawatir."

Violette mengedarkan pandang ke sekeliling. "Aku juga kena tembak, tapi sekarang aku ngga di ICU. Tolong, jangan bohong, Roy."

Roy tertegun, sejenak menatap mata Violette yang menuntut dengan tatapan tajam. "Makan dulu, setelah itu baru kita bicara."

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang