"Kita bicara di luar," kata Roy, berjalan ke luar. Angin dingin langsung menghantam begitu ia membuka pintu samping.
Roy berbalik dan bertanya, "Kaubawa jaket?"
Violette menggeleng, menggosok-gosok lengan dengan kedua tangan. Roy berjalan melewatinya, kembali ke kamar. Kemudian datang lagi, sudah mengenakan jaket sambil menggenggam selembar jumper di tangan. "Pakailah," katanya, menyodorkan jumper dengan lambang burung garuda mencengkeram pita.
"Hm, bau lemari," komentar Violette.
"Itu jumper sejak jaman kuliah."
"Oh?" Violette kembali memperhatikan lambang burung garuda di bagian dada jumper. "Bukannya kamu kuliah di Harvard?"
Roy menarik ujung bibirnya sedikit. "Itu bagus buat pencitraan. Aku cuma ikut kelas online-nya untuk memahami dunia moneter internasional."
"Jadi kamu kuliah di mana dulu?" tanya Violette lagi, membaca tulisan di dada burung garuda. "STPI?"
Roy mendengkus kecil lalu keluar menuju kebun mawar yang terbentang luas.
Violette cepat-cepat menjajari langkah Roy. "Kepanjangannya apa? Sekolah Tinggi ...."
"Penerbangan Indonesia. Aku pernah jadi pilot dulu."
"Huwow!" Violette menahan takjub. "Dikelilingi pramugari-pramugari pasti."
Roy tertawa kecil. "Menurutku co-pilot-nya lebih tampan."
Violette terbahak. "Ya, pastinya."
"Kau tidak marah mengetahui fakta ini?"
"Apa? Soal satu persen itu?"
Roy mengangguk samar.
"Kenapa harus marah? Itu keuntungan buatku, kan? Kita bisa skip soal sex dan bisa fokus di bagian reproduksi."
Roy manggut-manggut. Angin bertiup kencang, meniup rambutnya yang menutupi sebagian kening. "Bagus. Tadinya aku juga agak ragu untuk melakukannya dengan cara konvensional. Jamie pasti akan sulit menerimanya kalau itu terjadi. Sekarang saja dia selalu cemburu kalau aku bicara apa pun yang berhubungan denganmu," katanya, "tapi karena kau sudah tahu, kita bisa membicarakannya dengan lebih terbuka."
"Yah. Kurasa kita ngga akan bisa melakukannya di Indonesia. Prosedurnya bisa panjang sekali."
Roy manggut-manggut. "Aku memikirkan Belanda atau Amerika untuk melakukan prosedur inseminasi."
"Kenapa ngga di Singapur aja, lebih dekat?"
Roy menggeleng. "Terlalu dekat. Semua orang pasti ke sana kalau mau berobat. Kita cari yang sedikit dikunjungi orang sini."
Violette manggut-manggut mendengar kata semua orang. Dia berharap, kakaknya dapat berobat ke sana, tetapi biayanya terlalu tinggi. Semua orang, mungkin lebih tepat disebut, semua orang yang berduit.
Angin dingin meniupkan aroma mawar ke udara. Saat malam, aromanya terasa lebih memabukkan daripada ketika panas matahari menyiram bumi. Dimasukkannya tangan ke dalam kantong jumper demi mencari sedikit kehangatan.
Di dalam kantong, jemarinya menyentuh sesuatu. Dikeluarkannya benda pipih itu. Di bawah temaram sinar bulan sabit, ia dapat melihat benda itu. Selembar kertas terlipat yang sepertinya pernah basah lalu menjadi kering. "Apa ini?"
"Hm? Mungkin struk minimarket. Itu jumper angkatan, waktu aku masih di asrama," balas Roy santai.
"Oh," Violette memasukkan kembali kertas itu ke dalam kantong. "Nanti kubuang di tempat sampah," katanya.
Angin bertiup makin kencang. Violette menaikkan tudung jumper agar kupingnya tidak kedinginan. "Dingin banget, apa masih ada yang perlu dibicarakan?"
Roy menghentikan langkahnya, berputar lurus-lurus menghadap Violette. "Tentang aku dan Jamie, bagaimana menurutmu?"
"Maksudnya?"
"Apa kamu menyetujui hubunganku dengan Jamie?"
Violette menatap mata Roy, berusaha mencari tahu ke mana arah pertanyaan pemuda itu. "Pendapatku, apakah itu penting? Aku cuma orang yang kamu bayar untuk melahirkan anak untuk kalian."
Roy menghela napas, membuang pandang jauh ke hamparan kebun mawar. "Aku dan Jamie tak pernah menginginkan anak. Papa yang menginginkannya. Dia butuh seseorang untuk menerima tongkat estafet aset Forrester."
Violette manggut-manggut. "Harta kalian terlalu banyak untuk dibagi-bagi, ya."
Roy kembali memandang Violette. "Maksudnya?"
"Tuhan memberi kalian harta yang banyak. Jauh lebih banyak daripada yang bisa kalian habiskan. Apa kamu ngga pernah terpikir bahwa dapat harta yang banyak berarti kamu dapat tugas buat membagi-bagikannya?"
Roy terdiam. Desau angin seperti berputar di telinganya.
***
Kembali ke kamarnya, Violette mengeluarkan kertas terlipat yang ada di dalam kantong. Saat hendak membuangnya ke tempat sampah, dia menyadari bahwa itu bukan struk minimarket. Dibukanya lipatan kertas segi empat itu. Di dalamnya terdapat tulisan yang tintanya sudah agak luntur terkena air, tetapi masih cukup jelas dibaca.
It's Amazing
It's amazing
how you make my heart calmer just by smiling.It's amazing
how you make my sky brighter just by holding
my hands.It's amazing
how you make my life fuller just being
by my side.It's amazing
how you make my brain shattered just by saying
good bye.Violette terdiam. Dilipatnya lagi kertas itu dan diletakkannya hati-hati di atas meja. Perasaan adalah sesuatu yang sangat sulit dipahami. Mungkin itu sebabnya ia bernama perasaan. Jika mudah dipahami, namanya adalah pemahaman.
Dilepasnya jumper dan digantungkannya di gantungan baju. Di bagian punggung tertulis besar-besar, No Space for Error dilingkari gambar pesawat yang mengeluarkan asap dari ekornya.
***
Rasanya Roy baru saja tertidur ketika dia mendengar suara ketukan di pintu. "Mas Roy, sahur." Itu suara Bi Onah.
Dengan malas ia membalas, "Aku ngga puasa. Nanti bayar denda saja."
"Hei!" Suara ayahnya membuat Roy terkejut bukan kepalang. "Papa yang sudah setua ini saja masih berusaha puasa. Kau malah berniat membayar fidiah? Bangun! Sahur!"
Roy mendecak dan menarik selimutnya hingga menutupi kepala. Beberapa saat, tak terdengar apa pun lagi. Mungkin semua orang sudah beranjak ke meja makan.
Satu ketukan kembali membuatnya menarik selimut makin rapat ke kepala. "Roy, kamu yakin ngga mau nyicipin nikmatnya puasa?"
Sontak Roy membuka selimutnya. "Violette?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayi Buat Pak Boss
RomanceWarning 21+ Roy Forrester, pimpinan Forrest Group terpaksa mengikuti perintah ayahnya untuk menikah. "Perusahaan kita adalah perusahaan keluarga. Kalau kau tidak punya keturunan, siapa yang akan mewarisi hasil kerja keras kita ini nanti?" ucap ayahn...