23. Siaga Satu

2K 246 29
                                    

Violette tertegun. Pertanyaan Roy terasa mengaduk-aduk benaknya. "Kenapa?"

Roy kembali duduk di tepi tempat tidur, melipat sebelah kakinya hingga bisa berhadapan dengan Violette. "Kalau kaumau membatalkan perjanjian kita, aku tak akan menghalangi. Jangan khawatir, aku akan tetap membayarkan sisa 17 M sesuai perjanjian."

Violette menatap mata Roy yang memperlihatkan kesungguhan tanpa cela. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus memutuskan. Semua benar-benar terasa begitu gelap dan membingungkan dan, yang lebih parah, dia tak tahu harus pada siapa atau bagaimana mencari pencerahan. 

"Kalau kaumau melanjutkan perjanjian kita ...," Roy memberi jeda dan menatap Violette lebih dalam sebelum berkata lagi dengan suara lebih halus, "aku akan sangat berterima kasih, tetapi aku harus mengingatkanmu, hal seperti ini sangat mungkin terulang lagi." Selesai bicara, ia menunduk, lalu dengan cepat kembali beralih ke lemari pakaian. Dikeluarkannya secara acak pakaian Violette dan dibawanya keluar.

Violette tak melarang, tidak pula menjawab pertanyaan Roy dengan keputusan. Hatinya bimbang, tak menyangka, urusan melahirkan bayi bisa jadi serumit ini. Disentuhnya pinggang yang terbalut perban. Batinnya mencoba berhitung, sepadankah segala luka dan ketakutan ini dengan uang 21 M?

Dihelanya napas. Jendela kaca besar, yang biasa menyorotkan cahaya matahari, kini tertutup rapat. Ruangan kamarnya, yang biasa terang saat siang, kini menjadi temaram. Dia merasa telah salah mengajukan pertanyaan.

Seharusnya, yang ditanyakan adalah, apakah semua luka, sakit, pedih, perih, beserta kecemasan dan ketakutan ini sepadan dengan hidup kakaknya? Tanpa ragu, Violette menganggukkan kepala. Semua yang terjadi, hanyalah konsekuensi dari pilihan. 

Violette telah mantap memilih. Kakaknya, dia memilih kakaknya dan segala rasa sakit pun sirna.

***

Mereka meninggalkan apartemen kurang lebih setengah jam setelah peristiwa penembakan tersebut. Roy tidak main-main ketika melarang Violette berjalan. Dia membopong gadis itu sejak dari tempat tidur, tak peduli bagaimana Violette menolak.

"Kamu lebay banget, deh," protes Violette saat mereka menunggu elevator.

"Sudah cukup bertindak ceroboh," balas Roy, tanpa menatap Violette.

"Ceroboh?"

Roy mengembus napas. "Apa kautahu, bicara sambil membopongmu itu berat?"

Violette mengembus napas kesal. Orang-orang di sekitar mereka melirik bahkan melihat penuh rasa ingin tahu, membuatnya merasa tak nyaman. Namun, ketika ia mengatakannya kepada Roy, jawabannya hanya, "Apa yang dilihat mata mereka bukan urusanku." Apa boleh buat, Violette akhirnya hanya bisa menyurukkan muka dalam-dalam ke dada Roy.

Sampai di mobil, Theo sudah menyiapkan sandaran kaki agar Violette dapat setengah berbaring. Roy baru melepaskan tangannya setelah yakin Violette bersandar dengan nyaman. Setelah itu ia beralih untuk masuk dari pintu sebelahnya. Di belakang mobil, ia berhenti sebentar, sedikit memijit kedua tangannya yang pegal luar biasa.

Dia mengira, Violette tidak akan melihatnya melakukan peregangan kecil-kecilan di sana. Namun, ia lupa bahwa fungsi kaca spion tengah adalah untuk melihat apa yang terjadi di belakang mobil.  

Violette menghela napas. Matanya menatap kaca spion dengan rasa bersalah. Roy benar-benar berlebihan. Seharusnya dia bisa menyuruh orang lain untuk membopong Violette, jika memang perlu dibopong. Itu adalah sesuatu yang ia tak perlu turun tangan sendiri. Lagipula, hubungan mereka semata-mata hanya bisnis. Bisnis yang sebenarnya tidak menguntungkan buat Roy. Dia bisa mendapatkan seorang perempuan dengan DNA terbaik, bukan seseorang dengan DNA yang dipenuhi jejak-jejak penyakit turunan yang berat.

Bayi Buat Pak BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang